Selasa, 16 Agustus 2011
Hukum orang yang i'tikaf keluar untuk umrah
Soal: Seorang yang beri'tikaf ingin
mengerjakan umrah untuk bapaknya, apa hukumnya?
Jawab:
Apabila I’tikafnya I’tikaf nadzar
yang waktunya disebutkan, wajib baginya menyempurnakan waktu I’tikafnya, karena
menjalankan nadzar dalam ketaatan adalah wajib, namun jika I’tikafnya sunah
maka jika dia mau dia melanjutkan I’tikafnya dan jika mau dia menghentikan I’tikaf
lalu mengerjakan umrah.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
maqaalaat mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz, Juz: 15
Boleh I’tikaf di selain tiga masjid
Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baaz kepada saudara S.E.M. semoga Allah memberi keselamatan padanya.
Assalam alaikum wa rahmatullah wa
barakatuh, wa ba’du:
Aku sampaikan akan permintaan
fatwamu yang ada di kantor Badan Riset
Ilmiyah dan Fatwa no.: 4886 tanggal: 24/10/1408 H yang kamu bertanya tentang
beberapa pertanyaan, di antaranya:
Soal: Bagaimana keshahihan
hadits: Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid, apabila hadits tersebut
shahih, apakah benar tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid?
Jawab:
Sah i’tikaf di selain tiga
masjid akan tetapi disyaratkan pada masjid yang dilaksanakan padanya i’tikaf
digunakan untuk shalat jum’at, apabila tidak dikerjakan shalat jumat maka tidak
sah ii’tikaf di sana. Apabila dia bernadzar untuk i’tikaf di tiga masjid maka
wajib baginya untuk beri’tikaf di tiga masjid sebagai pelaksanaan terhadap
nadzarnya. Semoga Allah memberi taufik kepada semua kepada apa yang membuat
ridha-Nya
Wassalam alaikum wa rahmatullah
wa barakatuh
Pemimpin umum Badan Riset
Ilmiyah, Fatwa, Dakwah dan Irsyad.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
maqaalaat mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz, Juz: 15 hal.: 445
Minggu, 14 Agustus 2011
Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa?
Pertanyaan:
Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa? Apabila tidak
membatalkan puasa, maka apa batas kebenaran perkataan orang yang berdalil bahwa
keduanya (ghibah dan namimah) membatalkan puasa dengan (dalil) sabda
Rasulullah: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan berbuat
kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya,
yang diriwayatkan Bukhari dalam al-Adab bab firman Allah: “Dan jauhilah
perkataan dusta” no: 6057 dari hadits Abu Hurairah?
Jawab:
Segala
puji bagi Allah Robb semesta alam, semoga shalawat dan salam terlimpahkan
kepada orang yang Allah utus sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya,
para sahabatnya dan para saudaranya sampai hari akhir, amma ba’du:
Puasa
adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa
dari terbit fajar shodik sampai terbenamnya matahari dengan menahan diri secara
indra dan diikuti pula dengan menahan diri secara maknawi dari perkataan haram
dan makruh dari main-main, perkataan kotor, berkata keras dengan kemarahan, perkataan
dusta, masuk di dalamnya setiap perkataan haram dari dusta, ghibah, namimah,
persaksian palsu, memaki, mencela, berbuat bodoh yang kebalikan dari kelembutan
dengan ucapan kotor dan selainnya dari bentuk-bentuk perkataan keji. Hendaknya diketahui
bahwa menjaga lisan dari larangan-larangan ini wajib pada setiap kondisi dan
waktu dan keharoman terjerumus ke dalamnya dari seorang yang puasa lebih keras
dan lebih terlarang, terlebih lagi pada waktu yang utama seperti Ramadhan atau
pada tempat yang utama seperti dua tanah haram karena hadits Abu Hurairah yang
berkata: Rasulullah bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ
قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengan kebodohan, maka
Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.
Ash-Shan’ani
berkata: hadits ini menunjukkan akan haramnya dusta, beramal dengannya,
haramnya berbuat kebodohan bagi seorang yang puasa dan keduanya diharamkan
kepada orang yang tidak sedang puasa juga, akan tetapi pengharaman pada hak
orang yang puasa lebih dikeraskan seperti dikeraskannya keharaman zina dari
orang tua dan kesombongan dari orang miskin. (subulus salam: 2/320).
Sebagaimana
menunjukkan kepada makna ini dari menjaga lisan dari seluruh macam-macam
perkataan yang tidak ada kebaikannya, sabda Rasulullah:
«مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ باللهِ والْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam. Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Dan Sabda
Rasulullah:
«وإِذَا كَانَ يَوْمُ
صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ
قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ»
Apabila
salah satu dari kalian sedang puasa maka janganlah berkata kotor dan berkata
kasar (karena marah), apabila seseorang mencelanya atau memusuhinya maka
katakanlah: Aku seorang yang puasa. Diriwayatan oleh Bukhari dan Muslim.
Jadi,
puasa yang sempurna adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri secara
indra dan maknawi, dan yang berkaitan dengan batalnya puasa dari keduanya
adalah apa yang ditetapkan dari pembatal-pembatal secara indra menurut syar’i seperti
makan, minum, bersetubuh, muntah dengan sengaja, keluarnya darah haid dan nifas
dan selainnya dari pembatal-pembatal puasa. Adapun perkataan kotor dari yang
haram dan yang makruh tidak termasuk di dalamnya, akan tetapi mengurangi pahala
puasa dan meringankan ganjarannya pada sisi yang mana puasanya tidak sempurna. Dan
tidak ada pada hadits Abu Hurairah yang telah lalu apa yang menunjukkan
batalnya puasa bagi orang yang terjerumus dalam kesalahan lisan, puncak apa
yang ditunjukkan hadits tersebut adalah besarnya melakukan perkataan dusta,
berbuat kebodohan pada waktu puasa dan penjelasan bahwa kesempurnaan puasa dan
keutamaannya yang dicari adalah dengan menjaga puasa dari main-main dan
perkataan yang tidak baik (Majmu’ karya an-Nawawi: 6/356)
Dan
tidak ada I’tibar (anggapan batalnya puasa) pada pemahaman sabda Rasulullah: Maka Allah tidak membutuhkan
dia meninggalkan makan dan minumnya, karena Allah tidak butuh kepada amal
seseorang dan tidak pula kepada ketaatan seseorang, sesungguhnya Allah maha kaya
(tidak membutuhkan) semesta alam dan
amal mereka.
Kesimpulannya:
bahwa maksud dari hikmah disyariatkannya puasa bukan pada sekedar menahan
pembatal puasa dengan rasa lapar dan haus, akan tetapi hikmah dari disyariatkannya
puasa adalah menahan diri dari semua yang Allah haramkan dari sisi indrawi dan maknawi untuk membersihkan jiwa dan
menguatkan akhlak dan sifat. Dan yang menguatkan akan tidak batalnya puasa
dari orang yang menggunjing orang lain, apa yang disampaikan seluruh ulama sampai
Ibnu Qudamah menukil ijma’ akan sahnya puasa orang yang menggunjing orang lain.
Ibnu Qudamah berkata: Menggunjing orang tidak membatalkan puasa dengan ijma’,
maka tidak benar membawa hadits kepada apa yang menyelisihi ijma’. (al-Mughni
karya Ibnu Qudamah: 3/104).
Aku
katakan: Walaupun imam al-Auza’i –semoga Allah merahmatinya- telah menyelisihi
hal ini dan berkata: Puasa batal dengan menggunjing orang dan wajib diganti.
(al-Majmu karya an-Nawawi: 6/356). Akan tetapi kelemahan pendapatnya tampak
dengan lemahnya sandaran dia, yang mana beliau berdalil dengan hadits: Lima hal
yang membatalkan orang puasa: menggunjing orang, mengadu domba, dusta, mencium
dan sumpah palsu. Ini hadits palsu sebagaiman perkataan Ibnul Jauzi dalam
al-Maudhu’at.
Dan
hadits ditinjau dari sanadnya tidak kuat untuk dijadikan hujjah walaupun bisa
dita’wil. An-Nawawi berkata: hadits tersebut batil tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Dan
al-Mawardi, al-Mutawalli dan selainnya menjawab bahwa yang dimaksudkan adalah
batalnya pahala bukan batalnya puasa. (al-Majmu’: 6/356).
Dan ilmu (yang benar) disisi Allah, dan
akhir doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan
semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Oleh
Syeikh Muhammad Ali Farkus
Sumber:
http://ferkous.com/rep/Bg35.php
Kadang malam lailatul qadar bisa dilihat dengan mata
Soal: Apakah malam lailatul qadar
bisa dilihat langsung yaitu bisa dilihat dengan mata manusia tanpa alat bantu,
yang mana sebagian orang bilang bahwa seseorang yang bisa melihat lailatul
qadar dia melihat cahaya di langit dan semisalnya? Bagaimana Rasulullah dan
para sahabat melihat lailatul qadar? Bagaimana seseorang tahu bawa dia melihat
malam lailatul qadar, apakah dia memperoleh pahala walaupun pada malam tersebut
dia tidak bisa melihat lailatul qadar? Kami mengharapkan penjelasan hal ini
disertai dalil.
Jawab:
Kadang malam lailatul qadar bisa
dilihat dengan mata bagi orang yang Allah beri taufik padanya yaitu dengan
melihat tanda-tandanya. Para sahabat mereka berdalil akan adanya malam lailatul
qadar dengan tanda-tandanya, akan tetapi apabila tidak bisa melihat lailatul
qadar tidak menghalangi mendapatkan keutamaan malam lailatul qadar bagi orang
yang menghidupkan malam tersebut dengan iman dan mengharapkan pahala. Seorang muslim
selayaknya untuk bersungguh-sungguh untuk mendapatkan lailatul qadar pada
sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana perintah Nabi SAW kepada para
sahabatnya untuk mendapatan pahala. Apabila dia bertepatan menghidupkan malam lailatul
qadar dengan iman dna mengharapkan pahala dia akan mendapatkan pahala walaupun
tidak mengetahuinya.Rasulullah SAW bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan
malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala,
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Dalam riwayat lain
selain di Shahihain:
Barangsiapa yang menghidupkan
malam lailatul qadar mengharapkannya kemudian dia mendapatkan taufik, maka
diampuni dosanya yang telah lalu dan akan datang. Diriwayatan oleh Ahmad.
Telah tsabit dari Nabi SAW apa
yang menunjukkan bahwa termasuk tanda-tanda malam lailatul qadar matahari
terbit di keesokan harinya tanpa cahaya. Dan Ubay bin Ka’b bersumpah bahwa
malam itu malam 27 dan berdalil dengan tanda ini. Yang rojih bahwa malam
lailatul qadar berpindah-pindah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan
namun malam ganjilnya lebih dikuatkan
dan malam 27 lebih dikuatkan (adanya malam lailatul qadar) dari
malam-malam ganjil yang lainnya. Barangsiapa yang berijtihad pada sepuluh malam
semuanya denagn shalat, membaca al-Qur’an, doa dan selainya dari kebaikan dia
akan mendapati lailatul qadar tanpa diragukan, dia beruntung dengan apa yang Allah
janjikan bagi orang yang menghidupkan malam lailatul qadar jika dia melakukan
dengan iman dan mengharapkan pahala.
Allah yang memberi taufik, semoga
shalawat dan salam senantiasa terlimpah untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya
dan para sahabatnya.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz juz 15, hal.: 434
Sabtu, 13 Agustus 2011
Apakah suntikan insulin membatalkan puasa?
Soal: Apa hukum suntikan insulin
bagi orang yang sakit gula pada saat puasa bulan Ramadhan mubarak? Apakah pada
kondisi tidak mampu puasa, dia mengeluarkan sedekah dengan uang atau makanan? Semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan.
Jawab:
Segala puji bagi Allah dan semoga
shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk orang yang Allah
mengutusnya sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya dan, para sahabat dan
para saudaranya sampai hari akhir, wa ba’du:
Yang dianggap dalam berbuka
dengan makan dan minum adalah berkehendak untuk memasukkan sesuatu dari
pembatal ke dalam perut dengan jalan normal yaitu mulut dan dimasukkan (dalam
katagori) mulut, hidung karena sabda Rasulullah SAW:
وَبَالِغْ فِي الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Dan bersungguh-sungguhlah
ketika beristinsyaq (menghirup air lewat hidung) kecuali kamu sedang puasa. Diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Hakim, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Albani dan al-Wadi’i.
Sama saja apakah dia mendapati (turunnya makanan tersebut ke lambung) dengan
apa yang apa yang bermanfaat atau memudharatkan atau apa yang tidak bermanfaat
dan tidak memudharatkan. Dan nash syar’i menetapkan berbuka dengan makan dan
minum dan itu tidak terjadi kecuali dengan jalan normal. Dan semua yang
menyimpang dari ini tidak dinamakan makan atau minum dan tidak dimaksudkan
makan dan minum. Dan pada penyebutan celak, suntikan, tetes mata, mencium
minyak wangi, mengobati orang terluka kepalanya sampai ke kulit otak dan orang
terluka bacok sampai ke rongga tubuh dari obat yang masuk ke badan dengan jalan
yang tidak wajar, syeikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: Dhahirnya tidak berbuka
dengan sesuatupun dari itu semua. Sesungguhnya puasa adalah agama kaum muslimin
yang butuh mengetahuinya orang khusus (ulama) dan orang umum (awam), jika
hal-hal ini termasuk apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan ketika puasa dan
membatalkan puasa, maka ini termasuk kewajiban Rasulullah untuk menjelaskannya.
Seandainya Rasulullah menyebutnya niscaya para sahabat mengetahuinya dan
menyampaikannya kepada umat islam sebagaimana mereka menyampaikan seluruh syariat-Nya.
Tatkala tidak dinukilkan dari salah satu ahli ilmu dari Nabi SAW tentang hal
itu, tidak pada hadits shahih, tidak pula dha’if, tidak pula musnad, tidak pula
mursal, bisa diketahui bahwa Nabi SAW tidak menyebut sesuatupun tentang hal itu
dan hadits yang diriwayatkan tentang celak lemah, diriwayatkan Abu Dawud dalam
Sunannya dan selainnya tidak meriwayatkan hadits tersebut. (Majmu' fatawa karya Ibnu Taimiyah: 25/234).
Ini, dan tidak mengharuskan pada
alasan berbuka hanya khusus dengan taghdiyah (ransum), namun yang benar
hendaknya ada gabungan antara ransum dan taladzdzudz (menikmati) agar diperoleh maksud dari
berbuka, karena diketahui bahwa orang yang sakit kadang diberi ransum dengan
suntikan namun masih rindu makanan dan menginginkan minum, oleh karena itu
seluruh aneka macam suntikan baik yang mengandung bahan makanan atau tidak,
tidak membatalkan puasa karena tidak terpenuhinya alasan gabungan tadi, karena
hukum apabila berkaitan dengan dua sifat tidak bisa ditetapkan dengan salah
satunya saja, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Dan ilmu di sisi Allah, dan akhir
doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan semoga
shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad, keluarganya, para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Oleh Syeikh Muhammad Ali Farkus
Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bg22.php
Hukum semprot hidung pada waktu puasa
Soal: Seorang wanita penanya
mengalami sakit asma dan dia ingin mengetahui apakah boleh baginya menggunakan
semprot hidung (penyegar nafas paru-paru) yang bekerja untuk melebarkan saluran
nafas dengan cara menghirup obat yang ada dalam semprotan ini, dan itu pada
bulan Ramadhan atau selainnya yaitu ketika dia puasa.
Jawab:
Segala puji bagi Allah dan semoga
shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk orang yang Allah
mengutusnya sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya dan, para sahabat dan
para saudaranya sampai hari akhir, wa ba’du:
Apabila bahan semprot hidung ini
adalah bentuk lain dari udara (oksigen) yang membantu membuka dan melonggarkan
saluran pernafasan, maka kami tidak memandang terlarangnya menggunakan obat ini
di Ramadhan dan selainnya dan tidak mungkin untuk memasukkkannya ke dalam
pembatal-pembatal puasa. Namun apabila obat ini mengandung bahan-bahan yang terdiri
dari bahan-bahan uap yang apabila digunakan akan berubah menjadi cairan yang bisa
dirasakan rasanya dan turunnya ke tenggorokan dan lambung ketika digunakan dan
berinteraksi, maka obat ini termasuk pembatal puasa. Sehingga apabila
penggunaan obat ini pada jenis kedua pada siang bulan ramadhan sekali atau dua
kali, maka dia dianggap orang yang sakit yang mengganti hari yang dia berbuka. Namun
apabila penggunaan obat ini pada seluruh bulan atau melampaui batas normal maka
hukumnya hukum orang yang sakit menaun yang berkaitan dengannya membayar
fidyah.
Wallahu a’lam, dan akhir doa kami
sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan semoga shalawat dan
salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad, keluarganya, para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Oleh Syeikh Muhammad Ali Farkus
Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bg1.php
Tanda-tanda malam lailatul qadar
Soal: Apa tanda malam lailatul
qadar dan apa kewajiban seorang muslim pada malam itu?
Jawab:
Termasuk sunnah menghidupkan
malam lailatul qadar dan malam ini khusus pada sepuluh malam terakhir dari
bulan Ramadhan dan malam-malam ganjilnya lebih ditekankan dari selainnya dan
yang paling diharapkan adalah malam 27. Disyariatkan untuk bersungguh-sungguh
dalam ketaatan kepada Allah pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan baik siang
maupun malamnya dan shalat malam bukan wajib namun (hukumnya) sunah, karena
Nabi bersungguh-sungguh (dalam ibadah) pada sepuluh malam terakhir apa yang
tidak beliau lakukan pada selainnya. Aisyah berkata: Nabi SAW apabila masuk
sepuluh akhir, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan
membangunkan keluarganya. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Dan sabda
Rasulullah:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan
malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala,
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Dan hadits-hadits dalam bab ini banyak.
Allah yang
memberi taufik.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz juz 15, hal.: 432
Lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan
Soal: Allah mengutamakan bulan
Ramadhan mubarak dari bulan-bulan yang lainnya, dan sepuluh malam terakhir
bulan Ramadhan dari malam-malam seluruh tahun serta lailatul qadar yang dia
lebih baik dari seribu bulan. Apakah lailatul qadar ditentukan tanggalnya atau
berada di antara sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan?
Jawab:
Nabi SAW telah mengabarkan bahwa
lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan dan Nabi SAW
menjelaskan bahwa malam-malam ganjil lebih dikuatkan dari malam-malam yang
genap. Barangsiapa yang menghidupkan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan
niscaya dia akan mendapatinya. Telah shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau
bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan
malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala,
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Maknanya: dia
menghidupkan malamnya dengan shalat dan seluruh ibadah dari membaca al-Qur’an,
doa, sedekah dan selainnya dengan keimanan bahwa Allah mensyariatkan itu dan
mengharapkan pahala di sisi-Nya, bukan karena riya’ dan bukan karena tujuan
lain dari tujuan-tujuan dunia, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.
Ini menurut
jumhur ahli ilmu dengan taqyid dia harus menjauhi dosa-dosa besar, karena Nabi
bersabda:
الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما
بينهن ما اجتنبت الكبائر"
Shalat lima waktu, jumat ke jumat
dan Ramadhan ke Ramadhan penghapus apa yang ada antara keduanya selama dijauhi
dosa-dosa besar. Diriwayatkan oleh Muslim.
Kita memohon kepada Allah untuk
memberi taufik kepada kaum muslimin semuanya di setiap tempat untuk
menghidupkan malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala Allah,
sesungguhnya Allah maha dermawan dan maha mulia.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Bin Baaz juz 15, hal.: 430
Malam lailatul qadar seutama-utamanya malam
Soal: Bertepatan dengan malam
lailatul qadar, kami mengharapkan dari yang mulia berbicara kepada kaum
muslimin tentang moment ini.
Jawab:
Malam lailatu qadar adalah
seutama-utamanya malam, Allah telah menurunkan al-Qur’an pada malam tersebut. Dan
Allah mengabarkan bahwa malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan, dan
malam tersebut malam yang barakah, diputuskan pada malam tersebut semua
keputusan yang bijaksana, sebagaimana firman Allah dalam awal surat ad-Dukhan:
حم ﴿١﴾ وَالكِتٰبِ المُبينِ
﴿٢﴾ إِنّا جَعَلنٰهُ قُرءٰنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُم
تَعقِلونَ ﴿٣﴾ وَإِنَّهُ فى أُمِّ الكِتٰبِ
لَدَينا لَعَلِىٌّ حَكيمٌ ﴿٤﴾ أَفَنَضرِبُ
عَنكُمُ الذِّكرَ صَفحًا أَن كُنتُم قَومًا مُسرِفينَ ﴿٥﴾ وَكَم أَرسَلنا مِن نَبِىٍّ فِى الأَوَّلينَ
﴿٦﴾
Haa Miim. Demi Kitab (Al Qur'an)
yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi
Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari
Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(ad-Dukhan: 1-6).
Dan Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا
أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
. تَنَزَّلُ
الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ
هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam
kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al Qadar: 1 – 5).
Telah shahih dari Rasulullah SAW
berkata:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang menghidupkan
malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharapkan pahala,
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Muttafaq alaihi. Menghidupkan malam
lailatul qadar dengan shalat, dzikir, doa membaca al-qur’an dan lainnya dari
kebaikan.
Surat yang agung ini menunjukkan
bahwa amal shaleh di malam tersebut adalah lebih baik dari amalan selama seribu
bulan selain malam lailatul qadar. Ini keutamaan yang besar dan kasih sayang
Allah untuk hamba-hamba-Nya. Selayaknya bagi kaum muslimin untuk
mengagungkannya, menghidupkannya dengan ibadah. Nabi SAW telah mengabarkan
bahwa malam lailatul qadar berada di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
dan malam-malam ganjil lebih dimungkinkan terdapat lailatul qadar. Rasulullah berkata:
التمسوها في العشر
الأواخر من رمضان التمسوها فى كل وتر.
Carilah malam lailatul qadar pada
sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, carilah pada setiap malam ganjil. Diriwayatkan
oleh Bukhari. Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah menunjukkan bahwa malam
lailatul qadar berpindah-pindah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan
dan tidak pada satu malam tertentu terus menerus. Kadang di malam 21,kadang di
malam 23, kadang di malam 25, kadang malam 27 dan ini malam yang paling
diharapkan, kadang di malam 29 dan kadang di malam yang genap. Barangsiapa yang
menghidupkan sepuluh malam semuanya dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala, dia akan mendapati malam itu tanpa diragukan dan beruntung dengan apa
yang Allah janjikan kepada pelakunya. Dan sungguh Nabi SAW mengkhususkan
malam-malam ini dengan tambahan kesungguhan yang tidak beliau lakukan di 20
malam sebelumnya. Aisyah berkata: Nabi bersungguh sungguh pada sepuluh hari
terakhir dari Ramadhan yang tidak beliau lakukan pada selainnya. Aisyah berkata:
Rasulullah apabila masuk sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan menghidupkan
malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat
pinggangnya. Dan Rasulullah pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan biasanya
I’tikaf, dan Allah telah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة.
Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (al-Ahzab: 21).
Dan Aisyah bertanya kepada
Rasulullah, Wahai Rasulullah, jika aku mendapati malam lailatul qadar, apa yang
aku ucapkan? Rasulullah berkata: Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya
Allah, sesungguhnya Engkau Pemaaf lagi Mulia yang menyukai ampunan, ampunilah
kami. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Demikianlah para sahabat Nabi, para salaf
mereka mengagungkan malam-malam ini dan bersungguh-sungguh dengan berbagai
kebaikan.
Maka disyariatkan
bagi kaum muslimin di setiap tempat untuk mencontoh Nabi mereka, para sahabat
yang mulia dan para kaum salaf pilihan yang mana mereka menghidupkan
malam-malam ini dengan shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir dan ibadah dengan
iman dan mengharapkan pahala sehingga mendapatkan keberuntungan dengan ampunan,
penghapusan dosa dan terbebas dari neraka, sebagai keutamaan, kedermawanan dan
kemuliaan dari Allah.
Al-Kitab
dan as-Sunnah telah menunjukkan bahwa janji besar ini diperoleh dengan menjauhi
dosa-dosa besar sebagaimana firman Allah:
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم وندخلكم مدخلا كريما .
Jika kamu menjauhi dosa dosa
besar di antara dosa dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).
(an-Nisa’: 31). Dan Nabi bersabda:
الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما
بينهن ما اجتنبت الكبائر"
Shalat
lima waktu, jumat ke jumat dan Ramadhan ke Ramadhan penghapus apa yang ada antara
keduanya selama dijauhi dosa-dosa besar. Diriwayatkan oleh Muslim dalam
shahihnya.
Dan yang
wajib diperingatkan bahwa sebagian kaum muslimin telah bersungguh-sungguh di
bulan Ramadhan bertobat kepada Allah dari apa yang telah lalu dari dosa,
kemudian setelah keluar Ramadhan kembali pada perbuatannya yang jelek, ini
bahaya besar.
Wajib bagi
setiap muslim untuk berhati-hati dari hal itudan hendaknya bertekat dengan
tekat yang jujur untuk terus di atas ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
sebagaimana firman Allah kepada Nabi-Nya:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Tuhanmu sampai
datang kepadamu yang diyakini (ajal). (al-Hijr: 99). Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (ali Imran: 102).
Allah berfirman:
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا
ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون، نحن أوليائكم في الحياة الدنيا وفى الآخرة
ولكم فيها ما تشتهى أنفسكم ولكم فيها ما تدعون. نَحْنُ
أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي
أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نُزُلاً مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ.
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):
"Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu". Kami lah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di
akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Fushshilat: 30-32).
Makna ayat: sesungguhnya
orang-orang yang mengetahui bahwa Robb mereka adalah Allah, mereka beriman
kepada-Nya, mengikhlaskan ibadah untuk-Nya dan beristiqamah di atas hal itu,
para malaikat memberi kabar gembira mereka ketika meninggal dunia bahwa mereka
tidak perlu takut dan tidak perlu bersedih, sesungguhnya tempat kembali mereka
adalah surga karena keimanan mereka, istiqamah mereka di atas ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan serta mengikhlaskan ibadah bagi Allah. Dan ayat-ayat
yang semakna banyak sekali semuanya menunjukkan akan wajibnya mantap di atas
kebenaran, istiqamah di atasnya, dan berhati-hati dari terus-menerus di atas
kemaksiatan kepada Allah. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ
عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً
أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
. أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ.
Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa mereka--dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan syurga
yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan
itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (Ali Imran: 133-136).
Maka kita memohon kepada Allah
untuk memberi taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin pada malam-malam ini
dan selainnya kepada apa yang Allah cintai dan Allah ridhai, dan semoga Allah
melindungi kita semua dari kejelekan diri kita dan kejahatan amal kita,
sesungguhnya Allah maha dermawan lagi maha mulia.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
Maqaalaat Mutanawwi’ah juz 15, hal.: 425-430
Hadits “Barangsiapa yang meninggal dunia dan memiliki (hutang) puasa maka ahli waritsnya memuasakannya”, ini umum tidak khusus puasa nadzar
Soal: Hadits “Barangsiapa yang
meninggal dunia dan memiliki (hutang) puasa maka ahli waritsnya memuasakannya”,
yang aku tahu hadits ini dibawa kepada puasa nadzar akan tetapi salah seorang ulama
menyebutkan dalam sebuah acara bahwa itu puasa Ramadhan. Apakah ini benar atau
yang benar aku tidak mengetahuinya dari salah satu buku-buku salaf? Sampaikan kepadaku
semoga Allah memberimu pahala, Jazakumullah khair.
Jawab:
Yang benar ini umum tidak
khusus puasa nadzar. Telah diriwayatkan dari beberapa imam seperti Ahmad dan
sekelompok ulama, mereka berkata: itu khusus puasa nadzar, akan tetapi itu
pendapat yang lemah tanpa dalil. Yang benar ini umum karena Rasul SAW berkata:
من
مات و عليه صيام صام عنه وليه.
“Barangsiapa yang
meninggal dunia dan memiliki (hutang) puasa maka ahli waritsnya memuasakannya”.
Disepakati akan keshahihannya dari hadits Aisyah. Dan Rasulullah SAW tidak
mengatakan puasa nadzar dan tidak boleh mengkhususkan perkataan Nabi SAW
kecuali dengan dalil, karena hadits Nabi umum mencakup puasa nadzar dan puasa
Ramadhan. Apabila seorang muslim terlambat mengganti puasanya karena malas
padahal mampu (puasa) atau puasa kafarah, barangsiapa yang meninggalkannya maka
walinya yang memuasakan. Dan wali adalah kerabatnya. Apabila orang lain memuasakannya,
maka sah.
Rasulullah SAW ditanya, seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan dia memiliki (hutang) puasa sebulan, apakah aku memuasakannya?. Rasulullah berkata: Apa pendapatmu apabila ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Lunasilah untuk Allah, karena Allah lebih pantas untuk dilunasi (kewajiban-Nya). Diriwayatkan oleh Muslim.
Rasulullah SAW ditanya, seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan dia memiliki (hutang) puasa sebulan, apakah aku memuasakannya?. Rasulullah berkata: Apa pendapatmu apabila ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Lunasilah untuk Allah, karena Allah lebih pantas untuk dilunasi (kewajiban-Nya). Diriwayatkan oleh Muslim.
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu: wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, dan dia memiliki (hutang) puasa sebulan, apakah aku memuasakannya? Beliau berkata: Apa pendapatmu apabila ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Lunasilah untuk Allah, karena Allah lebih pantas untuk dilunasi (kewajiban-Nya). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Dan dalam Musnad Ahmad dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, dan dia punya (hutang) puasa Ramadhan, apakah aku memuasakannya? Rasulullah SAW berkata: Puasakan ibumu. Wanita tersebut menjelaskan bahwa hutang puasanya adalah puasa Ramadhan maka Rasulullah SAW memerintahkannya untuk memuasakan ibunya.
Hadits-hadits yang banyak menunjukkan akan digantikan puasa Ramadhan dan selainnya dan tidak ada sisi pengkhususan atas nadzar, bahkan itu pendapat yang lemah, yang benar keumuman hadits tersebut. Demikianlah telah datang dalil-dalil dari Rasulullah, akan tetapi apabila seorang yang berbuka di bulan Ramadhan tidak berbuka kecuali karena sakit atau menyusui atau hamil kemudian meninggal dan belum bisa mengganti puasa, maka tidak ada kewajiban baginya dan bagi ahli warits, tidak perlu mengganti puasa dan memberi makan orang miskin karena punya udzur syar’i, yaitu sakit dan semisalnya. Adapun bila sembuh dari sakitnya dan memungkinkannya puasa kemudian dia meremehkannya maka harus digantikan puasanya. Wanita yang menyusui dan hamil jika mampu mengganti puasa setelah menyusui dan hamilnya namun meremehkannya maka keduanya digantikan puasanya (apabila meninggal).
Allah yang memberi taufik.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
Maqaalaat Mutanawwi’ah Juz 15 hal.: 373-374
Barangsiapa yang meninggal pada pertengahan bulan puasa, gugur kewajiban puasa baginya
Soal: Bapakku meninggal pada tanggal 3 Ramadhan, apakah aku
wajib menyempurnakan Ramadhan untuknya, yaitu aku menggantikan puasa untuknya
selama 27 hari?
Jawab:
Kamu tidak memiliki kewajiban apapun, karena bapakmu telah
meninggal sehingga gugur kewajiban baginya. Kamu tidak punya kewajiban untuk
menggantikan puasa untuknya dan tidak disyariatkan hal itu.
Jumat, 12 Agustus 2011
Hukum menggantikan shalat dan puasa bagi orang yang meninggalkan shalat dan puasa karena sakit
Soal: Ibu shalat dan puasa,
kemudian ibuku sakit parah selama dua tahun,lalu Allah mewafatkannya setelah
itu dan ibuk tidak shalat dan tidak puasa selama sakit karena tidak mampu
(mengerjakannya). Apakah wajib bagiku membayar kafarah untuk ibuku? Atau menggantikan
shalat dan puasanya? Sampaikan kepadaku semoga Allah memberikan barakah
kepadamu.
Jawab:
Selama kematian dia karena sakit
yang dia tidak bisa puasa maka kamu memuaskan dia dan tidak perlu membayar
fidyah. Adapun shalat, sungguh dia telah keliru dengan meninggalkannya. Wajib baginya
untuk mengerjakan shalat walaupun sakit dan tidak berdiri, jika tida mampu shalat sambil duduk, jika
tidak mampu duduk shalat sambil berbaring pada sisi tubuhnya dan sisi tubuh
yang kanan lebih utama dari sisi kiri jika bisa, jika tidak mampu mengerjakan
shalat pada tubuhnya, shalat sambil berbaring. Demikianlah Nabi SAW
memerintahkan ketika sebagian sahabat mengeluh sakit kepada beliau. Nabi SAW
berkata kepada sahabat:
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب فإن لم تستطع
فمستلقيا.
Shalatlah sambil berdiri, jika kamu
tidak mampu (shalatlah) sambil duduk, jika kamu tidak mampu (shalatlah) pada
sisi tubuhmu, jika tidak mampu (shalatlah) dengan terlentang. Ini yang wajib,
baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dengan meniatkan rukun
shalat dan kewajiban-kewajiban shalat dalam hatinya, berucap sesuai dengan
kemampuannya. Dia bertakbir meniatkan takbiratul ihram, kemudian membaca doa
istiftah dan al-fatihah serta yang mudah baginya dari al-quran. Kemudian bertakbir
dan meniatkan rukuk dengan berkata subhana rabbiyal ‘adhim. Kemudian berkata:
sami’allahu liman hamidah meniatkan bangun dari rukuk dan berkata rabbanaa wa
lakal hamdu sampai akhir, kemudian bertakbir meniatkan sujud dan berkata:
subhana rabbiyal a’laa. Kemudian bangun dengan bertakbir meniatkan duduk antara
dua sujud dan berkata: rabbighfir li, kemudian bertakbir meniatkan sujud kedua
dan demikianlah dengan niat dan ucapan.
Shalat tidak bisa digantikan,
akan tetapi kamu bisa mendoakan dia, memintakan rahmat Allah untuknya,
memintakan ampun untuknya jika ibumu muslimah yang mentauhidkan Allah. Adapun apabila
dia berdoa kepada orang yang telah mati, meminta pertolongan kepada orang yang
telah mati dan berdoa kepada selain Allah, kamu jangan mendoakannya karena
perbuatannya tersebut syirik besar. Kita memohon taufik kepada Allah.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa
Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Juz: 15
hal.: 363-364
Tidak ada qadha dan memberi makan (fidyah) bagi orang yang meninggal dan tidak mendapati kesempatan untuk mengganti puasa
Soal: Apa hukum orang yang sakit
kemudian masuk bulan Ramadhan sehingga dia tidak puasa kemudian meninggal setelah
Ramadhan, Apakah digantikan puasanya atau dibayarkan untuknya dengan memberi makan
orang-orang miskin?
Jawab:
Apabila seorang muslim meninggal
karena sakitnya setelah Ramadhan makan tidak perlu digantikan puasanya tidak
pula dibayarkan fidyahnya karena dia punya udzur secara syar’i. demikian juga
seorang musafir apabila meninggal dunia ketika safar atau setelah tiba (di
rumahnya) langsung meninggal, tidak wajib digantikan puasanya tidak pula
memberi makan untuk orang-orang miskin (fidyah) karena punya udzur syar’i. Adapun orang
yang telah sembuh dari sakit kemudian meremehkan mengganti puasa sampai
meninggal, disyariatkan bagi ahli waritsnya –mereka adalah kerabatnya- untuk
menggantikan puasa karena Nabi bersabda:
من
مات و عليه صيام صام عنه وليه.
Barangsiapa yang meninggal dunia
dan punya (hutang) puasa maka ahli waritsnya yang memuasakannya. Muttafaq alaihi.
Jika tidak ada yang bisa memuasakannya maka dibayarkan fidyahnya untuk
makanan orang-orang miskin dari harta warisnya setiap harinya untuk seorang
miskin sebanyak setengah sha’ yaitu sekitar 1,5 kg sebagaimana orang tua yang tidak
mampu puasa dan orang sakit yang tidak diharapkan kesembahannya.
Demikian juga wanita haid dan
nifas apabila meremehkan mengganti puasa sampai meninggal maka dibayarkan
fidyahnya setiap harinya seorang miskin apabila tidak ada yang memuasakannya. Barangsiapa
yang tidak memiliki harta waris yang memungkinkan untuk dibayarkan fidyahnya
dari harta warisan tersebut maka tidak dibayar fidyahnya karena Allah
berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا.
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah: 286). Dan firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Maka
bertakwalah kepada Allah menurut kemampuan kalian. (at-Taghabun: 16).
Allah yang
memberi taufik.
Orang yang murtad kemudian tobat tidak mengganti puasa dan shalat
Soal: Apakah orang yang murtad
apabila masuk islam dan bertaubat harus mengganti puasa dan shalat?
Jawab:
Tidak ada qadha baginya. Barangsiapa
yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila seseorang
meninggalkan shalat atau melaksanakan pembatal-pembatal keislaman kemudian
Allah memberinya hidayah dan bertaubat, sesungguhnya dia tidak perlu mengganti
puasa dan shalat. Inilah yang benar menurut perkataan ahli ilmu karena islam menghapus
apa yang sebelumnya dan taubat menghapus apa yang sebelumnya. Allah berfirman:
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِن يَنتَهُوا۟ يُغْفَرْ لَهُم مَّا قَدْ
سَلَف
Katakanlah kepada orang-orang
yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah
akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”. (al-Anfal:
38). Allah menjelaskan bahwa orang kafir apabila masuk islam Allah akan
mengampuni apa yang telah lalu dan Nabi SAW berkata:
والتوبة تجب وما كان قبلها والإسلام
يهدم ما كان قبله
Taubat menghapus apa yang
sebelumnya dan islam menghapus apa yang sebelumnya.
Menutupi aurat
Ketika membuka aurat kaum
muslimin dan menyingkap kejelekannya membawa kepada kerusakan mereka, menolong
setan kepada mereka dan menyebabkab mereka terus menerus di atas kemaksiatan
sebagaimana dalamhadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Muawiayah dari
Nabi SAW:
إنك إن اتبعت عورات المسلمين أفسدتهم، أو كدت أن تفسدهم
“Sesungguhnya engkau apabila mengikuti aurat kaum
muslimin, niscaya engkau merusakkan mereka atau hampir saja engkau merusakkan
mereka”.
Maka islam menganjurkan untuk
menutupi aurat dan melarang untuk mengikuti aurat. Maka Abu Dawud mengeluarkan
dari hadits Abu Barzah al-Aslami berkata, Rasulullah bersabda:
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه, لا تغتابوا المسلمين،
ولا تتبعوا عوراتهم، فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته، ومن يتبع الله عورته يفضحه
في بيته
“Wahai seluruh orang yang beriman dengan lisannya
dan keimanan belum masuk ke dalamhatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum
muslimin dan janganlah kalian mengikuti aurat mereka, sesungguhnya barangsiapa
yang mengikuti aurat mereka maka Allah akan mengikuti auratnya dan barangsiapa
yang Allah mengikuti auratnya maka Allah akan menyingkap auratnya (walaupun) di
dalam rumahnya”.
Bagi pelaku maksiat wajib baginya
untuk menutupi kemaksiatannya sebelum orang lain, jika tidak maka dia tidak
mendapatkan ampunan Allah Ta’ala sebagaimana hadits di ash-Shahihain dari Abu
Hurairah:
كلّ أمّتي معافًى إلاّ المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعملَ الرجل
بالليل عملاً ثم يصبح وقد ستره الله فيقول: يا فلان، عملتُ البارحةَ كذا وكذا، وقد
بات يستره ربّه، ويصبِح يكشِف سترَ الله عليه
“Setiap umatku mendapatkan ampunan kecuali
orang-orang yang menampakkan kemaksiatannya. Dan termasuk menampakkan
kemaksiatan seseorang mengerjakan kemaksiatan di waktu malam kemudian di pagi
harinya padahal Allah telah menutupinya dia berkata, “Wahai Fulan, semalam aku
mengerjakan ini dan ini”, sungguh dia bermalam Rabbnya telah menutupi aibnya
dan di waktu pagi dia menyingkap penutupan Allah (atas aibnya) bagi dirinya”.
Orang yang tidak membuka aibnya,
dialah yang akan mendapatkan penutupan Allah (atas dosa dan kemaksiatan) di
akhirat. Imam Muslim mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah dari Nabi bersabda:
لا يستر الله على عبد في الدنيا إلا ستره الله يوم القيامة
“Allah tidak menutupi (aib) seorang hamba di dunia
kecuali Allah akan menutupinya di hari kiamat”.
Kaum salaf telah menterjemahkan
makna hadits-hadits yang mulia ini ke dalam praktek nyata yang penuh kasih
sayang. Abdurrazzaq telah mengeluarkan di dalam Mushannafnya (10/227) dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq berkata:
لو لم أجد للسارق والزاني وشارب الخمر إلا ثوبي لأحببت أن أستره عليه
“Seandainya aku tidak mendapati bagi pencuri,
pezina dan peminum minuman keras kecuali bajuku, sungguh aku menyukai untuk
menutupi auratnya”.
Dan Ibnu Abi Syaibah di dalam
Al-Mushannaf (9/468) mengeluarkan atsar dengan sanad Shahih dari ‘Ikrimah dari
Ibnu Abbas, ‘Ammar dan Zubair, mereka menangkap pencuri dan membebaskannya,
maka aku berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh jelek apa yang engkau lakukan
ketika engkau membebaskannya”, maka Ibnu Abbas berkata, “Semoga kamu tidak
punya Ibu!, seandainya kamu (yang mencuri), sungguh kamu akan senang jika kamu
dibebaskan!”.
Inilah Ammar bin Yasir dalam
hadits hadits pilihan Makarimil akhlaq karya al-Kharaithi menangkap pencuri
kemudian membiarkannya dan dia berkata, “Aku menutupinya semoga Allah
menutupiku”. Demikian juga Ibnu Abbas menangkap pencuri kemudian memberinya
perbekalan dan membebaskannya.
Dan dalam maslah ini ada
penjelasan secara terperinci, inilah penjelasannya di dalam Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, karya Ibnu Rajab, beliau berkata:
Ketahuilah bahwa manusia ada dua
macam:
Pertama: orang yang tertutupi
aibnya dan tidak diketahui dengan melaksanakan kemaksiatan, apabila dia
terjatuh dalam kesahan atau kekeliruan tidak diperkenankan mengungkap atau
menyingkap kesalahannya dan membicarakannya karena itu termasuk ghibah yang
diharamkan, dan inilah orang yang dimaksudkan dalam nash-nash tadi. Orang
seperti ini apabila datang dengan taubat dan penyesalan dan mengakui pantas
mendapatkan had (hukuman) maka tidak boleh dimintai penjelasan terperinci akan
kesalahannya akan tetapi diperintahkan untuk kembali dan menutupi auratnya.
Kedua: orang yang terkenal dengan
kemaksiatan dan menampakkannya, tidak peduli dengan apa yang dia lakukan dan
apa yang disampaikan kepadanya, inilah fajir yang menampakkan kemaksiatannya
dan tidak mengapa dighibahi sebagaimana perkataan Hasan Bashri dan selainnya.
Orang semacam ini tidak mengapa di cari cari kesalahannya untuk ditegakkan had
kepadanya.
Demikianlah kita dapati manhaj
islam yang bijaksana terhadap pelaku maksiat yang menyeru untuk menutupi aib
mereka sendiri dan memperingatkan dari mengikuti aurat mereka danmengharamkan
jalan-jalan untuk mengikuti aurat mereka sehingga islam melarang dari tajassus
dan ghibah, mensyariatkan meminta ijin kemudian membuka pintu taubat dan
menyeru mereka kepada keinginan dan harapan serta percaya akan ampunan Allah.
Sesungguhnya itu adalah rahmat
Allah yang luas dan hikmah yang tinggi. Bagi Allah pujian di dunia dan di
akhirat.
Sumber: Majalah al-Ashalah nomor:
5 hal.: 18-19 pada pembahasan istatiru wasturu yang ditulis oleh Khalid bin Ali
bin Muhammad al-‘Anbari.
Langganan:
Postingan (Atom)