Soal: Dengan apa penetapan masuk bulan Ramadhan dan bagaimana
diketahuinya hilal?
Jawab:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam Allah untuk Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya dan orang orang yang mengambil petunjuknya.
Wa ba’du:
Penetapan hilal Ramadhan dengan ru’yah menurut seluruh ahli
ilmu berdasarkan sabda Nabi:
صوموا لرؤيته وأفطروا
لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين.
Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena
melihat hilal, apabila mendung maka sempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari.
Diriwayatkan oleh Muslim. Dalam lafadz lain:
صوموا لرؤيته وأفطروا
لرؤيته فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين.
Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena
melihat hilal, apabila mendung maka berpuasalah 30 hari. Diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban. Dalam lafdz yang lain:
فأكملوا عدة شعبان
ثلاثين يوما.
Maka sempurnakan bilangan sya’ban 30 hari. Diriwayatkan oleh
Bukhari.
Yang dimaksudkan adalah hendaknya berpuasa karena ru’yah dan
berbuka kerena ru’yah. Apabila hilal tidak kelihatan maka wajib menyempurnakan
sya’ban menjadi 30 hari kemudian puasa Ramadhan. Dan wajib menyempurnakan
Ramadhan 30 hari kemudian berbuka apabila tidak bisa ru’yah, adapun bila
telah tetap ru’yah maka segala puji bagi Allah.
Wajib bagi kaum muslimin untuk berpuasa dengan ru’yah hilal
Ramadhan malamke 30 bulan sya’ban sehingga bulan sya’ban tidak sempurna (30
hari) dan mereka berpuasa dan demikian pula apabila mereka melihat hilal malam
ke 30 bulan Ramadhan mereka berbuka setelah puasa 29 hari. Adapun bila mereka
tidak melihat hilal mereka menyempurnakan sya’ban 30 hari dan menyempurnakan
Ramadhan 30 hari karena mengamalkan hadits: Berpuasalah karena melihat hilal
dan berbukalah karena melihat hilal, apabila mendung maka sempurnakan bilangan
bulan (30 hari). Diriwayatkan oleh Muslim. Nash ini mencakup sya’ban dan
Ramadhan dan dalam lafadz lain: Apabila mendung maka puasalah 30 hari.
Dan hilal untuk menetapkan bulan Ramadhan cukup dengan satu
saksi, saksi yang adil menurut jumhur ahli ilmu, sebagaimana telah tetap dari
Ibnu Umar berkata: Manusia melihat-lihat hilal maka aku mengabarkan Nabi SAW
bahwa aku melihat hilal. Maka Rasulullah puasa dan memerintahkan manusia untuk
puasa. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dan telah tetap dari Nabi SAW bahwa seorang
Arab bersaksi bahwa dihadapan Nabi bahwa dia melihat hilal, maka Nabi SAW
berkata: Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak disembah)
kecuali Allah dan aku Rasulullah? Dia menjawab: Ya, maka Rasulullah memerintahkan
untuk puasa. Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Hilal apabila dilihat oleh seorang yang adil untuk masuknya
bulan Ramadhan wajib puasa dengan persaksiannya. Adapun keluar dari bulan
Ramadhan harus dengan dua orang saksi adil. Demikianlah sisa bulan yang lain
tidak ditetapkan kecuali dengan dua saksi karena Rasulullah bersabda:
فان شهد شاهدان فصوموا
و أفطروا .
Apabila dua orang bersaksi maka berpuasalah dan berbukalah. Diriwayatkan
oleh Ahmad dan an-Nasai. Telah tetap dari
al-Harits bin Hathib berkata: Rasulullah mengambil janji kepada kami agar kami
beribadah dengan ru’yah, apabila kami tidak melihatnya dan dua orang saksi adil
bersaksi maka kami beribadah dengan persaksian keduanya. Diriwayatkan oleh Abu
Dawud.
Maksudnya bahwa dua saksi adil menjadi keharusan untuk keluar dari
bulan Ramadhan dan pada seluruh bulan, sedangkan untuk masuknya bulan Ramadhan
cukup satu saksi adil berdasarkan dua hadits yang telah lalu.
Dan para ulama berselisih tentang wanita apakah diterima
persaksiannya untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan sebagaimana lelaki? Ada dua
pendapat:
Di antara mereka ada yang menerimanya sebagaimana diterimanya
riwayat seorang wanita dalam meriwayatkan hadits syarif apabila dia tsiqah.
Dan di antara mereka tidak menerimanya. Yang rajih tidak
diterimanya persaksian wanita dalam masalah ini karena ini adalah tugas kaum
lelaki dan menjadi kekhususan kaum lelaki sehingga mereka yang menjadi saksi. Dan
karena mereka lebih tahu dan lebih memahami masalah ini.
Sumber: Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah karya Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Juz: 15 hal.: 59-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar