Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Yahya bin Abdullah al-Babalati:
telah mengatakan kepada kami al-Auza’i: telah mengatakan kepada kami Washil bin
Abu Jamil Abu Bakar dari Mujahid berkata:
((وجد النبي صلى الله عليه
وسلم ريحاً فقال: ليقم صاحب هذا الريح فليتوضأ. فاستحيا الرجل أن يقوم فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ليقم صاحب هذا الريح فليتوضأ فإن الله لا يستحي من الحق، فقال
العباس: يا رسول الله أفلا نقوم كلنا نتوضأ؟ فقال: قوموا كلكم
فتوضؤوا))
Rasulullah mendapati bau
(kentut), kemudian beliau berkata: “Hendaknya pemilik bau ini bangun untuk berwudhu”.
Maka orang tersebut malu untuk bangun, maka Rasulullah berkata: “Hendaknya
pemiliki bau ini bangun untuk berwudhu, sesungguhnya Allah tidak malu dari yang
hak”. Maka al-Abbas berkata: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bangun semua
untuk wudhu?”. Maka Rasulullah berkata: “Bangunlah kalian semua untuk berwudhu”.
Hadits ini adalah hadits yang batil sebagaimana yang disampaikan
oleh Syeikh al-Albani di dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah no.: 1132.
Syeikh al-Albani berkata: “Hadits ini sanadnya dhaif penuh dengan
rentetan illah: irsal dari Mujahid dan dia adalah Ibnu Jabrin dan lemahnya
Washil bin Abu Jamil dan al-Babalati.
Dan asal hadits ini mawquf. Dan Mujalid telah meriwayatkan: ‘Amir
telah mengatakan kepada kami dari jarir yaitu Ibnu Abdillah al-Bajali:
Bahwasanya Umar shalat bersama manusia kemudian ada orang yang kentut, maka
Umar berkata: “Aku bertekad agar supaya pemilik bau ini untuk berwudhu dan mengulangi
shalatnya”. Maka Jarir berkata: “Atau engkau bertekat terhadap setiap orang
yang mendengarnya untuk berwudhu dan mengulang shalat”. Maka Umar berkata: “Alangkah
baiknya apa yang kamu ucapkan, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan”. Kemudian
memerintahkan mereka dengan itu.
Sedangkan ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir
(1/107/1): mengatakan kepada kami Mu’adz bin al-Mutsanna: mengatakan kepada
kami Musaddad: mengatakan kepada kami Yahya dari Mujalid.
Syeikh al-Albani berkata: Atsar ini sanad perowinya seluruhnya
tsiqat, para perowi Muslim kecuali Mu’adz bin Mutsanna dia seorang tsiqat yang
terjemahnya ada di Tarikh al-Baghdad. Dan Mujalid dan dia adalah Ibnu Sa’id
al-Hamadani yang mana al-Hafidz berkata di dalam at-Taqrib: “Bukan seorang yang
kuat dan telah berubah hafalannya di akhir usianya”.
Sedangkan perkataan al-Haitsami: “ath-Thabrani meriwayatkannya di
dalam al-Kabir dan para perawinya adalah perowi yang shahih”.
Syeikh al-Albani berkomentar: “Perkataan ini termasuk hal yang
tidak tersembunyi akan jauhnya dari kebenaran bagi orang yang mengetahui apa
yang telah kami terangkan. Dan menyerupai hadits ini apa yang sering disampaikan orang-orang awam
dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli ilmu, mereka menyangka bahwa Nabi
SAW berkhuthbah pada suatu hari kemudian salah seorang sahabat kentut, sehingga
dia malu untuk bangun di hadapan manusia dan dia telah makan daging unta
sehingga Rasulullah berkata untuk menutupi orang tersebut: “Siapa yang telah
makan daging unta harus berwudhu”. Maka sekumpulan orang yang telah makan
daging unta bangun untuk wudhu.
Kisah ini bersamaan tanpa ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah dan
tidak pula dalam selainnya dari kitab-kitab fiqh dan tafsir sepengetahuanku,
sesungguhnya pengaruhnya jelek sekali bagi orang yang membenarkannya karena
menghalanginya untuk mengamalkan perintah Nabi SAW bagi setiap orang yang makan
daging unta untuk berwudhu sebagaimana telah tetap di dalam Shahih Muslim dan
selainnya: mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami harus wudhu dari
memakan daging kambing?”. Rasulullah menjawab: “Tidak”. Mereka berkata:”Apakah
kami harus wudhu dari memakan daging unta?”. Rasulullah menjawab: “Berwudhulah”.
Mereka membawa perintah Nabi yang shrih ini kepada sekedar (keinginan Nabi)
untuk menutupi seseorang tersebut bukan pensyariatan. bagaimana mereka memahami
kisah ini dan mempercayainya padahal sangat jauh dari akal sehat dan dari syariat
yang lurus. Apabila mereka mau memikirkannya sesaat akan jelas apa yang kami
terangkan dengan gambling. Sesungguhnya tidak selayaknya bagi Nabi SAW untuk
memerintahkan dengan suatu perintah berkaitan dengan sebab temporer, kemudian
beliau tidak menjelaskan sebab tersebut kepada manusia sehingga masalah
tersebut menjadi syariat yang langgeng. Sebagaimana terjadi dalam masalah ini. Para
ulama hadits dan fiqh telah mengamalkan hadits ini, seandainya Rasulullah
memerintahkan hal tersebut karena sebab yang disangka tersebut niscaya
Rasulullah akan menjelaskannya dengan sempurna, sehingga manusia tidak tersesat
karena mengikuti para ulama terhadap perintah yang mutlak tersebut. Akan tetapi
semoga Allah merendahkan setiap pemalsu hadits di setiap jaman dan setiap kota,
sesungguhnya mereka adalah penyebab terbesar yang menjauhkan kebanyakan kaum
muslimin dari mengamalkan sunnah Nabi SAW. Dan semoga Allah meridhai para kaum
muslimin yang mengamalkan perintah Nabi ini dan memberikan taufik kepada yang
lain untuk mengikuti mereka dalam hal ini dan mengikuti setiap sunnah Nabi SAW
yang shahih. Allah yang memberi taufik.
sumber: as-Silsilah adh-Dha’ifah no.: 1132.
sumber: as-Silsilah adh-Dha’ifah no.: 1132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar