Apa
yang dimaksudkan dengan kafa’ah dalam pernikahan? Apakah dalam pernikahan
disyaratkan kafa’ah?. Apa hukum wali menolak untuk menikahkan dua pasangan
setelah tetap kafa’ahnya?
Jawab:
Bismillah, wash-shalat
was- salam ala Rasulillah wa ba’du:
Telah
berlangsung sunnah akan dianggapnya kafa’ah dalam pernikahan dalam agama,
merdeka, akhlak, kemudahan harta, nasab dan pekerjan. Kafaah termasuk masalah
mu’amalah yang menghukuminya adat kebiasaan yang berbeda-beda dengan perbedan
masa dan tempat. Apabila kafaah terpenuhi, wajib menikahkan pengkhithbah
setelah terbukti kafaahnya dan wali akan dianggap melakukan adhl terhadap
pengkhithbah apabila menolak menikahkannya.
Fadhilah
asy-Syeikh Muhammad Rasyid Ridha –Rahimahullah- berkata ketika menjawab
pertanyaan semisal itu:
Dari Abdullah bin Buraidah
dari Bapaknya berkata:
جاءت فتاة
إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فقالت : إن أبي زوجني ابن أخيه ليرفع بي
خسيسته ، قال : فجعل الأمر إليها ، فقالت : قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم
النساء أن ليس للآباء من الأمر شيء
“Seorang
pemudi mendatangi Rasulullah dan berkata, sesungguhnya bapakku telah
menikahkanku dengan anak saudara laki-lakinya untuk mengangkat kerendaha dia.
Dan Rasulullah menjadikan urusan itu kepada sang pemudi. Pemudi itu berkata,
“Aku membolehkan apa yang dilakukan oleh bapakku akan tetapi aku ingin memberitahukan
kepada para wanita bahwa para bapak tidak memiliki hak sedikitpun dalam masalah
nikah (untuk memaksa anaknya menikah). Diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’I serta
Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Hadits ini menunjukkan dipandangnya kafaah
dalam sifat lelaki dengan sepadannya nasab dan hadits ini juga menunjukkan
bahwa wanita dinikahkan dengan keridhaannya. Dalam masalah ini banyak hadits
dari Rasulullah dan di sana
ada hadits yang menunjukkan persyaratan wali dalam pernikahan dan wali-lah yang
menikahkan dengan ijin sang wanita.
Dari Abu hatim al-Muzani
berkata, Rasulullah bersabda:
إذا جاءكم من
ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
“Apabila
datang kepada kalian orang yang kalian
ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, jika tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan
di muka bumi”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, jika padanya…… Rasulullah
berkata, “Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya maka nikahkanlah”. Rasululah mengulangnya sebanyak tiga kali. Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dan berkata Hasan gharib. Dan Abu Hatim tidak meriwayatkan hadits
selain itu. Abu Dawud memursalkan hadits ini dan Ibnu Qaththan menyebutkan
illahnya dengan irsal dan mendhaifkan perowinya.
Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu
hurairah dengan lafadz:
إذا خطب
إليكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
“Apabila
orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya mengkhithbah kepada kalian maka
nikahkanlah, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah dan kerusakan besar
di muka bumi”. Diriwayatkan oleh
al-laits bin Sa’d dari ‘Ajlan secara marfu’.
Dan Abdul Hamid bin Sulaiman telah diselisihi dalam riwayat Tirmidzi.
Bukhari berkata, “Hadits al-Laits lebih mirip dan hadits Abdul hamid tidak
dianggap mahfudz.
Makna
hadits: Sesungguhnya wajib menikahkan anak perempuan apabila datang kepadanya
pengkhithbah yang diharapkan akan baik kehidupan anak perempuan tersebut
bersamanya, karena agama dan akhlaknya diridhai dan tidak dikeluhkan. Para ulama berdalil dengan hadits ini untuk memandang
kafa’ah dalam agama dan akhlak dan sebagian para sahabat dan tabi’in
mengkhususkan ini dan ini pendapat Malik. Dan para ulama tidak menganggap
kafaah dalam nasab bahkan mereka berkata, “Kaum muslimin sebagian mereka sekufu
dengan lainnya”.
Ali
berkata, sesungguhnya Nabi berkata, “Tiga hal yang tidak boleh diakhirkan,
shalat apabila telah tiba (waktunya), jenazah apabila telah hadir dan wanita
apabila didapati orang yang sekufu dengannya”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Ini
hujjah akan haramnya menghalangi janda-janda dari menikah tanpa udzur.
Dari
Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda, “Bangsa Arab sebagian qabilah terhadap qabilah
yang lain sekufu, satu suku dengan suku lain sekufu dan satu lelaki dengan
lelaki lain sekufu kecuali tukang jahit dan tukang bekam”. Diriwayatkan oleh al-hakim
dan hadits ini memiliki lafadz yang lain namun tidak ada yang shahih. Meskipun
sebagian ulama berkata, Sesungguhnya al-Hakim telah menshahihkannya. Apa yang
diharapkan dari penshahihan al-hakim, sungguh Ibnu Abi Hatim telah bertanya
kepada bapaknya tentang hadits ini dan Abu Hatim berkata, “Ini dusta tidak ada
asalnya”. Dalam tempat lain berkata, “batil”.
Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini mungkar dan palsu”. Ibnu Hajar berkata
dalam fathhul Bari ,
“Tidak tetap dalam menganggap kafaah dalam nasab satu haditspun”.
Adapun
yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dari hadits Mu’adz secara marfu’, “Bangsa Arab
sebagian mereka sekufu dengan yang
lainnya dan para bekas budak sebagiannya sekufu dengan lainnya”. Sanadnya dhaif. Ya, telah datang dalam kitab
shahih tentang keutamaan bangsa Arab, keutamaan Quraisy atas bangsa Arab akan
tetapi tidak datang dalam masalah kafaah.
Dari
Aisyah dan Umar, “Sungguh aku akan melarang wanita-wanita yang berhasab/berharta/berkedudukan ( untuk
menikah) kecuali dengan yang sekufu”. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. Oleh
karena itu sebagian ulama menganggap kafaah dalam kemudahan rizki dan kekayaan.
Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ahmad dan an-Nasai dan
an-Nasai menshahihkannya, demikian juga al-hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits
Buraidah dari Nabi yang berkata, “Sesungguhnya hasab penduduk dunia yang mereka
berpengang dengannya adalah harta”. Dan
apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan al-hakim dan dia menshahihkannya
dari hadits Samurah dari Nabi bahwasanya Nabi berkata, “al-Hasab adalah harta,
kemuliaan dan takwa”. Sedangkan para fuqaha’ menafsirkan hasab dengan kemuliaan
yang diwarisi dari orang tua.
Dari
Urwah dari Aisyah bahwa Barirah dimerdekakan dan suaminya masih budak maka
Rasulullah memberikan pilihan kepada Barirah seandainya suaminya merdeka
niscaya Rasulullah tidak akan memberikan pilihan kepada Barirah. Hadits ini
diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Di sana ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa
Barirah memilih fasakh. Ini menjadi hujjah akan dipandangnya kafaah dalam
kemerdekaan, bahkan Imam Syafii berkata, “Asal kafaah dalam pernikahan adalah
hadits Barirah”.
Telah
diketahui dari apa yang telah lalu bahwa sunnah menganggap kafaah dalam agama,
merdeka, akhlak dan kemudahan rizki. Dengan ini banyak para ulama di awal-awal
islam mengambil pendapat ini. Dan
kebanyakan para ulama menambahkan nasab dan pekerjaan. Mereka berdalil dengan
apa yang tidak shahih dari beberapa hadits dan dengan kiyas yang benar. Mereka
berkata, “Sesungguhnya sebab memandang kafaah adalah mengangkat kemudharatan
dan aib. Mereka membanggakan nasab dan
memandang aib seorang wanita qurais menikah dengan seorang dari Bahili. Mereka
senantiasa mencela kerendahan profesi dan pekerjaan. Sandaran dalam masalah ini
adalah adapt kebiasaan.
Telah
diketahui dari apa yang telah kami
sampaikan bahwa kafaah bukan maslaah ibadah akan tetapi masalah mu’amalah yang
menghukuminya adapt kebiasaan manusia dan digunakan dalil kiyas dalam masalah
ini. Karena kafaah mengikuti kemashlahatan manusia dan mengangkat kemudharatan
dari mereka. Sunber kafaah adalah celaan. Setiapa lelaki yang sekufu terhadap
orang yang apabila dia menikah dengan anak perempuan mereka, mereka tidak
mendapati aib di antara kaum mereka dengan menikahkannya. Oleh karena itu mereka berkata, Seorang yang
berilmu sekufu dengan anak perempuan seorang yang mulia dan berharta meskipun
orang alim tersebut orang yang bernasab rendah atau tidak diketahui (nasabnya).
Karena ilmu adalah sesuatu yang paling mulia sehingga tidak ada aib padanya
secara muthlak. Dan kafaah ini berbeda-beda dengan perbedaan masa dan tempat.
Kadang seorang yang sekufu untuk suatu kaum di suatu negeri tidk dianggap
sekufu untuk semisal mereka di negeri yang lain karena perbedaan adat
Adapun
hukum kafaah ini: Wajib menikahkan pengkhithbah disertai dengan terbuktinya
kafaah dan sang wali dianggap menghalangi sang wanita yang dikhithbah untuk
menikah jika sang wali menolak menikahkannya. Ketika itu sang wanita boleh
menikahkan dirinya dengan orang yang sekufu dengan tanpa ridha wali menurut
madzhab Hanafiah jika sang wanita cerdas. Dan wali tidak boleh menentangnya
demikian juga tidak boleh meminta fasakh. Sedang dalam madzhab yang lain,
wanita tersebut mengangkat masalahnya kepada qadhi agar wali yang jauh
menikahkannya apabila wali dekat yang menghalangi pernikahannya –dengan
perincian yang dikenal dalam ilmu fiqih-. Apabila pengkhithbah tidak sekufu dan
wali menikahkannya dengan sang anak tanpa ijin dari anak perempuan tersebut
atau sang perempuan menikahkan dirinya tanpa ijin wali, ini boleh bagi sang
wanita menurut pendapat pertama (Hanafiyah).
Dan bagi wali menurut pendapat
kedua mengangkat masalah ini kepada qadhi dan menuntut fasakh untuk menolak
gangguan karena celaan, kecuali apabila wali diam sampai sang wanita melahirkan
sehingga ketika itu gugurlah hak fasakh untuk menjaga mashlahah anak. Wallahu
a’lam.
Sumber: http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1153296745213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar