Minggu, 14 Agustus 2011

Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa?



Pertanyaan: Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa? Apabila tidak membatalkan puasa, maka apa batas kebenaran perkataan orang yang berdalil bahwa keduanya (ghibah dan namimah) membatalkan puasa dengan (dalil) sabda Rasulullah: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan berbuat kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya, yang diriwayatkan Bukhari dalam al-Adab bab firman Allah: “Dan jauhilah perkataan dusta” no: 6057 dari hadits Abu Hurairah?

Jawab:

Segala puji bagi Allah Robb semesta alam, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada orang yang Allah utus sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya, para sahabatnya dan para saudaranya sampai hari akhir, amma ba’du:

Puasa adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa dari terbit fajar shodik sampai terbenamnya matahari dengan menahan diri secara indra dan diikuti pula dengan menahan diri secara maknawi dari perkataan haram dan makruh dari main-main, perkataan kotor, berkata keras dengan kemarahan, perkataan dusta, masuk di dalamnya setiap perkataan haram dari dusta, ghibah, namimah, persaksian palsu, memaki, mencela, berbuat bodoh yang kebalikan dari kelembutan dengan ucapan kotor dan selainnya dari bentuk-bentuk perkataan keji. Hendaknya diketahui bahwa menjaga lisan dari larangan-larangan ini wajib pada setiap kondisi dan waktu dan keharoman terjerumus ke dalamnya dari seorang yang puasa lebih keras dan lebih terlarang, terlebih lagi pada waktu yang utama seperti Ramadhan atau pada tempat yang utama seperti dua tanah haram karena hadits Abu Hurairah yang berkata: Rasulullah bersabda: 
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengan kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.
Ash-Shan’ani berkata: hadits ini menunjukkan akan haramnya dusta, beramal dengannya, haramnya berbuat kebodohan bagi seorang yang puasa dan keduanya diharamkan kepada orang yang tidak sedang puasa juga, akan tetapi pengharaman pada hak orang yang puasa lebih dikeraskan seperti dikeraskannya keharaman zina dari orang tua dan kesombongan dari orang miskin. (subulus salam: 2/320).
Sebagaimana menunjukkan kepada makna ini dari menjaga lisan dari seluruh macam-macam perkataan yang tidak ada kebaikannya, sabda Rasulullah:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ والْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.  Dan Sabda Rasulullah:
«وإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ»
Apabila salah satu dari kalian sedang puasa maka janganlah berkata kotor dan berkata kasar (karena marah), apabila seseorang mencelanya atau memusuhinya maka katakanlah: Aku seorang yang puasa. Diriwayatan oleh Bukhari dan Muslim.
Jadi, puasa yang sempurna adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri secara indra dan maknawi, dan yang berkaitan dengan batalnya puasa dari keduanya adalah apa yang ditetapkan dari pembatal-pembatal secara indra menurut syar’i seperti makan, minum, bersetubuh, muntah dengan sengaja, keluarnya darah haid dan nifas dan selainnya dari pembatal-pembatal puasa. Adapun perkataan kotor dari yang haram dan yang makruh tidak termasuk di dalamnya, akan tetapi mengurangi pahala puasa dan meringankan ganjarannya pada sisi yang mana puasanya tidak sempurna. Dan tidak ada pada hadits Abu Hurairah yang telah lalu apa yang menunjukkan batalnya puasa bagi orang yang terjerumus dalam kesalahan lisan, puncak apa yang ditunjukkan hadits tersebut adalah besarnya melakukan perkataan dusta, berbuat kebodohan pada waktu puasa dan penjelasan bahwa kesempurnaan puasa dan keutamaannya yang dicari adalah dengan menjaga puasa dari main-main dan perkataan yang tidak baik (Majmu’ karya an-Nawawi: 6/356) 
Dan tidak ada I’tibar (anggapan batalnya puasa) pada pemahaman sabda Rasulullah: Maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya, karena Allah tidak butuh kepada amal seseorang dan tidak pula kepada ketaatan seseorang, sesungguhnya Allah maha kaya (tidak membutuhkan)  semesta alam dan amal mereka.
Kesimpulannya:  bahwa maksud dari hikmah disyariatkannya puasa bukan pada sekedar menahan pembatal puasa dengan rasa lapar dan haus, akan tetapi hikmah dari disyariatkannya puasa adalah menahan diri dari semua yang Allah haramkan dari sisi indrawi dan maknawi untuk membersihkan jiwa dan menguatkan akhlak dan sifat. Dan yang menguatkan akan tidak batalnya puasa dari orang yang menggunjing orang lain, apa yang disampaikan seluruh ulama sampai Ibnu Qudamah menukil ijma’ akan sahnya puasa orang yang menggunjing orang lain. Ibnu Qudamah berkata: Menggunjing orang tidak membatalkan puasa dengan ijma’, maka tidak benar membawa hadits kepada apa yang menyelisihi ijma’. (al-Mughni karya Ibnu Qudamah: 3/104).
Aku katakan: Walaupun imam al-Auza’i –semoga Allah merahmatinya- telah menyelisihi hal ini dan berkata: Puasa batal dengan menggunjing orang dan wajib diganti. (al-Majmu karya an-Nawawi: 6/356). Akan tetapi kelemahan pendapatnya tampak dengan lemahnya sandaran dia, yang mana beliau berdalil dengan hadits: Lima hal yang membatalkan orang puasa: menggunjing orang, mengadu domba, dusta, mencium dan sumpah palsu. Ini hadits palsu sebagaiman perkataan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at.
Dan hadits ditinjau dari sanadnya tidak kuat untuk dijadikan hujjah walaupun bisa dita’wil. An-Nawawi berkata: hadits tersebut batil tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Dan al-Mawardi, al-Mutawalli dan selainnya menjawab bahwa yang dimaksudkan adalah batalnya pahala bukan batalnya puasa. (al-Majmu’: 6/356).
Dan ilmu (yang benar) disisi Allah, dan akhir doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Oleh Syeikh Muhammad Ali Farkus

Sumber: http://ferkous.com/rep/Bg35.php

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar