Minggu, 11 September 2011

Apakah donor liver menyebabkan kemahraman?



pertanyaan: Aku mendonorkan sebagian liverku untuk ayahku dan telah sempurna penggantian liver ayahku dengan sebagian liverku, apakah ayahku boleh menggauli ibuku? Sebagaimana diketahui bahwa liver tempat pembuatan darah. Sampaikan kepada kami secepatnya disertai pengenalan diri orang yang menjawab pertanyaan ini.

Jawaban:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Donor livermu untuk ayahmu tidak mempengaruhi hubungan dia dengan istrinya yaitu ibumu. Demikian juga donor darah tidak menyebabkan keterkaitan antara pendonor dan yang menerima donor. al-Lajnah ad-Daimah telah ditanya tentang hukum donor darahnya seorang wanita terhadap anak kecil, apakah menyebabkan kemahraman? al-Lajnad ad-Daimah menjawab: donor darah tidak seperti ASI dalam menyebabkan kemahraman.
Jadi, apabila seorang wanita mendonorkan darahnya kepada anak kecil, hal itu tidak menjadikan anak tersebut anak (persusuannya) walaupun darah donornya banyak dan berulang-ulang.
Dan untuk mengetahu mekanisme fatwa di situs ini silahkan lihat fatwa nomor: 1122.
Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=135474

Hukum mendonorkan plasenta ketika melahirkan.



Pertanyaan:
Aku hamil dan hampir akan melahirkan dalam beberapa minggu ini, aku ingin mengetahui apakah boleh mendonorkan plasenta ketika melahirkan kepada yayasan riset tentang penyakit anak yang mana mereka akan menyimpan plasenta dalam kondisi beku sampai digunakan ketika dibutuhkan untuk mengobati anak yang sakit seperti sakit kanker dan operasi anak? Sebagaimana telah diketahui bahwa penggunaan sel plasenta adalah ilmu modern yang menetapkan bahwa sel ini memungkinkan untu menyelamatkan nyawa anak anak dari kematian ketika sel tersebut cocok.

Jawaban:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Tidak mengapa mendonorkan plasenta jika memungkinkan untuk dimanfaatkan karena itu lebih utama dari pada di buang di tempat sampah. Dan Syeikh Ibnu Utsaimin telah ditanya: Apa hukum menjaga plasenta untuk mengobati kanker dan menghilangkan keriputan wajah? Maka beliau menjawab: Dhahirnya tidak mengapa selama telah tetap (manfaat itu).
Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=134307

Hukum donor organ tubuh



Pertanyaan:
Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Apakah mendonorkan darah dan organ tubuh haram atau halal?

Jawab:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah untu Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Telah lalu jawaban akan hukum donor darah pada fatwa nomor: 5090 lihatlah. Adapun donor organ tubuh, pelakunya tidak lepas dari salah satu dari dua kondisi:
Pertama: Dia mendonorkan salah satu organ tubuhnya ketika masih hidup kemudian diambil ketika masih hidup pula.
Kedua: Dia mendonorkan salah satu organ tubuhnya ketika masih hidup dan diambil setelah dia meninggal.
Pada kondisi pertama: Apabila organ tubuh ini termasuk organ yang mempengaruhi kehidupan pendonor seperti hati, kepala dan semisalnya, maka tidak boleh mendonorkannya, karena mengandung arti bunuh diri dan menjatuhkan diri dalam kebinasaan dan ini perkara haram menurut syar’i. dan semisal itu, apabila pengambilan organ tubuh menyebabkan kehilangan tugas tubuh atau menyebabkan tidak bisa menjalankan kewajiban seperti mendonorkan kedua tangan atau kedua kaki yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencari nafkah dan melaksanakan kewajiban atau donor organ tersebut memudharatkan pendonor dengan menimbulkan cacat fisik atau kehilangan organnya untuk menghilangkan kemudharatan semisal itu pada orang lain seperti mendonorkan tangan atau kornea mata dari seorang yang hidup lagi sehat kepada orang lain yang kehilangan organ tersebut, yang demikian karena tidak terpenuhinya kondisi terpaksa pada si penerima donor. Betapa banyak orang yang di permukaan bumi tidak memiliki tangan atau kaki. Betapa banyak orang yang buta hidup dalam ketenangan. Apabila kita terima bahwa orang yang kehilangan tangan atau kaki dalam kondisi terpaksa (harus transplantasi), sungguh kemudharatan pendonor tangan atau kaki lebih pantas untuk diperhatikan. Sebagaimana dalam kaidah: “Sesungguhnya kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan semisal” disertai dengan hukum asal tubuh manusia adalah haram dan dimuliakan, maka tidak diperkenankan menyakiti dan tidak pula menghinakan dengan memotong atau merusaknya. Allah berfirman:
ولقد كرمنا بني آدم
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak Adam”. (al-Isra': 70). Dan Rasulullah SAW bersabda: 
"كل المسلم على المسلم حرام: دمه وماله وعرضه"
“Setiap muslim terhadap muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”. diriwayatkan Muslim.
Adapun organ tubuh yang pengambilannya tidka memudharatkan pemilikinya dan diperoleh kemashlahatan dan manfaat pada diri orang yang menerima donor dan dia sangat membutuhkannya, mak tidak mengapa –in syaa Allah Ta’ala- untuk mendonorkannya dalam kondisi semacam ini, bahkan ini termasuk bab menghilangkan musibah, berbuat baik dan berta’awun di atas kebaikan dna takwa.
Adapun pada kondisi kedua: yaitu donor organ tubuh dan diambil setelah kematian, yang rajih menurut kami bolehnya hal itu, karena mengandung kemashlahatan yang banyak yang diperhatikan oleh syariat islam. Dan telah tetap bahwa kemashlahatan orang hidup di dahulukan atas kemashlahatan menjaga kehormatan orang yang telah mati. Di sini tercapai kemashlahatan orang yang hidup dengan mengambil organ tubuh orang yang telah mati diberikan kepada penderita sakit yang membutuhkannya yang mana kehidupan mereka tergantung pada organ tersebut atau kesembuhan mereka dari penyakit akut tersebut disertai ilmu bahwa dalam masalah ini ada berbagai pendapat, akan tetapi kami merajihkan pendapat ini karena kami memandang aan sejalannya pendapat ini dengan kehendak syar’I yang mana syariat menginginkan kemudahan, mengangkat kemudharatan, memelihara kemashlahatan umum, mengambil mafsadah yang paling ringan dan mengutamakan kemashlahatan yang terbaik.
Dan donor dengan dua kondisi yang telah disebutkan disyaratkan bahwa yang menerima donor adalah seorang yang terjaga darahnya yaitu seorang muslim atau dzimmi bukan seorang kafir yang diperangi.
Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=&Option=FatwaId&Id=11667

Hukum membeli ginjal untuk transplantasi



Pertanyaan :
 Saya seorang pasien gagal ginjal kronis semua dokter sepakat bahwa satu-satunya solusi untuk pengobatan adalah transplantasi ginjal karena ginjal saya sudah tidak berfungsi. Dan di sana ada orang yang ingin mendonorkan salah satu ginjalnya dengan imbalan uang. Mohon penjelasan akan hukum agama terhadap sumbangan semacam ini, demikian pula apa hukum apabila yang menyumbang tersebut adalah salah satu anggota keluarga tanpa minta imbalan apapun, sampaikan kepadaku secepatnya karena kondisiku tidak memungkinkan untuk mengakhirkan (masalah ini). Semoga memberimu pahala.

Jawaban :

Segala puji bagi, shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarganya dan ara sahabatnya, amma ba’du:
Telah lalu jawaban kami tentang transplantasi organ dan hukum mendonorkan organ pada fatwa nomor : 4005 dan No: 11.667
Kami telah menyebutkan di sana bahwa tidak mengapa transplantasi organ dengan aturan dan syarat-syarat yang disebutkan di sana. Sebagaimana kami sebutkan pula bahwa tidak boleh menjual organ tubuh dan bahwa manusia bukan tempat untuk diperjual belikan dan kami tambahkan disini bahwa seorang yang sakit apabila terpaksa mencangkok ginjal dan dia tidak mendapatinya kecuali dengan membayarnya, dia diperbolehkan melakuan hal itu. Dan dia tidak berdosa karena firman Allah:
وقد فصل لكم ما حرم عليك إلا ما اضطررتم إليه.
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (al-An’am: 119). Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=13522

Sabtu, 10 September 2011

Hadits perintah Nabi kepada para sahabatnya untuk wudhu ketika ada seorang sahabat yang kentut




Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Yahya bin Abdullah al-Babalati: telah mengatakan kepada kami al-Auza’i: telah mengatakan kepada kami Washil bin Abu Jamil Abu Bakar dari Mujahid berkata:
((وجد النبي صلى الله عليه وسلم ريحاً فقال: ليقم صاحب هذا الريح فليتوضأ. فاستحيا الرجل أن يقوم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليقم صاحب هذا الريح فليتوضأ فإن الله لا يستحي من الحق، فقال العباس: يا رسول الله أفلا نقوم كلنا نتوضأ؟ فقال: قوموا كلكم
فتوضؤوا))
 Rasulullah mendapati bau (kentut), kemudian beliau berkata: “Hendaknya pemilik bau ini bangun untuk berwudhu”. Maka orang tersebut malu untuk bangun, maka Rasulullah berkata: “Hendaknya pemiliki bau ini bangun untuk berwudhu, sesungguhnya Allah tidak malu dari yang hak”. Maka al-Abbas berkata: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bangun semua untuk wudhu?”. Maka Rasulullah berkata: “Bangunlah kalian semua untuk berwudhu”.

Hadits ini adalah hadits yang batil sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh al-Albani di dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah no.: 1132.

Syeikh al-Albani berkata: “Hadits ini sanadnya dhaif penuh dengan rentetan illah: irsal dari Mujahid dan dia adalah Ibnu Jabrin dan lemahnya Washil bin Abu Jamil dan al-Babalati.
Dan asal hadits ini mawquf. Dan Mujalid telah meriwayatkan: ‘Amir telah mengatakan kepada kami dari jarir yaitu Ibnu Abdillah al-Bajali: Bahwasanya Umar shalat bersama manusia kemudian ada orang yang kentut, maka Umar berkata: “Aku bertekad agar supaya pemilik bau ini untuk berwudhu dan mengulangi shalatnya”. Maka Jarir berkata: “Atau engkau bertekat terhadap setiap orang yang mendengarnya untuk berwudhu dan mengulang shalat”. Maka Umar berkata: “Alangkah baiknya apa yang kamu ucapkan, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan”. Kemudian memerintahkan mereka dengan itu.
Sedangkan ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir (1/107/1): mengatakan kepada kami Mu’adz bin al-Mutsanna: mengatakan kepada kami Musaddad: mengatakan kepada kami Yahya dari Mujalid.
Syeikh al-Albani berkata: Atsar ini sanad perowinya seluruhnya tsiqat, para perowi Muslim kecuali Mu’adz bin Mutsanna dia seorang tsiqat yang terjemahnya ada di Tarikh al-Baghdad. Dan Mujalid dan dia adalah Ibnu Sa’id al-Hamadani yang mana al-Hafidz berkata di dalam at-Taqrib: “Bukan seorang yang kuat dan telah berubah hafalannya di akhir usianya”.
Sedangkan perkataan al-Haitsami: “ath-Thabrani meriwayatkannya di dalam al-Kabir dan para perawinya adalah perowi yang shahih”.
Syeikh al-Albani berkomentar: “Perkataan ini termasuk hal yang tidak tersembunyi akan jauhnya dari kebenaran bagi orang yang mengetahui apa yang telah kami terangkan. Dan menyerupai hadits ini apa yang sering disampaikan orang-orang awam dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli ilmu, mereka menyangka bahwa Nabi SAW berkhuthbah pada suatu hari kemudian salah seorang sahabat kentut, sehingga dia malu untuk bangun di hadapan manusia dan dia telah makan daging unta sehingga Rasulullah berkata untuk menutupi orang tersebut: “Siapa yang telah makan daging unta harus berwudhu”. Maka sekumpulan orang yang telah makan daging unta bangun untuk wudhu.
Kisah ini bersamaan tanpa ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah dan tidak pula dalam selainnya dari kitab-kitab fiqh dan tafsir sepengetahuanku, sesungguhnya pengaruhnya jelek sekali bagi orang yang membenarkannya karena menghalanginya untuk mengamalkan perintah Nabi SAW bagi setiap orang yang makan daging unta untuk berwudhu sebagaimana telah tetap di dalam Shahih Muslim dan selainnya: mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami harus wudhu dari memakan daging kambing?”. Rasulullah menjawab: “Tidak”. Mereka berkata:”Apakah kami harus wudhu dari memakan daging unta?”. Rasulullah menjawab: “Berwudhulah”. Mereka membawa perintah Nabi yang shrih ini kepada sekedar (keinginan Nabi) untuk menutupi seseorang tersebut bukan pensyariatan. bagaimana mereka memahami kisah ini dan mempercayainya padahal sangat jauh dari akal sehat dan dari syariat yang lurus. Apabila mereka mau memikirkannya sesaat akan jelas apa yang kami terangkan dengan gambling. Sesungguhnya tidak selayaknya bagi Nabi SAW untuk memerintahkan dengan suatu perintah berkaitan dengan sebab temporer, kemudian beliau tidak menjelaskan sebab tersebut kepada manusia sehingga masalah tersebut menjadi syariat yang langgeng. Sebagaimana terjadi dalam masalah ini. Para ulama hadits dan fiqh telah mengamalkan hadits ini, seandainya Rasulullah memerintahkan hal tersebut karena sebab yang disangka tersebut niscaya Rasulullah akan menjelaskannya dengan sempurna, sehingga manusia tidak tersesat karena mengikuti para ulama terhadap perintah yang mutlak tersebut. Akan tetapi semoga Allah merendahkan setiap pemalsu hadits di setiap jaman dan setiap kota, sesungguhnya mereka adalah penyebab terbesar yang menjauhkan kebanyakan kaum muslimin dari mengamalkan sunnah Nabi SAW. Dan semoga Allah meridhai para kaum muslimin yang mengamalkan perintah Nabi ini dan memberikan taufik kepada yang lain untuk mengikuti mereka dalam hal ini dan mengikuti setiap sunnah Nabi SAW yang shahih. Allah yang memberi taufik.

sumber: as-Silsilah adh-Dha’ifah no.: 1132.  

Jumat, 09 September 2011

Berta'awun dengan yayasan yang memiliki kesalahan dalam manhaj


Pertanyaan: Kami mendapati sebagian pemuda di negeri kami ingin berta’awun dengan sebagian yayasan amal yang menyelisihi manhaj yaitu dengan berta’awun dengan mereka dari bidang bantuan harta saja tanpa syarat dari pihak yayasan tersebut. Apa nasehatmu terhadap mereka?

Jawab:
 
Telah lalu penjelasan tentang ta’awun, hukum asal ta’awun adalah firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَان
“Dan tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa dan janganlah tolong menolong di atas dosa dan permusuhan”. (al-Maidah: 2). Apabila ta’awun tersebut di atas kebaikan dan takwa maka tidak mengapa.
Saya buatkan contoh untuk menjelaskan masalah ini. Kalau ada ahli bid’ah atau seorang yang menyimpang dalam manhaj atau sebagian orang yang memiliki penyimpangan berkata: Berikan pada kami buku-bukumu untuk kuajarkan. Bukankah ini ta’awun? Ini namanya ta’awun. Apakah dilarang berta’awun dengan mereka? Kamu berkata: Tidak, kami tidak akan memberikan padamu buku-buku kami dan kami tidak akan memberikan kesempatan padamu untuk menyampaikan pelajaran (dengan buku-buku kami) karena kalian adalah ahli bid’ah atau kalian menyimpang dalam manhaj. Tidak ada seorangpun dari ahli ilmu mengatakan semacam ini. Bahkan kita berusaha untuk memberikan petunjuk kepadanya.
Seandainya mereka berkata: Kami ingin menghadiri pelajaran-pelajaranmu. Kemudian kamu katakan: Tidak, tidak boleh masuk ke masjid-masjid kami. Yang dilarang masuk masjid adalah orang-orang kafir, adapun di luar masjid … sampai orang yahudi dan nasrani kalau salah seorang dari mereka berkata: Aku ingin mengunjungimu dan bertanya tentang islam, atau  dia berkata: Berkunjunglah padaku dan serulah aku ke dalam agama islam. (maka serulah dia ke dalam agama islam). Ini adalah ta’awun. Kalau sebagian mereka meminta kepada sebagian ahlus sunnah, dan mereka jujur dalam meminta dengan berkata: Utuslah kepada kami seorang alim yang mengajari manusia. Mereka tidak menginginkan kecuali kebaikan, tidak menginginkan kecuali ilmu, tidak ingin menguatkan kebatilan mereka dan tidak ingin menyamarkan diri dihadapan manusia. Ingin menyamarkan diri di hadapan manusia? Apa yang menghalangi untuk menasehati dan memberikan saran kepada mereka?
Adapun apabila ta’awun, di sana ada sekelompok ahli bid’ah yang memiliki kebid’ahan-kebid’ahan kemudian mereka berkata: Kami berta’awun dengan kalian, diamlah terhadap kesalahan-kesalahan kami, jangan mentahdzir kesalahan-kesalahan kami dan kami tidak mentahdzir dari kalian, kita berta’awun, kita berkumpul di atas apa yang kita sepakati dan saling memberikan udzur atas apa yang kita perselisihkan. Maka kamu katakan: Ini salah, kami berta’awun bersama kalian dengan memberikan nasehat kepada kalian dengan menjelaskan kesalahan-kesalahan kalian, ini ta’awun terbesar bersama kalian.
Di sana ada perbedaan antara ta’awun tersebut. Yang ingin kebaikan kita membantunya dan yang ingin menyelisihi sunnah walaupun saudara terdekat kita, kita tidak membantunya dalam menyelisihi sunnah. Inilah dasar ahlus sunnah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.
Dan hendaknya kita menjauhkan diri dari perkataan mutlak, Apa hukum berta’awun dengan ahli bid’ah? (Jawaban): Tidak boleh berta’awun dengan ahli bid’ah. Maka perinci jawabannya!. Yang lain berkata boleh berta’awun dengan ahli bid’ah. Dua kelompok berselesih (dalam masalah ini), sekelompok membolehkan dan yang lain melarang.
Apa yang ada dalam al-Qur’an? Boleh atau tidak? Di dalam al-Qur’an ada perincian: “Dan tolong menolonglah di atas kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong di atas dosa dan permusuhan”. (al-Maidah: 2). Kita sering menyeru saudara-saudara kita untuk merinci perkataan dan tidak mengglobalkan perkataan agar kita tidak salah dalam perkataan umum. Yang ingin kebaikan Allah akan menolongnya, yang ingin menyelisihi (sunnah) kita tidak membantunya.
Akan tetapi kita juga harus hati-hati dari terjatuh dalam jerat-jerat ahli bid’ah dan menjadikan kita membantu kebatilan mereka tanpa kita sadari. Karena sebagian orang … dan berbuat tanpa dia ketahui, mendatanginya sebagian ahli bid’ah dan dia menghadiri majlis mereka dan mereka berkata: Nasehatilah kami wahai Syeikh. Kemudian mereka membuat talbis di antara manusia dengan berkata: Fulan tiap hari mendatangi kami dan pelajaran-pelajarannya di masjid kami, apa yang kalian ingkari pada kami. Orang alim ini ada pada kami. Seorang yang cerdas hendaknya hati-hati untuk menjadi sebab terjadinya fitnah di antara manusia. Oleh karena itu, sebagian ahli ilmu memberikan peringatan dari duduk bersama ahli bid’ah apabila menimbulkan fitnah di antara manusia. Semacam ini ada sejak jaman dahulu, ahli bid’ah menyamarkan diri di hadapan manusia. Apabila datang seorang alim kepada mereka, mereka berkata: Seandainya kami memiliki kesalahan niscaya Fulan (alim ini) tidak mendatangi kami, tidak duduk bersama kami, tidaklah Fulan tersebut menyampaikan pelajaran di masjid kami. Selayaknya merinci masalah ini sehingga kita membenarkan yang hak dan mematahkan yang batil dan agar kita tidak menyampaikan hukum-hukum kita, menyampaikan perkataan tanpa terperinci.
Kemudian ada pertanyaan tentang bantuan dari ahli bid’ah, maka jawaban Syeikh sebagai berikut:
Bantuan bermacam-macam, yang pertama kita bahas siapa ahli bid’ah, karena sebagian orang berpendapat setiap orang yang menyelisihinya menjadi ahli bid’ah walaupun pada satu masalah menjadilah dia ahli bid’ah (menurutnya). Dan setiap orang yang dikritik oleh sebagian orang menjadilah dia ahli bid’ah.
Ahli bid’ah apabila kita mutlakkan kata ahli bid’ah mereka adalah termasuk ahlu bid’ah di atas kaidah-kaidah yang dikenal menurut ahlu sunnah wal jama’ah. Mereka kaum salaf menolak menerima kebaikan ahli bid’ah, karena ahli bid’ah tidak memberikan kepadamu sesuatu kecuali minta imbalan. Dan sebagian salaf berhati-hati dan memberikan peringatan dari mengambil sesuatu dari ahli bid’ah, mereka berkata: “Aku takut menerima kebaikan ahli bid’ah sehingga hatiku mencintainya". Dan Imam Ahmad tidak mengucapkan salam kepada ahli bid’ah, karena ucapan salam bisa mendatangkan kecintaan.
Jika dia ahli bid’ah maka kita tidak menerima kebaikannya, dan Allah mencukupi kita dari apa yang ada pada mereka. Adapun apabila pada sebagian orang yang menasabkan diri pada sunnah namun padanya ada kesalahan-kesalahan, bahkan para pedagang dari ahli sunnah yang secara umum mereka tidak melakukan bid’ah yang nyata bahkan mereka menyerupai orang-orang awam yang berharta, seandainya mereka memberikan harta kepada ahlus sunnah atau kepada para penuntut ilmu dan berkata buatlah daurah buatlah muhadharah, lalu kamu katakan: kami tidak menerima kecuali dari seorang alim yang mengetahui sunnah dan mendakwahkan sunnah. Banyak sekali sekarang ini dari orang-orang awan di kalangan para pedagang kalau kamu tanya tentang aqidahnya, tidaklah mereka mengetahui aqidahnya kecuali sedikit. Akan tetapi mereka tidak dikenal dengan bid’ah yang nyata. Sebagian mereka melakukan kesalahan yang tidak mengeluarkannya dari ahlus sunnah, selayaknya kita adil dalam masalah ini.
Dan sebab fitnah, kita kenceng dalam satu masalah kemudian keesokan harinya kita meninggalkannya keseluruhan, ini masalahnya, hanya reaksi. Selayaknya kita memantapkan manhaj ini. Sebagian orang kenceng dalam masalah ini kemudian meninggalkan seluruhnya. Masalahnya terbangun di atas sikap adil dan pertengahan. Sebagaimana aku sampaikan kepada kalian, Kita tidak … akan tetapi kita memiliki salaf, kita menukil perkataan mereka, kita kembali kepada hukum-hukum mereka dan kita mengikuti jalan mereka.

Oleh Syeikh Ibrahim ar-Ruhaili


Kamis, 08 September 2011

Islam dan profesi jurnalis



Pertanyaan: Apa hukum islam tentang profesi wartawan (jurnalis)? Dan apa aturan syar’inya?

Jawab:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba’du:

Jurnalistik adalah sarana informasi yang sudah dikenal yang memiliki pengaruh yang luar biasa bagi setiap orang dan masyarakat. Jurnalis  sangat esensial dalam memberikan informasi kepada pembaca akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan pandangan penulis terhadap peristiwa tersebut. Tidak dipungkiri bahwa jurnalis sejak kemunculannya telah digunakan untuk memusuhi kaum muslimin pada kebanyakan waktu, karena para pelakunya kebanyakan adalah orang-orang Yahudi, Nashrani dan Ateis. Ditambah usaha aktif mereka untuk menyebarkan ateisme dan kerusakan moral, menganggap baik kebatilan dan mempromosikannya. Dan kebanyakan kaum muslimin tidak menyadari hal ini, dan yang menyadari di antara mereka menyadarinya setelah terlambat atau hampir terlambat.
Sekarang telah terjadi apa yang telah terjadi. Dan kami memandang akan wajibnya bagi kaum muslimin untuk mengerahkan kemampuan mereka di bidang ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan, yang paling penting berpegang dengan petunjuk islam, karena Allah sebagaimana memerintahkan kita beribadah untuk mencapai tujuan, Allah juga memerintahkan kita beribadah dengan berpegang dengan syariat-Nya ketika kita berusaha mencapai tujuan. Maka tujuan tidak boleh menjadi penghalal segala cara dalam agama yang lurus ini.
Dan hukum bekerja manjadi jurnalis tergantung pada jenis pekerjaan dan tabiat koran yang dia akan kerja di situ, karena koran bermacam-macam, di antaranya:
1-   Koran yang serius dan komitment (dengan informasi yang benar) seperti koran-koran dan majalah yang memperhatikan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti tabloit dan majalah islami yang menyampaikan berita benar, mengarahkan kaum muslimin akan agama dan dunia mereka, maka bekerja di tempat semacam ini hukumnya mubah sesuai dengan hukum asalnya selama tidak terjatuh dalam larangan syar’i yang keluar dari hukum asal ini dan bahkan bisa jadi wajib pada sebagian kondisi sesuai kebutuhan.
2-  Koran murahan yaitu koran yang berisi hasutan, fitnah dan semisalnya yang mana koran ini mengedepankan hal-hal yang haram untuk melariskan barangnya dengan gambar porno atau menyebarkan aib dan kejahatan di masyarakat. Atau memberikan bantuan kepada musuh-musuh islam sehingga mereka bisa menjamah permasalahan islam dan dasar-dasarnya disamping sumber pendanaannya yang penuh subhat dan keharaman.  Maka koran semacam ini seorang muslim tidak boleh bekerja di situ, karena bekerja di situ mengandung arti tolong menolong dalam dosa dan permusuhan yang dilarang Allah:
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”. (al-Maidah: 2).
3-  Koran yang bercampur antara yang baik dan buruk, di dalamnya ada permainan, kesia-siaan dan tidak ada manfaatnya , lalu di situ juga ada lembaran agama, maka bekerja di situ tidak dihukumi satu hukum saja, bisa boleh satu waktu dan bisa jadi tidak boleh di waktu yang lain, bahkan bisa wajib pada waktu yang lain sesuai dengan kondisi dan aturan syar’i.
Kesimpulannya: tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk bekerja di koran yang campur bawur kecuali apabila dia berpegang dengan aturan syar’I, di antaranya:
-         Pekerjaannya tersebut tidak menyebabkannya meninggalkan ajaran agamanya atau terjerumus dalam dosa dan keharaman.
-         Berpegang dengan kejujuran (dalam menyampaikan berita) dan meninggalkan dusta.
Kebanyakan koran bersandar dengan kedustaan dan gosip dalam menjajakan barang dagangannya dengan alasan bahwa berita tidak dinamakan berita koran kecuali ditambah dengan bumbu dan kedustaan. Cukuplah peringatan Nabi dari dusta: “Sesungguhnya dusta mengajak kepada kefasikan dan kefasikan mengajak kepada neraka, dan senantiasa seseorang berdusta dan berusaha dusta sehingga ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta”. Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Mas’ud.
Ini, ditambah lagi bahwa kedustaan menjadikan pembaca tidak percaya dengan koran tersebut.
-         Berpegang dengan amanah ilmiah dan ketelitian dalam menukil perkataan serta objektif dalam menyampaikan topik pembahasan.
-         Berhati-hati jangan sampai menjatuhkan kehormatan kaum muslimin dengan tuduhan zina, ghibah, namimah, atau mengobral aib dan menfitnah kaum muslimin. Semuanya termasuk dosa besar.
-         Tidak bekerja di koran yang seluruh hartanya atau kebanyakan hartanya dari yang haram, jika hartanya halal atau kebanyakan hartanya dari yang halal boleh bekerja di situ.
Ditambah lagi bahwa jurnalis muslim hendaknya memiliki sifat mengkritik dan keinginan untuk merubah dan memperbaiki, dan janganlah bersifat pengekor. Rasulullah SAW bersabda:
لا تكونوا إمعة، تقولون: إن أحسن الناس أحسنا، وإن ظلموا ظلمنا، ولكن وطنوا أنفسكم إن أحسن الناس أن تحسنوا، وإن أساءوا فلا تظلموا
Janganlah kalian menjadi pengekor, jika manusia baik maka kami baik, jika mereka dhalim kami dhalim pula, akan tetepi mantapkan diri kalian, jika manusia baik maka kalian baik, dan jika mereka berbuat jahat maka jangan berbuat dhalim. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi.
Ini yang bisa disampaikan, jika kamu ingin pembahasan yang lebih mendalam, silahkan membaca buku yang berkaitan denagn media informasi menurut pandangan islam.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=&Option=FatwaId&Id=13560