Selasa, 16 Agustus 2011

setia istri tercinta


Hukum orang yang i'tikaf keluar untuk umrah


Soal: Seorang yang beri'tikaf ingin mengerjakan umrah untuk bapaknya, apa hukumnya?

Jawab:

Apabila I’tikafnya I’tikaf nadzar yang waktunya disebutkan, wajib baginya menyempurnakan waktu I’tikafnya, karena menjalankan nadzar dalam ketaatan adalah wajib, namun jika I’tikafnya sunah maka jika dia mau dia melanjutkan I’tikafnya dan jika mau dia menghentikan I’tikaf lalu mengerjakan umrah.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa maqaalaat mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz, Juz: 15

Boleh I’tikaf di selain tiga masjid





Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz kepada saudara S.E.M. semoga Allah memberi keselamatan padanya.

Assalam alaikum wa rahmatullah wa barakatuh, wa ba’du:

Aku sampaikan akan permintaan fatwamu yang ada di kantor  Badan Riset Ilmiyah dan Fatwa no.: 4886 tanggal: 24/10/1408 H yang kamu bertanya tentang beberapa pertanyaan, di antaranya:

Soal: Bagaimana keshahihan hadits: Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid, apabila hadits tersebut shahih, apakah benar tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid?

Jawab:

Sah i’tikaf di selain tiga masjid akan tetapi disyaratkan pada masjid yang dilaksanakan padanya i’tikaf digunakan untuk shalat jum’at, apabila tidak dikerjakan shalat jumat maka tidak sah ii’tikaf di sana. Apabila dia bernadzar untuk i’tikaf di tiga masjid maka wajib baginya untuk beri’tikaf di tiga masjid sebagai pelaksanaan terhadap nadzarnya. Semoga Allah memberi taufik kepada semua kepada apa yang membuat ridha-Nya

Wassalam alaikum wa rahmatullah wa barakatuh

Pemimpin umum Badan Riset Ilmiyah, Fatwa, Dakwah dan Irsyad.


Sumber: Majmu’ Fataawaa wa maqaalaat mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz, Juz: 15 hal.: 445

Minggu, 14 Agustus 2011

Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa?



Pertanyaan: Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa? Apabila tidak membatalkan puasa, maka apa batas kebenaran perkataan orang yang berdalil bahwa keduanya (ghibah dan namimah) membatalkan puasa dengan (dalil) sabda Rasulullah: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan berbuat kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya, yang diriwayatkan Bukhari dalam al-Adab bab firman Allah: “Dan jauhilah perkataan dusta” no: 6057 dari hadits Abu Hurairah?

Jawab:

Segala puji bagi Allah Robb semesta alam, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada orang yang Allah utus sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya, para sahabatnya dan para saudaranya sampai hari akhir, amma ba’du:

Puasa adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa dari terbit fajar shodik sampai terbenamnya matahari dengan menahan diri secara indra dan diikuti pula dengan menahan diri secara maknawi dari perkataan haram dan makruh dari main-main, perkataan kotor, berkata keras dengan kemarahan, perkataan dusta, masuk di dalamnya setiap perkataan haram dari dusta, ghibah, namimah, persaksian palsu, memaki, mencela, berbuat bodoh yang kebalikan dari kelembutan dengan ucapan kotor dan selainnya dari bentuk-bentuk perkataan keji. Hendaknya diketahui bahwa menjaga lisan dari larangan-larangan ini wajib pada setiap kondisi dan waktu dan keharoman terjerumus ke dalamnya dari seorang yang puasa lebih keras dan lebih terlarang, terlebih lagi pada waktu yang utama seperti Ramadhan atau pada tempat yang utama seperti dua tanah haram karena hadits Abu Hurairah yang berkata: Rasulullah bersabda: 
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengan kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.
Ash-Shan’ani berkata: hadits ini menunjukkan akan haramnya dusta, beramal dengannya, haramnya berbuat kebodohan bagi seorang yang puasa dan keduanya diharamkan kepada orang yang tidak sedang puasa juga, akan tetapi pengharaman pada hak orang yang puasa lebih dikeraskan seperti dikeraskannya keharaman zina dari orang tua dan kesombongan dari orang miskin. (subulus salam: 2/320).
Sebagaimana menunjukkan kepada makna ini dari menjaga lisan dari seluruh macam-macam perkataan yang tidak ada kebaikannya, sabda Rasulullah:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ والْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.  Dan Sabda Rasulullah:
«وإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ»
Apabila salah satu dari kalian sedang puasa maka janganlah berkata kotor dan berkata kasar (karena marah), apabila seseorang mencelanya atau memusuhinya maka katakanlah: Aku seorang yang puasa. Diriwayatan oleh Bukhari dan Muslim.
Jadi, puasa yang sempurna adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri secara indra dan maknawi, dan yang berkaitan dengan batalnya puasa dari keduanya adalah apa yang ditetapkan dari pembatal-pembatal secara indra menurut syar’i seperti makan, minum, bersetubuh, muntah dengan sengaja, keluarnya darah haid dan nifas dan selainnya dari pembatal-pembatal puasa. Adapun perkataan kotor dari yang haram dan yang makruh tidak termasuk di dalamnya, akan tetapi mengurangi pahala puasa dan meringankan ganjarannya pada sisi yang mana puasanya tidak sempurna. Dan tidak ada pada hadits Abu Hurairah yang telah lalu apa yang menunjukkan batalnya puasa bagi orang yang terjerumus dalam kesalahan lisan, puncak apa yang ditunjukkan hadits tersebut adalah besarnya melakukan perkataan dusta, berbuat kebodohan pada waktu puasa dan penjelasan bahwa kesempurnaan puasa dan keutamaannya yang dicari adalah dengan menjaga puasa dari main-main dan perkataan yang tidak baik (Majmu’ karya an-Nawawi: 6/356) 
Dan tidak ada I’tibar (anggapan batalnya puasa) pada pemahaman sabda Rasulullah: Maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya, karena Allah tidak butuh kepada amal seseorang dan tidak pula kepada ketaatan seseorang, sesungguhnya Allah maha kaya (tidak membutuhkan)  semesta alam dan amal mereka.
Kesimpulannya:  bahwa maksud dari hikmah disyariatkannya puasa bukan pada sekedar menahan pembatal puasa dengan rasa lapar dan haus, akan tetapi hikmah dari disyariatkannya puasa adalah menahan diri dari semua yang Allah haramkan dari sisi indrawi dan maknawi untuk membersihkan jiwa dan menguatkan akhlak dan sifat. Dan yang menguatkan akan tidak batalnya puasa dari orang yang menggunjing orang lain, apa yang disampaikan seluruh ulama sampai Ibnu Qudamah menukil ijma’ akan sahnya puasa orang yang menggunjing orang lain. Ibnu Qudamah berkata: Menggunjing orang tidak membatalkan puasa dengan ijma’, maka tidak benar membawa hadits kepada apa yang menyelisihi ijma’. (al-Mughni karya Ibnu Qudamah: 3/104).
Aku katakan: Walaupun imam al-Auza’i –semoga Allah merahmatinya- telah menyelisihi hal ini dan berkata: Puasa batal dengan menggunjing orang dan wajib diganti. (al-Majmu karya an-Nawawi: 6/356). Akan tetapi kelemahan pendapatnya tampak dengan lemahnya sandaran dia, yang mana beliau berdalil dengan hadits: Lima hal yang membatalkan orang puasa: menggunjing orang, mengadu domba, dusta, mencium dan sumpah palsu. Ini hadits palsu sebagaiman perkataan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at.
Dan hadits ditinjau dari sanadnya tidak kuat untuk dijadikan hujjah walaupun bisa dita’wil. An-Nawawi berkata: hadits tersebut batil tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Dan al-Mawardi, al-Mutawalli dan selainnya menjawab bahwa yang dimaksudkan adalah batalnya pahala bukan batalnya puasa. (al-Majmu’: 6/356).
Dan ilmu (yang benar) disisi Allah, dan akhir doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Oleh Syeikh Muhammad Ali Farkus

Sumber: http://ferkous.com/rep/Bg35.php

Kadang malam lailatul qadar bisa dilihat dengan mata




Soal: Apakah malam lailatul qadar bisa dilihat langsung yaitu bisa dilihat dengan mata manusia tanpa alat bantu, yang mana sebagian orang bilang bahwa seseorang yang bisa melihat lailatul qadar dia melihat cahaya di langit dan semisalnya? Bagaimana Rasulullah dan para sahabat melihat lailatul qadar? Bagaimana seseorang tahu bawa dia melihat malam lailatul qadar, apakah dia memperoleh pahala walaupun pada malam tersebut dia tidak bisa melihat lailatul qadar? Kami mengharapkan penjelasan hal ini disertai dalil.

Jawab:

Kadang malam lailatul qadar bisa dilihat dengan mata bagi orang yang Allah beri taufik padanya yaitu dengan melihat tanda-tandanya. Para sahabat mereka berdalil akan adanya malam lailatul qadar dengan tanda-tandanya, akan tetapi apabila tidak bisa melihat lailatul qadar tidak menghalangi mendapatkan keutamaan malam lailatul qadar bagi orang yang menghidupkan malam tersebut dengan iman dan mengharapkan pahala. Seorang muslim selayaknya untuk bersungguh-sungguh untuk mendapatkan lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana perintah Nabi SAW kepada para sahabatnya untuk mendapatan pahala. Apabila dia bertepatan menghidupkan malam lailatul qadar dengan iman dna mengharapkan pahala dia akan mendapatkan pahala walaupun tidak mengetahuinya.Rasulullah SAW bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Dalam riwayat lain selain di Shahihain:
Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar mengharapkannya kemudian dia mendapatkan taufik, maka diampuni dosanya yang telah lalu dan akan datang. Diriwayatan oleh Ahmad.

Telah tsabit dari Nabi SAW apa yang menunjukkan bahwa termasuk tanda-tanda malam lailatul qadar matahari terbit di keesokan harinya tanpa cahaya. Dan Ubay bin Ka’b bersumpah bahwa malam itu malam 27 dan berdalil dengan tanda ini. Yang rojih bahwa malam lailatul qadar berpindah-pindah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan namun malam ganjilnya lebih dikuatkan  dan malam 27 lebih dikuatkan (adanya malam lailatul qadar) dari malam-malam ganjil yang lainnya. Barangsiapa yang berijtihad pada sepuluh malam semuanya denagn shalat, membaca al-Qur’an, doa dan selainya dari kebaikan dia akan mendapati lailatul qadar tanpa diragukan, dia beruntung dengan apa yang Allah janjikan bagi orang yang menghidupkan malam lailatul qadar jika dia melakukan dengan iman dan mengharapkan pahala.
Allah yang memberi taufik, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz juz 15, hal.: 434

Sabtu, 13 Agustus 2011

Apakah suntikan insulin membatalkan puasa?



Soal: Apa hukum suntikan insulin bagi orang yang sakit gula pada saat puasa bulan Ramadhan mubarak? Apakah pada kondisi tidak mampu puasa, dia mengeluarkan sedekah dengan uang atau makanan? Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.

Jawab:

Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk orang yang Allah mengutusnya sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya dan, para sahabat dan para saudaranya sampai hari akhir, wa ba’du:


Yang dianggap dalam berbuka dengan makan dan minum adalah berkehendak untuk memasukkan sesuatu dari pembatal ke dalam perut dengan jalan normal yaitu mulut dan dimasukkan (dalam katagori) mulut, hidung karena sabda Rasulullah SAW:
وَبَالِغْ فِي الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq (menghirup air lewat hidung) kecuali kamu sedang puasa. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Hakim, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Albani dan al-Wadi’i. Sama saja apakah dia mendapati (turunnya makanan tersebut ke lambung) dengan apa yang apa yang bermanfaat atau memudharatkan atau apa yang tidak bermanfaat dan tidak memudharatkan. Dan nash syar’i menetapkan berbuka dengan makan dan minum dan itu tidak terjadi kecuali dengan jalan normal. Dan semua yang menyimpang dari ini tidak dinamakan makan atau minum dan tidak dimaksudkan makan dan minum. Dan pada penyebutan celak, suntikan, tetes mata, mencium minyak wangi, mengobati orang terluka kepalanya sampai ke kulit otak dan orang terluka bacok sampai ke rongga tubuh dari obat yang masuk ke badan dengan jalan yang tidak wajar, syeikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: Dhahirnya tidak berbuka dengan sesuatupun dari itu semua. Sesungguhnya puasa adalah agama kaum muslimin yang butuh mengetahuinya orang khusus (ulama) dan orang umum (awam), jika hal-hal ini termasuk apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan ketika puasa dan membatalkan puasa, maka ini termasuk kewajiban Rasulullah untuk menjelaskannya. Seandainya Rasulullah menyebutnya niscaya para sahabat mengetahuinya dan menyampaikannya kepada umat islam sebagaimana mereka menyampaikan seluruh syariat-Nya. Tatkala tidak dinukilkan dari salah satu ahli ilmu dari Nabi SAW tentang hal itu, tidak pada hadits shahih, tidak pula dha’if, tidak pula musnad, tidak pula mursal, bisa diketahui bahwa Nabi SAW tidak menyebut sesuatupun tentang hal itu dan hadits yang diriwayatkan tentang celak lemah, diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya dan selainnya tidak meriwayatkan hadits tersebut. (Majmu' fatawa karya Ibnu Taimiyah: 25/234). 

Ini, dan tidak mengharuskan pada alasan berbuka hanya khusus dengan taghdiyah (ransum), namun yang benar hendaknya ada gabungan antara ransum dan taladzdzudz (menikmati) agar diperoleh maksud dari berbuka, karena diketahui bahwa orang yang sakit kadang diberi ransum dengan suntikan namun masih rindu makanan dan menginginkan minum, oleh karena itu seluruh aneka macam suntikan baik yang mengandung bahan makanan atau tidak, tidak membatalkan puasa karena tidak terpenuhinya alasan gabungan tadi, karena hukum apabila berkaitan dengan dua sifat tidak bisa ditetapkan dengan salah satunya saja, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.

Dan ilmu di sisi Allah, dan akhir doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Oleh Syeikh Muhammad Ali Farkus

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bg22.php

Hukum semprot hidung pada waktu puasa




Soal: Seorang wanita penanya mengalami sakit asma dan dia ingin mengetahui apakah boleh baginya menggunakan semprot hidung (penyegar nafas paru-paru) yang bekerja untuk melebarkan saluran nafas dengan cara menghirup obat yang ada dalam semprotan ini, dan itu pada bulan Ramadhan atau selainnya yaitu ketika dia puasa.

Jawab:

Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk orang yang Allah mengutusnya sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya dan, para sahabat dan para saudaranya sampai hari akhir, wa ba’du:
Apabila bahan semprot hidung ini adalah bentuk lain dari udara (oksigen) yang membantu membuka dan melonggarkan saluran pernafasan, maka kami tidak memandang terlarangnya menggunakan obat ini di Ramadhan dan selainnya dan tidak mungkin untuk memasukkkannya ke dalam pembatal-pembatal puasa. Namun apabila obat ini mengandung bahan-bahan yang terdiri dari bahan-bahan uap yang apabila digunakan akan berubah menjadi cairan yang bisa dirasakan rasanya dan turunnya ke tenggorokan dan lambung ketika digunakan dan berinteraksi, maka obat ini termasuk pembatal puasa. Sehingga apabila penggunaan obat ini pada jenis kedua pada siang bulan ramadhan sekali atau dua kali, maka dia dianggap orang yang sakit yang mengganti hari yang dia berbuka. Namun apabila penggunaan obat ini pada seluruh bulan atau melampaui batas normal maka hukumnya hukum orang yang sakit menaun yang berkaitan dengannya membayar fidyah.
Wallahu a’lam, dan akhir doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Oleh Syeikh Muhammad Ali Farkus

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bg1.php

Tanda-tanda malam lailatul qadar



Soal: Apa tanda malam lailatul qadar dan apa kewajiban seorang muslim pada malam itu?

Jawab:

Termasuk sunnah menghidupkan malam lailatul qadar dan malam ini khusus pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan dan malam-malam ganjilnya lebih ditekankan dari selainnya dan yang paling diharapkan adalah malam 27. Disyariatkan untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan baik siang maupun malamnya dan shalat malam bukan wajib namun (hukumnya) sunah, karena Nabi bersungguh-sungguh (dalam ibadah) pada sepuluh malam terakhir apa yang tidak beliau lakukan pada selainnya. Aisyah berkata: Nabi SAW apabila masuk sepuluh akhir, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Dan sabda Rasulullah:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Dan hadits-hadits dalam bab ini banyak.
Allah yang memberi taufik.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz juz 15, hal.: 432

Lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan




Soal: Allah mengutamakan bulan Ramadhan mubarak dari bulan-bulan yang lainnya, dan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dari malam-malam seluruh tahun serta lailatul qadar yang dia lebih baik dari seribu bulan. Apakah lailatul qadar ditentukan tanggalnya atau berada di antara sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan?

Jawab:

Nabi SAW telah mengabarkan bahwa lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan dan Nabi SAW menjelaskan bahwa malam-malam ganjil lebih dikuatkan dari malam-malam yang genap. Barangsiapa yang menghidupkan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan niscaya dia akan mendapatinya. Telah shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Maknanya: dia menghidupkan malamnya dengan shalat dan seluruh ibadah dari membaca al-Qur’an, doa, sedekah dan selainnya dengan keimanan bahwa Allah mensyariatkan itu dan mengharapkan pahala di sisi-Nya, bukan karena riya’ dan bukan karena tujuan lain dari tujuan-tujuan dunia, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Ini menurut jumhur ahli ilmu dengan taqyid dia harus menjauhi dosa-dosa besar, karena Nabi bersabda:
الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن ما اجتنبت الكبائر"
Shalat lima waktu, jumat ke jumat dan Ramadhan ke Ramadhan penghapus apa yang ada antara keduanya selama dijauhi dosa-dosa besar. Diriwayatkan oleh Muslim.
Kita memohon kepada Allah untuk memberi taufik kepada kaum muslimin semuanya di setiap tempat untuk menghidupkan malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala Allah, sesungguhnya Allah maha dermawan dan maha mulia.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz juz 15, hal.: 430

Malam lailatul qadar seutama-utamanya malam




Soal: Bertepatan dengan malam lailatul qadar, kami mengharapkan dari yang mulia berbicara kepada kaum muslimin tentang moment ini.

Jawab:

Malam lailatu qadar adalah seutama-utamanya malam, Allah telah menurunkan al-Qur’an pada malam tersebut. Dan Allah mengabarkan bahwa malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan, dan malam tersebut malam yang barakah, diputuskan pada malam tersebut semua keputusan yang bijaksana, sebagaimana firman Allah dalam awal surat ad-Dukhan:
حم ﴿١﴾  وَالكِتٰبِ المُبينِ ﴿٢﴾  إِنّا جَعَلنٰهُ قُرءٰنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُم تَعقِلونَ ﴿٣﴾  وَإِنَّهُ فى أُمِّ الكِتٰبِ لَدَينا لَعَلِىٌّ حَكيمٌ ﴿٤﴾  أَفَنَضرِبُ عَنكُمُ الذِّكرَ صَفحًا أَن كُنتُم قَومًا مُسرِفينَ ﴿٥﴾  وَكَم أَرسَلنا مِن نَبِىٍّ فِى الأَوَّلينَ ﴿٦﴾
Haa Miim. Demi Kitab (Al Qur'an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (ad-Dukhan: 1-6).
Dan Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”  (Al Qadar: 1 – 5).
Telah shahih dari Rasulullah SAW berkata:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat, dzikir, doa membaca al-qur’an dan lainnya dari kebaikan.

Surat yang agung ini menunjukkan bahwa amal shaleh di malam tersebut adalah lebih baik dari amalan selama seribu bulan selain malam lailatul qadar. Ini keutamaan yang besar dan kasih sayang Allah untuk hamba-hamba-Nya. Selayaknya bagi kaum muslimin untuk mengagungkannya, menghidupkannya dengan ibadah. Nabi SAW telah mengabarkan bahwa malam lailatul qadar berada di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan malam-malam ganjil lebih dimungkinkan terdapat lailatul qadar. Rasulullah berkata:
‏ ‏التمسوها في العشر الأواخر من رمضان ‏ ‏التمسوها  فى كل وتر.
Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, carilah pada setiap malam ganjil. Diriwayatkan oleh Bukhari. Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah menunjukkan bahwa malam lailatul qadar berpindah-pindah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan dan tidak pada satu malam tertentu terus menerus. Kadang di malam 21,kadang di malam 23, kadang di malam 25, kadang malam 27 dan ini malam yang paling diharapkan, kadang di malam 29 dan kadang di malam yang genap. Barangsiapa yang menghidupkan sepuluh malam semuanya dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, dia akan mendapati malam itu tanpa diragukan dan beruntung dengan apa yang Allah janjikan kepada pelakunya. Dan sungguh Nabi SAW mengkhususkan malam-malam ini dengan tambahan kesungguhan yang tidak beliau lakukan di 20 malam sebelumnya. Aisyah berkata: Nabi bersungguh sungguh pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan yang tidak beliau lakukan pada selainnya. Aisyah berkata: Rasulullah apabila masuk sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggangnya. Dan Rasulullah pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan biasanya I’tikaf, dan Allah telah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (al-Ahzab: 21).

Dan Aisyah bertanya kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, jika aku mendapati malam lailatul qadar, apa yang aku ucapkan? Rasulullah berkata: Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Pemaaf lagi Mulia yang menyukai ampunan, ampunilah kami. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Demikianlah para sahabat Nabi, para salaf mereka mengagungkan malam-malam ini dan bersungguh-sungguh dengan berbagai kebaikan.
Maka disyariatkan bagi kaum muslimin di setiap tempat untuk mencontoh Nabi mereka, para sahabat yang mulia dan para kaum salaf pilihan yang mana mereka menghidupkan malam-malam ini dengan shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir dan ibadah dengan iman dan mengharapkan pahala sehingga mendapatkan keberuntungan dengan ampunan, penghapusan dosa dan terbebas dari neraka, sebagai keutamaan, kedermawanan dan kemuliaan dari Allah.

Al-Kitab dan as-Sunnah telah menunjukkan bahwa janji besar ini diperoleh dengan menjauhi dosa-dosa besar sebagaimana firman Allah:
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم وندخلكم مدخلا كريما  .
Jika kamu menjauhi dosa dosa besar di antara dosa dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (an-Nisa’: 31). Dan Nabi bersabda:
الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن ما اجتنبت الكبائر"
Shalat lima waktu, jumat ke jumat dan Ramadhan ke Ramadhan penghapus apa yang ada antara keduanya selama dijauhi dosa-dosa besar. Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya.

Dan yang wajib diperingatkan bahwa sebagian kaum muslimin telah bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan bertobat kepada Allah dari apa yang telah lalu dari dosa, kemudian setelah keluar Ramadhan kembali pada perbuatannya yang jelek, ini bahaya besar.
Wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati dari hal itudan hendaknya bertekat dengan tekat yang jujur untuk terus di atas ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan sebagaimana firman Allah kepada Nabi-Nya:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (al-Hijr: 99). Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (ali Imran: 102). Allah berfirman:
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون، نحن أوليائكم في الحياة الدنيا وفى الآخرة ولكم فيها ما تشتهى أنفسكم ولكم فيها ما تدعون. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نُزُلاً مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kami lah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Fushshilat: 30-32).
Makna ayat: sesungguhnya orang-orang yang mengetahui bahwa Robb mereka adalah Allah, mereka beriman kepada-Nya, mengikhlaskan ibadah untuk-Nya dan beristiqamah di atas hal itu, para malaikat memberi kabar gembira mereka ketika meninggal dunia bahwa mereka tidak perlu takut dan tidak perlu bersedih, sesungguhnya tempat kembali mereka adalah surga karena keimanan mereka, istiqamah mereka di atas ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan serta mengikhlaskan ibadah bagi Allah. Dan ayat-ayat yang semakna banyak sekali semuanya menunjukkan akan wajibnya mantap di atas kebenaran, istiqamah di atasnya, dan berhati-hati dari terus-menerus di atas kemaksiatan kepada Allah. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.  الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ . أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa mereka--dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan syurga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (Ali Imran: 133-136).

Maka kita memohon kepada Allah untuk memberi taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin pada malam-malam ini dan selainnya kepada apa yang Allah cintai dan Allah ridhai, dan semoga Allah melindungi kita semua dari kejelekan diri kita dan kejahatan amal kita, sesungguhnya Allah maha dermawan lagi maha mulia.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah juz 15, hal.: 425-430

Hadits “Barangsiapa yang meninggal dunia dan memiliki (hutang) puasa maka ahli waritsnya memuasakannya”, ini umum tidak khusus puasa nadzar




Soal: Hadits “Barangsiapa yang meninggal dunia dan memiliki (hutang) puasa maka ahli waritsnya memuasakannya”, yang aku tahu hadits ini dibawa kepada puasa nadzar akan tetapi salah seorang ulama menyebutkan dalam sebuah acara bahwa itu puasa Ramadhan. Apakah ini benar atau yang benar aku tidak mengetahuinya dari salah satu buku-buku salaf? Sampaikan kepadaku semoga Allah memberimu pahala, Jazakumullah khair.

Jawab: 

Yang benar ini umum tidak khusus puasa nadzar. Telah diriwayatkan dari beberapa imam seperti Ahmad dan sekelompok ulama, mereka berkata: itu khusus puasa nadzar, akan tetapi itu pendapat yang lemah tanpa dalil. Yang benar ini umum karena Rasul SAW berkata:
من مات و عليه صيام صام عنه وليه.
“Barangsiapa yang meninggal dunia dan memiliki (hutang) puasa maka ahli waritsnya memuasakannya”. Disepakati akan keshahihannya dari hadits Aisyah. Dan Rasulullah SAW tidak mengatakan puasa nadzar dan tidak boleh mengkhususkan perkataan Nabi SAW kecuali dengan dalil, karena hadits Nabi umum mencakup puasa nadzar dan puasa Ramadhan. Apabila seorang muslim terlambat mengganti puasanya karena malas padahal mampu (puasa) atau puasa kafarah, barangsiapa yang meninggalkannya maka walinya yang memuasakan. Dan wali adalah kerabatnya. Apabila orang lain memuasakannya, maka sah.

Rasulullah SAW ditanya, seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan dia memiliki (hutang) puasa sebulan, apakah aku memuasakannya?. Rasulullah berkata: Apa pendapatmu apabila ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Lunasilah untuk Allah, karena Allah lebih pantas untuk dilunasi (kewajiban-Nya). Diriwayatkan oleh Muslim.

Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu: wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, dan dia memiliki (hutang) puasa sebulan, apakah aku memuasakannya? Beliau berkata: Apa pendapatmu apabila ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Lunasilah untuk Allah, karena Allah lebih pantas untuk dilunasi (kewajiban-Nya). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Dan dalam Musnad Ahmad dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, dan dia punya (hutang) puasa Ramadhan, apakah aku memuasakannya? Rasulullah SAW berkata: Puasakan ibumu. Wanita tersebut menjelaskan bahwa hutang puasanya adalah puasa Ramadhan maka Rasulullah SAW memerintahkannya untuk memuasakan ibunya.

Hadits-hadits yang banyak menunjukkan akan digantikan puasa Ramadhan dan selainnya dan tidak ada sisi pengkhususan atas nadzar, bahkan itu pendapat yang lemah, yang benar keumuman hadits tersebut. Demikianlah telah datang dalil-dalil dari Rasulullah, akan tetapi apabila seorang yang berbuka di bulan Ramadhan  tidak berbuka kecuali karena sakit atau menyusui atau hamil kemudian meninggal dan belum bisa mengganti puasa, maka tidak ada kewajiban baginya dan bagi ahli warits, tidak perlu mengganti puasa dan memberi makan orang miskin karena punya udzur syar’i, yaitu sakit dan semisalnya. Adapun bila sembuh dari sakitnya dan memungkinkannya puasa kemudian dia meremehkannya maka harus digantikan puasanya. Wanita yang menyusui dan hamil jika mampu mengganti puasa setelah menyusui dan hamilnya namun meremehkannya maka keduanya digantikan puasanya (apabila meninggal).
Allah yang memberi taufik.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah Juz 15 hal.: 373-374

Barangsiapa yang meninggal pada pertengahan bulan puasa, gugur kewajiban puasa baginya



Soal: Bapakku meninggal pada tanggal 3 Ramadhan, apakah aku wajib menyempurnakan Ramadhan untuknya, yaitu aku menggantikan puasa untuknya selama 27 hari?

Jawab:

Kamu tidak memiliki kewajiban apapun, karena bapakmu telah meninggal sehingga gugur kewajiban baginya. Kamu tidak punya kewajiban untuk menggantikan puasa untuknya dan tidak disyariatkan hal itu.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah Juz 15

Jumat, 12 Agustus 2011

Hukum menggantikan shalat dan puasa bagi orang yang meninggalkan shalat dan puasa karena sakit



Soal: Ibu shalat dan puasa, kemudian ibuku sakit parah selama dua tahun,lalu Allah mewafatkannya setelah itu dan ibuk tidak shalat dan tidak puasa selama sakit karena tidak mampu (mengerjakannya). Apakah wajib bagiku membayar kafarah untuk ibuku? Atau menggantikan shalat dan puasanya? Sampaikan kepadaku semoga Allah memberikan barakah kepadamu.

Jawab:

Selama kematian dia karena sakit yang dia tidak bisa puasa maka kamu memuaskan dia dan tidak perlu membayar fidyah. Adapun shalat, sungguh dia telah keliru dengan meninggalkannya. Wajib baginya untuk mengerjakan shalat walaupun sakit dan tidak  berdiri, jika tida mampu shalat sambil duduk, jika tidak mampu duduk shalat sambil berbaring pada sisi tubuhnya dan sisi tubuh yang kanan lebih utama dari sisi kiri jika bisa, jika tidak mampu mengerjakan shalat pada tubuhnya, shalat sambil berbaring. Demikianlah Nabi SAW memerintahkan ketika sebagian sahabat mengeluh sakit kepada beliau. Nabi SAW berkata kepada sahabat:
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب فإن لم تستطع فمستلقيا.
Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu (shalatlah) sambil duduk, jika kamu tidak mampu (shalatlah) pada sisi tubuhmu, jika tidak mampu (shalatlah) dengan terlentang. Ini yang wajib, baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dengan meniatkan rukun shalat dan kewajiban-kewajiban shalat dalam hatinya, berucap sesuai dengan kemampuannya. Dia bertakbir meniatkan takbiratul ihram, kemudian membaca doa istiftah dan al-fatihah serta yang mudah baginya dari al-quran. Kemudian bertakbir dan meniatkan rukuk dengan berkata subhana rabbiyal ‘adhim. Kemudian berkata: sami’allahu liman hamidah meniatkan bangun dari rukuk dan berkata rabbanaa wa lakal hamdu sampai akhir, kemudian bertakbir meniatkan sujud dan berkata: subhana rabbiyal a’laa. Kemudian bangun dengan bertakbir meniatkan duduk antara dua sujud dan berkata: rabbighfir li, kemudian bertakbir meniatkan sujud kedua dan demikianlah dengan niat dan ucapan.

Shalat tidak bisa digantikan, akan tetapi kamu bisa mendoakan dia, memintakan rahmat Allah untuknya, memintakan ampun untuknya jika ibumu muslimah yang mentauhidkan Allah. Adapun apabila dia berdoa kepada orang yang telah mati, meminta pertolongan kepada orang yang telah mati dan berdoa kepada selain Allah, kamu jangan mendoakannya karena perbuatannya tersebut syirik besar. Kita memohon taufik kepada Allah.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Juz: 15 hal.: 363-364

Tidak ada qadha dan memberi makan (fidyah) bagi orang yang meninggal dan tidak mendapati kesempatan untuk mengganti puasa



Soal: Apa hukum orang yang sakit kemudian masuk bulan Ramadhan sehingga dia tidak puasa kemudian meninggal setelah Ramadhan, Apakah digantikan puasanya atau dibayarkan untuknya dengan memberi makan orang-orang miskin?

Jawab:

Apabila seorang muslim meninggal karena sakitnya setelah Ramadhan makan tidak perlu digantikan puasanya tidak pula dibayarkan fidyahnya karena dia punya udzur secara syar’i. demikian juga seorang musafir apabila meninggal dunia ketika safar atau setelah tiba (di rumahnya) langsung meninggal, tidak wajib digantikan puasanya tidak pula memberi makan untuk orang-orang miskin (fidyah)  karena punya udzur syar’i. Adapun orang yang telah sembuh dari sakit kemudian meremehkan mengganti puasa sampai meninggal, disyariatkan bagi ahli waritsnya –mereka adalah kerabatnya- untuk menggantikan puasa karena Nabi bersabda: 
من مات و عليه صيام صام عنه وليه.
Barangsiapa yang meninggal dunia dan punya (hutang) puasa maka ahli waritsnya yang memuasakannya. Muttafaq alaihi. Jika tidak ada yang bisa memuasakannya maka dibayarkan fidyahnya untuk makanan orang-orang miskin dari harta warisnya setiap harinya untuk seorang miskin sebanyak setengah sha’ yaitu sekitar 1,5 kg sebagaimana orang tua yang tidak mampu puasa dan orang sakit yang tidak diharapkan kesembahannya.

Demikian juga wanita haid dan nifas apabila meremehkan mengganti puasa sampai meninggal maka dibayarkan fidyahnya setiap harinya seorang miskin apabila tidak ada yang memuasakannya. Barangsiapa yang tidak memiliki harta waris yang memungkinkan untuk dibayarkan fidyahnya dari harta warisan tersebut maka tidak dibayar fidyahnya karena Allah berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah: 286). Dan firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Maka bertakwalah kepada Allah menurut kemampuan kalian. (at-Taghabun: 16).
Allah yang memberi taufik.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah juz 15, hal.:  

Orang yang murtad kemudian tobat tidak mengganti puasa dan shalat



Soal: Apakah orang yang murtad apabila masuk islam dan bertaubat harus mengganti puasa dan shalat?

Jawab:

Tidak ada qadha baginya. Barangsiapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila seseorang meninggalkan shalat atau melaksanakan pembatal-pembatal keislaman kemudian Allah memberinya hidayah dan bertaubat, sesungguhnya dia tidak perlu mengganti puasa dan shalat. Inilah yang benar menurut perkataan ahli ilmu karena islam menghapus apa yang sebelumnya dan taubat menghapus apa yang sebelumnya. Allah berfirman:
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِن يَنتَهُوا۟ يُغْفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَف
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”. (al-Anfal: 38). Allah menjelaskan bahwa orang kafir apabila masuk islam Allah akan mengampuni apa yang telah lalu dan Nabi SAW berkata:
والتوبة تجب وما كان قبلها والإسلام يهدم ما كان قبله
Taubat menghapus apa yang sebelumnya dan islam menghapus apa yang sebelumnya.

Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Juz: 15

Menutupi aurat




Ketika membuka aurat kaum muslimin dan menyingkap kejelekannya membawa kepada kerusakan mereka, menolong setan kepada mereka dan menyebabkab mereka terus menerus di atas kemaksiatan sebagaimana dalamhadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Muawiayah dari Nabi SAW:

إنك إن اتبعت عورات المسلمين أفسدتهم، أو كدت أن تفسدهم

Sesungguhnya engkau apabila mengikuti aurat kaum muslimin, niscaya engkau merusakkan mereka atau hampir saja engkau merusakkan mereka”.

Maka islam menganjurkan untuk menutupi aurat dan melarang untuk mengikuti aurat. Maka Abu Dawud mengeluarkan dari hadits Abu Barzah al-Aslami berkata, Rasulullah bersabda:

يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه, لا تغتابوا المسلمين، ولا تتبعوا عوراتهم، فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته، ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته

Wahai seluruh orang yang beriman dengan lisannya dan keimanan belum masuk ke dalamhatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin dan janganlah kalian mengikuti aurat mereka, sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti aurat mereka maka Allah akan mengikuti auratnya dan barangsiapa yang Allah mengikuti auratnya maka Allah akan menyingkap auratnya (walaupun) di dalam rumahnya”.

Bagi pelaku maksiat wajib baginya untuk menutupi kemaksiatannya sebelum orang lain, jika tidak maka dia tidak mendapatkan ampunan Allah Ta’ala sebagaimana hadits di ash-Shahihain dari Abu Hurairah:

كلّ أمّتي معافًى إلاّ المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعملَ الرجل بالليل عملاً ثم يصبح وقد ستره الله فيقول: يا فلان، عملتُ البارحةَ كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبِح يكشِف سترَ الله عليه

Setiap umatku mendapatkan ampunan kecuali orang-orang yang menampakkan kemaksiatannya. Dan termasuk menampakkan kemaksiatan seseorang mengerjakan kemaksiatan di waktu malam kemudian di pagi harinya padahal Allah telah menutupinya dia berkata, “Wahai Fulan, semalam aku mengerjakan ini dan ini”, sungguh dia bermalam Rabbnya telah menutupi aibnya dan di waktu pagi dia menyingkap penutupan Allah (atas aibnya) bagi dirinya”.

Orang yang tidak membuka aibnya, dialah yang akan mendapatkan penutupan Allah (atas dosa dan kemaksiatan) di akhirat. Imam Muslim mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah dari Nabi bersabda:

لا يستر الله على عبد في الدنيا إلا ستره الله يوم القيامة

Allah tidak menutupi (aib) seorang hamba di dunia kecuali Allah akan menutupinya di hari kiamat”.

Kaum salaf telah menterjemahkan makna hadits-hadits yang mulia ini ke dalam praktek nyata yang penuh kasih sayang. Abdurrazzaq telah mengeluarkan di dalam Mushannafnya (10/227) dari Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata:

لو لم أجد للسارق والزاني وشارب الخمر إلا ثوبي لأحببت أن أستره عليه

Seandainya aku tidak mendapati bagi pencuri, pezina dan peminum minuman keras kecuali bajuku, sungguh aku menyukai untuk menutupi auratnya”.

Dan Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf (9/468) mengeluarkan atsar dengan sanad Shahih dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ‘Ammar dan Zubair, mereka menangkap pencuri dan membebaskannya, maka aku berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh jelek apa yang engkau lakukan ketika engkau membebaskannya”, maka Ibnu Abbas berkata, “Semoga kamu tidak punya Ibu!, seandainya kamu (yang mencuri), sungguh kamu akan senang jika kamu dibebaskan!”.

Inilah Ammar bin Yasir dalam hadits hadits pilihan Makarimil akhlaq karya al-Kharaithi menangkap pencuri kemudian membiarkannya dan dia berkata, “Aku menutupinya semoga Allah menutupiku”. Demikian juga Ibnu Abbas menangkap pencuri kemudian memberinya perbekalan dan membebaskannya.

Dan dalam maslah ini ada penjelasan secara terperinci, inilah penjelasannya di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, karya Ibnu Rajab, beliau berkata:

Ketahuilah bahwa manusia ada dua macam:

Pertama: orang yang tertutupi aibnya dan tidak diketahui dengan melaksanakan kemaksiatan, apabila dia terjatuh dalam kesahan atau kekeliruan tidak diperkenankan mengungkap atau menyingkap kesalahannya dan membicarakannya karena itu termasuk ghibah yang diharamkan, dan inilah orang yang dimaksudkan dalam nash-nash tadi. Orang seperti ini apabila datang dengan taubat dan penyesalan dan mengakui pantas mendapatkan had (hukuman) maka tidak boleh dimintai penjelasan terperinci akan kesalahannya akan tetapi diperintahkan untuk kembali dan menutupi auratnya.

Kedua: orang yang terkenal dengan kemaksiatan dan menampakkannya, tidak peduli dengan apa yang dia lakukan dan apa yang disampaikan kepadanya, inilah fajir yang menampakkan kemaksiatannya dan tidak mengapa dighibahi sebagaimana perkataan Hasan Bashri dan selainnya. Orang semacam ini tidak mengapa di cari cari kesalahannya untuk ditegakkan had kepadanya.

Demikianlah kita dapati manhaj islam yang bijaksana terhadap pelaku maksiat yang menyeru untuk menutupi aib mereka sendiri dan memperingatkan dari mengikuti aurat mereka danmengharamkan jalan-jalan untuk mengikuti aurat mereka sehingga islam melarang dari tajassus dan ghibah, mensyariatkan meminta ijin kemudian membuka pintu taubat dan menyeru mereka kepada keinginan dan harapan serta percaya akan ampunan Allah.

Sesungguhnya itu adalah rahmat Allah yang luas dan hikmah yang tinggi. Bagi Allah pujian di dunia dan di akhirat.



Sumber: Majalah al-Ashalah nomor: 5 hal.: 18-19 pada pembahasan istatiru wasturu yang ditulis oleh Khalid bin Ali bin Muhammad al-‘Anbari.