Pertanyaan:
Apakah menggunjing orang dan mengadu domba orang membatalkan puasa? Apabila tidak
membatalkan puasa, maka apa batas kebenaran perkataan orang yang berdalil bahwa
keduanya (ghibah dan namimah) membatalkan puasa dengan (dalil) sabda
Rasulullah: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan berbuat
kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya,
yang diriwayatkan Bukhari dalam al-Adab bab firman Allah: “Dan jauhilah
perkataan dusta” no: 6057 dari hadits Abu Hurairah?
Jawab:
Segala
puji bagi Allah Robb semesta alam, semoga shalawat dan salam terlimpahkan
kepada orang yang Allah utus sebagai rohmat bagi semesta alam, keluarganya,
para sahabatnya dan para saudaranya sampai hari akhir, amma ba’du:
Puasa
adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa
dari terbit fajar shodik sampai terbenamnya matahari dengan menahan diri secara
indra dan diikuti pula dengan menahan diri secara maknawi dari perkataan haram
dan makruh dari main-main, perkataan kotor, berkata keras dengan kemarahan, perkataan
dusta, masuk di dalamnya setiap perkataan haram dari dusta, ghibah, namimah,
persaksian palsu, memaki, mencela, berbuat bodoh yang kebalikan dari kelembutan
dengan ucapan kotor dan selainnya dari bentuk-bentuk perkataan keji. Hendaknya diketahui
bahwa menjaga lisan dari larangan-larangan ini wajib pada setiap kondisi dan
waktu dan keharoman terjerumus ke dalamnya dari seorang yang puasa lebih keras
dan lebih terlarang, terlebih lagi pada waktu yang utama seperti Ramadhan atau
pada tempat yang utama seperti dua tanah haram karena hadits Abu Hurairah yang
berkata: Rasulullah bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ
قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengan kebodohan, maka
Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.
Ash-Shan’ani
berkata: hadits ini menunjukkan akan haramnya dusta, beramal dengannya,
haramnya berbuat kebodohan bagi seorang yang puasa dan keduanya diharamkan
kepada orang yang tidak sedang puasa juga, akan tetapi pengharaman pada hak
orang yang puasa lebih dikeraskan seperti dikeraskannya keharaman zina dari
orang tua dan kesombongan dari orang miskin. (subulus salam: 2/320).
Sebagaimana
menunjukkan kepada makna ini dari menjaga lisan dari seluruh macam-macam
perkataan yang tidak ada kebaikannya, sabda Rasulullah:
«مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ باللهِ والْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam. Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Dan Sabda
Rasulullah:
«وإِذَا كَانَ يَوْمُ
صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ
قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ»
Apabila
salah satu dari kalian sedang puasa maka janganlah berkata kotor dan berkata
kasar (karena marah), apabila seseorang mencelanya atau memusuhinya maka
katakanlah: Aku seorang yang puasa. Diriwayatan oleh Bukhari dan Muslim.
Jadi,
puasa yang sempurna adalah beribadah kepada Allah dengan menahan diri secara
indra dan maknawi, dan yang berkaitan dengan batalnya puasa dari keduanya
adalah apa yang ditetapkan dari pembatal-pembatal secara indra menurut syar’i seperti
makan, minum, bersetubuh, muntah dengan sengaja, keluarnya darah haid dan nifas
dan selainnya dari pembatal-pembatal puasa. Adapun perkataan kotor dari yang
haram dan yang makruh tidak termasuk di dalamnya, akan tetapi mengurangi pahala
puasa dan meringankan ganjarannya pada sisi yang mana puasanya tidak sempurna. Dan
tidak ada pada hadits Abu Hurairah yang telah lalu apa yang menunjukkan
batalnya puasa bagi orang yang terjerumus dalam kesalahan lisan, puncak apa
yang ditunjukkan hadits tersebut adalah besarnya melakukan perkataan dusta,
berbuat kebodohan pada waktu puasa dan penjelasan bahwa kesempurnaan puasa dan
keutamaannya yang dicari adalah dengan menjaga puasa dari main-main dan
perkataan yang tidak baik (Majmu’ karya an-Nawawi: 6/356)
Dan
tidak ada I’tibar (anggapan batalnya puasa) pada pemahaman sabda Rasulullah: Maka Allah tidak membutuhkan
dia meninggalkan makan dan minumnya, karena Allah tidak butuh kepada amal
seseorang dan tidak pula kepada ketaatan seseorang, sesungguhnya Allah maha kaya
(tidak membutuhkan) semesta alam dan
amal mereka.
Kesimpulannya:
bahwa maksud dari hikmah disyariatkannya puasa bukan pada sekedar menahan
pembatal puasa dengan rasa lapar dan haus, akan tetapi hikmah dari disyariatkannya
puasa adalah menahan diri dari semua yang Allah haramkan dari sisi indrawi dan maknawi untuk membersihkan jiwa dan
menguatkan akhlak dan sifat. Dan yang menguatkan akan tidak batalnya puasa
dari orang yang menggunjing orang lain, apa yang disampaikan seluruh ulama sampai
Ibnu Qudamah menukil ijma’ akan sahnya puasa orang yang menggunjing orang lain.
Ibnu Qudamah berkata: Menggunjing orang tidak membatalkan puasa dengan ijma’,
maka tidak benar membawa hadits kepada apa yang menyelisihi ijma’. (al-Mughni
karya Ibnu Qudamah: 3/104).
Aku
katakan: Walaupun imam al-Auza’i –semoga Allah merahmatinya- telah menyelisihi
hal ini dan berkata: Puasa batal dengan menggunjing orang dan wajib diganti.
(al-Majmu karya an-Nawawi: 6/356). Akan tetapi kelemahan pendapatnya tampak
dengan lemahnya sandaran dia, yang mana beliau berdalil dengan hadits: Lima hal
yang membatalkan orang puasa: menggunjing orang, mengadu domba, dusta, mencium
dan sumpah palsu. Ini hadits palsu sebagaiman perkataan Ibnul Jauzi dalam
al-Maudhu’at.
Dan
hadits ditinjau dari sanadnya tidak kuat untuk dijadikan hujjah walaupun bisa
dita’wil. An-Nawawi berkata: hadits tersebut batil tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Dan
al-Mawardi, al-Mutawalli dan selainnya menjawab bahwa yang dimaksudkan adalah
batalnya pahala bukan batalnya puasa. (al-Majmu’: 6/356).
Dan ilmu (yang benar) disisi Allah, dan
akhir doa kami sesungguhnya segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Dan
semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpah untuk Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Oleh
Syeikh Muhammad Ali Farkus
Sumber:
http://ferkous.com/rep/Bg35.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar