Jumat, 29 Juli 2011

Tafsir firman Allah: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَة


ٌ

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz kepada yang mulia al-Amir Salman bin Abdul Aziz gubernur wilayah Riyadh –Semoga Allah memberian taufik kepadanya dan menambah ilmu dan iman kepadanya-.

Assalam alaikum wa rahmatullah wabarakatuh, amma ba’du:

Aku sampaikan berkenaan dengan pertanyaanmu secara lisan tentang tafsir firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Al-Baqarah:184). Yang mana yang mulia menginginan hendaknya jawaban dengan tulisan, maka aku sampaikan bahwa para ulama tafsir –semoga Allah merahmati mereka- menyebutkan bahwa tatkala Allah mensyariatkan puasa Ramadhan, Allah mensyariatkan dengan pilihan antara tidak puasa Ramadhan dan memberi makan orang miskin atau berpuasa, dan berpuasa (tentunya) lebih utama. Barangsiapa yang tidak puasa sedangkan dia mampu puasa maka wajib baginya memberi makan orang miskin dan dia tidak mengqadha’ puasanya. Jika dia berpuasa maka ini yang utama karena Allah berfirman: 
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Al-Baqarah:184).

Adapun orang sakit dan musafir hendaknya keduanya berbuka (tidak puasa) dan mengqadha puasa yang ditinggalkan, karena Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.
“Maka Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah:184).
Kemudian Allah menghapus hukum tersebut dan mewajiban puasa kepada mukallaf yang sehat dan tidak safar, Allah juga memberikan keringanan kepada orang sakit dan musafir untuk berbuka dan mengqadha’ puasanya dengan firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (al-Baqarah:185).

Dan tinggallah (hukum) memberi makan menjadi hak orang tua yang lemah baik laki-laki maupun perempuan dari mengerjakan puasa, sebagaimana telah tetap dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik dan sekelompok sahabat dan kaum salaf. Bukhari meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Salamah bin al-Akwa’ makna apa yang kami sebutkan dari penghapusan hukum ayat yang kami sebutkan yaitu firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Hal ini diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal dan sekelompok ulama  dari kaum salaf. Semisal orang tua yang telah renta adalah orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya lagi baik laki-laki maupun perempuan, mereka memberi makan setiap harinya seorang miskin dan mereka tidak perlu mengqadha puasa yang ditinggalkan karena sakit mereka, persis seperti orang tua renta (yang tidak mampu puasa). Dan boleh mengeluarkan makanan untuk orang-orang miskin di awal Ramadhan, pertengahan maupun di akhir Ramadhan.

Adapun wanita hamil dan menyusui, wajib baginya untuk puasa kecuali apabila puasa memberatkan dirinya, maka disyariatan bagi keduanya untuk berbuka dan mengqadha’nya di waktu lain sebagaimana seorang sakit atau musafir. Inilah yang benar dari dua pendapat dari kalangan para ulama pada hak wanita hamil dan menyusui. Sedangkan sekelompok orang dari kaum salaf berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui bagi keduanya membayar fidyah (memberi makan orang miskin) dan tidak perlu mengqadha puasanya seperti orang tua yang renta, namun yang benar keduanya seperti orang sakit dan musafir boleh berbuka dan mengqadha’nya. Telah tetap dari Nabi SAW dari hadits Anas bin Malik al-Ka’bi yang menunjukkan bahwa keduanya seperti orang sakit dan musafir.

Aku memohon kepada Allah untuk mengaruniakan kepada kami dan kepada yang mulia pemahaman agama dan keteguhan di atasnya dan semoga Allah menjadikan kami dan yang mulia juga seluruh kaum muslimin orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan petunjuk (kepada kebaikan), sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha dekat.

Wassalam alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Pemimpin umum Badan Riset ilmiyah, fatwa , dakwah dan irsyad.

Sumber: Majmu' Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi'ah karya Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Juz: 15 hal.: 170-172

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar