Kamis, 01 Juli 2010

Kafa'ah dalam Pernikahan


Apa yang dimaksudkan dengan kafa’ah dalam pernikahan? Apakah dalam pernikahan disyaratkan kafa’ah?. Apa hukum wali menolak untuk menikahkan dua pasangan setelah tetap kafa’ahnya?

Jawab:

Bismillah, wash-shalat was- salam ala Rasulillah wa ba’du:
Telah berlangsung sunnah akan dianggapnya kafa’ah dalam pernikahan dalam agama, merdeka, akhlak, kemudahan harta, nasab dan pekerjan. Kafaah termasuk masalah mu’amalah yang menghukuminya adat kebiasaan yang berbeda-beda dengan perbedan masa dan tempat. Apabila kafaah terpenuhi, wajib menikahkan pengkhithbah setelah terbukti kafaahnya dan wali akan dianggap melakukan adhl terhadap pengkhithbah apabila menolak menikahkannya.

Fadhilah asy-Syeikh Muhammad Rasyid RidhaRahimahullah- berkata ketika menjawab pertanyaan semisal itu:

Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya berkata:
جاءت فتاة إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فقالت : إن أبي زوجني ابن أخيه ليرفع بي خسيسته ، قال : فجعل الأمر إليها ، فقالت : قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم النساء أن ليس للآباء من الأمر شيء
“Seorang pemudi mendatangi Rasulullah dan berkata, sesungguhnya bapakku telah menikahkanku dengan anak saudara laki-lakinya untuk mengangkat kerendaha dia. Dan Rasulullah menjadikan urusan itu kepada sang pemudi. Pemudi itu berkata, “Aku membolehkan apa yang dilakukan oleh bapakku akan tetapi aku ingin memberitahukan kepada para wanita bahwa para bapak tidak memiliki hak sedikitpun dalam masalah nikah (untuk memaksa anaknya menikah). Diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’I serta Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Hadits ini menunjukkan dipandangnya kafaah dalam sifat lelaki dengan sepadannya nasab dan hadits ini juga menunjukkan bahwa wanita dinikahkan dengan keridhaannya. Dalam masalah ini banyak hadits dari Rasulullah dan di sana ada hadits yang menunjukkan persyaratan wali dalam pernikahan dan wali-lah yang menikahkan dengan ijin sang wanita.

Dari Abu hatim al-Muzani berkata, Rasulullah bersabda:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, jika  tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, jika padanya…… Rasulullah berkata,Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah”. Rasululah mengulangnya sebanyak tiga kali. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan berkata Hasan gharib. Dan Abu Hatim tidak meriwayatkan hadits selain itu. Abu Dawud memursalkan hadits ini dan Ibnu Qaththan menyebutkan illahnya dengan irsal dan mendhaifkan perowinya.

Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu hurairah dengan lafadz:
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya mengkhithbah kepada kalian maka nikahkanlah, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi”.  Diriwayatkan oleh al-laits bin Sa’d dari ‘Ajlan secara marfu’.  Dan Abdul Hamid bin Sulaiman telah diselisihi dalam riwayat Tirmidzi. Bukhari berkata, “Hadits al-Laits lebih mirip dan hadits Abdul hamid tidak dianggap mahfudz.

Makna hadits: Sesungguhnya wajib menikahkan anak perempuan apabila datang kepadanya pengkhithbah yang diharapkan akan baik kehidupan anak perempuan tersebut bersamanya, karena agama dan akhlaknya diridhai dan tidak dikeluhkan. Para ulama berdalil dengan hadits ini untuk memandang kafa’ah dalam agama dan akhlak dan sebagian para sahabat dan tabi’in mengkhususkan ini dan ini pendapat Malik. Dan para ulama tidak menganggap kafaah dalam nasab bahkan mereka berkata, “Kaum muslimin sebagian mereka sekufu dengan lainnya”.

Ali berkata, sesungguhnya Nabi berkata, “Tiga hal yang tidak boleh diakhirkan, shalat apabila telah tiba (waktunya), jenazah apabila telah hadir dan wanita apabila didapati orang yang sekufu dengannya”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Ini hujjah akan haramnya menghalangi janda-janda dari menikah tanpa udzur.

Dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda, “Bangsa Arab sebagian qabilah terhadap qabilah yang lain sekufu, satu suku dengan suku lain sekufu dan satu lelaki dengan lelaki lain sekufu kecuali tukang jahit dan tukang bekam”. Diriwayatkan oleh al-hakim dan hadits ini memiliki lafadz yang lain namun tidak ada yang shahih. Meskipun sebagian ulama berkata, Sesungguhnya al-Hakim telah menshahihkannya. Apa yang diharapkan dari penshahihan al-hakim, sungguh Ibnu Abi Hatim telah bertanya kepada bapaknya tentang hadits ini dan Abu Hatim berkata, “Ini dusta tidak ada asalnya”. Dalam tempat lain berkata, “batil”.  Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini mungkar dan palsu”. Ibnu Hajar berkata dalam fathhul Bari, “Tidak tetap dalam menganggap kafaah dalam nasab satu haditspun”.

Adapun yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dari hadits Mu’adz secara marfu’, “Bangsa Arab sebagian mereka sekufu dengan  yang lainnya dan para bekas budak sebagiannya sekufu dengan lainnya”.  Sanadnya dhaif. Ya, telah datang dalam kitab shahih tentang keutamaan bangsa Arab, keutamaan Quraisy atas bangsa Arab akan tetapi tidak datang dalam masalah kafaah.

Dari Aisyah dan Umar, “Sungguh aku akan melarang wanita-wanita yang berhasab/berharta/berkedudukan ( untuk menikah) kecuali dengan yang sekufu”. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. Oleh karena itu sebagian ulama menganggap kafaah dalam kemudahan rizki dan kekayaan. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ahmad dan an-Nasai dan an-Nasai menshahihkannya, demikian juga al-hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits Buraidah dari Nabi yang berkata, Sesungguhnya hasab penduduk dunia yang mereka berpengang dengannya adalah harta.  Dan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan al-hakim dan dia menshahihkannya dari hadits Samurah dari Nabi bahwasanya Nabi berkata, “al-Hasab adalah harta, kemuliaan dan takwa”. Sedangkan para fuqaha’ menafsirkan hasab dengan kemuliaan yang diwarisi dari orang tua.

Dari Urwah dari Aisyah bahwa Barirah dimerdekakan dan suaminya masih budak maka Rasulullah memberikan pilihan kepada Barirah seandainya suaminya merdeka niscaya Rasulullah tidak akan memberikan pilihan kepada Barirah. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Di sana ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Barirah memilih fasakh. Ini menjadi hujjah akan dipandangnya kafaah dalam kemerdekaan, bahkan Imam Syafii berkata, “Asal kafaah dalam pernikahan adalah hadits Barirah”.

Telah diketahui dari apa yang telah lalu bahwa sunnah menganggap kafaah dalam agama, merdeka, akhlak dan kemudahan rizki. Dengan ini banyak para ulama di awal-awal islam mengambil pendapat ini.  Dan kebanyakan para ulama menambahkan nasab dan pekerjaan. Mereka berdalil dengan apa yang tidak shahih dari beberapa hadits dan dengan kiyas yang benar. Mereka berkata, “Sesungguhnya sebab memandang kafaah adalah mengangkat kemudharatan dan aib. Mereka  membanggakan nasab dan memandang aib seorang wanita qurais menikah dengan seorang dari Bahili. Mereka senantiasa mencela kerendahan profesi dan pekerjaan. Sandaran dalam masalah ini adalah adapt kebiasaan.

Telah diketahui dari apa yang telah  kami sampaikan bahwa kafaah bukan maslaah ibadah akan tetapi masalah mu’amalah yang menghukuminya adapt kebiasaan manusia dan digunakan dalil kiyas dalam masalah ini. Karena kafaah mengikuti kemashlahatan manusia dan mengangkat kemudharatan dari mereka. Sunber kafaah adalah celaan. Setiapa lelaki yang sekufu terhadap orang yang apabila dia menikah dengan anak perempuan mereka, mereka tidak mendapati aib di antara kaum mereka dengan menikahkannya.  Oleh karena itu mereka berkata, Seorang yang berilmu sekufu dengan anak perempuan seorang yang mulia dan berharta meskipun orang alim tersebut orang yang bernasab rendah atau tidak diketahui (nasabnya). Karena ilmu adalah sesuatu yang paling mulia sehingga tidak ada aib padanya secara muthlak. Dan kafaah ini berbeda-beda dengan perbedaan masa dan tempat. Kadang seorang yang sekufu untuk suatu kaum di suatu negeri tidk dianggap sekufu untuk semisal mereka di negeri yang lain karena perbedaan adat

Adapun hukum kafaah ini: Wajib menikahkan pengkhithbah disertai dengan terbuktinya kafaah dan sang wali dianggap menghalangi sang wanita yang dikhithbah untuk menikah jika sang wali menolak menikahkannya. Ketika itu sang wanita boleh menikahkan dirinya dengan orang yang sekufu dengan tanpa ridha wali menurut madzhab Hanafiah jika sang wanita cerdas. Dan wali tidak boleh menentangnya demikian juga tidak boleh meminta fasakh. Sedang dalam madzhab yang lain, wanita tersebut mengangkat masalahnya kepada qadhi agar wali yang jauh menikahkannya apabila wali dekat yang menghalangi pernikahannya –dengan perincian yang dikenal dalam ilmu fiqih-. Apabila pengkhithbah tidak sekufu dan wali menikahkannya dengan sang anak tanpa ijin dari anak perempuan tersebut atau sang perempuan menikahkan dirinya tanpa ijin wali, ini boleh bagi sang wanita menurut pendapat pertama (Hanafiyah). 

Dan bagi wali menurut pendapat kedua mengangkat masalah ini kepada qadhi dan menuntut fasakh untuk menolak gangguan karena celaan, kecuali apabila wali diam sampai sang wanita melahirkan sehingga ketika itu gugurlah hak fasakh untuk menjaga mashlahah anak. Wallahu a’lam.


Sumber: http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1153296745213 

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar