Kamis, 01 Juli 2010

Kafa'ah dalam Pernikahan


Apa yang dimaksudkan dengan kafa’ah dalam pernikahan? Apakah dalam pernikahan disyaratkan kafa’ah?. Apa hukum wali menolak untuk menikahkan dua pasangan setelah tetap kafa’ahnya?

Jawab:

Bismillah, wash-shalat was- salam ala Rasulillah wa ba’du:
Telah berlangsung sunnah akan dianggapnya kafa’ah dalam pernikahan dalam agama, merdeka, akhlak, kemudahan harta, nasab dan pekerjan. Kafaah termasuk masalah mu’amalah yang menghukuminya adat kebiasaan yang berbeda-beda dengan perbedan masa dan tempat. Apabila kafaah terpenuhi, wajib menikahkan pengkhithbah setelah terbukti kafaahnya dan wali akan dianggap melakukan adhl terhadap pengkhithbah apabila menolak menikahkannya.

Fadhilah asy-Syeikh Muhammad Rasyid RidhaRahimahullah- berkata ketika menjawab pertanyaan semisal itu:

Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya berkata:
جاءت فتاة إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فقالت : إن أبي زوجني ابن أخيه ليرفع بي خسيسته ، قال : فجعل الأمر إليها ، فقالت : قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم النساء أن ليس للآباء من الأمر شيء
“Seorang pemudi mendatangi Rasulullah dan berkata, sesungguhnya bapakku telah menikahkanku dengan anak saudara laki-lakinya untuk mengangkat kerendaha dia. Dan Rasulullah menjadikan urusan itu kepada sang pemudi. Pemudi itu berkata, “Aku membolehkan apa yang dilakukan oleh bapakku akan tetapi aku ingin memberitahukan kepada para wanita bahwa para bapak tidak memiliki hak sedikitpun dalam masalah nikah (untuk memaksa anaknya menikah). Diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’I serta Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Hadits ini menunjukkan dipandangnya kafaah dalam sifat lelaki dengan sepadannya nasab dan hadits ini juga menunjukkan bahwa wanita dinikahkan dengan keridhaannya. Dalam masalah ini banyak hadits dari Rasulullah dan di sana ada hadits yang menunjukkan persyaratan wali dalam pernikahan dan wali-lah yang menikahkan dengan ijin sang wanita.

Dari Abu hatim al-Muzani berkata, Rasulullah bersabda:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, jika  tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, jika padanya…… Rasulullah berkata,Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah”. Rasululah mengulangnya sebanyak tiga kali. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan berkata Hasan gharib. Dan Abu Hatim tidak meriwayatkan hadits selain itu. Abu Dawud memursalkan hadits ini dan Ibnu Qaththan menyebutkan illahnya dengan irsal dan mendhaifkan perowinya.

Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu hurairah dengan lafadz:
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya mengkhithbah kepada kalian maka nikahkanlah, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi”.  Diriwayatkan oleh al-laits bin Sa’d dari ‘Ajlan secara marfu’.  Dan Abdul Hamid bin Sulaiman telah diselisihi dalam riwayat Tirmidzi. Bukhari berkata, “Hadits al-Laits lebih mirip dan hadits Abdul hamid tidak dianggap mahfudz.

Makna hadits: Sesungguhnya wajib menikahkan anak perempuan apabila datang kepadanya pengkhithbah yang diharapkan akan baik kehidupan anak perempuan tersebut bersamanya, karena agama dan akhlaknya diridhai dan tidak dikeluhkan. Para ulama berdalil dengan hadits ini untuk memandang kafa’ah dalam agama dan akhlak dan sebagian para sahabat dan tabi’in mengkhususkan ini dan ini pendapat Malik. Dan para ulama tidak menganggap kafaah dalam nasab bahkan mereka berkata, “Kaum muslimin sebagian mereka sekufu dengan lainnya”.

Ali berkata, sesungguhnya Nabi berkata, “Tiga hal yang tidak boleh diakhirkan, shalat apabila telah tiba (waktunya), jenazah apabila telah hadir dan wanita apabila didapati orang yang sekufu dengannya”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Ini hujjah akan haramnya menghalangi janda-janda dari menikah tanpa udzur.

Dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda, “Bangsa Arab sebagian qabilah terhadap qabilah yang lain sekufu, satu suku dengan suku lain sekufu dan satu lelaki dengan lelaki lain sekufu kecuali tukang jahit dan tukang bekam”. Diriwayatkan oleh al-hakim dan hadits ini memiliki lafadz yang lain namun tidak ada yang shahih. Meskipun sebagian ulama berkata, Sesungguhnya al-Hakim telah menshahihkannya. Apa yang diharapkan dari penshahihan al-hakim, sungguh Ibnu Abi Hatim telah bertanya kepada bapaknya tentang hadits ini dan Abu Hatim berkata, “Ini dusta tidak ada asalnya”. Dalam tempat lain berkata, “batil”.  Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini mungkar dan palsu”. Ibnu Hajar berkata dalam fathhul Bari, “Tidak tetap dalam menganggap kafaah dalam nasab satu haditspun”.

Adapun yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dari hadits Mu’adz secara marfu’, “Bangsa Arab sebagian mereka sekufu dengan  yang lainnya dan para bekas budak sebagiannya sekufu dengan lainnya”.  Sanadnya dhaif. Ya, telah datang dalam kitab shahih tentang keutamaan bangsa Arab, keutamaan Quraisy atas bangsa Arab akan tetapi tidak datang dalam masalah kafaah.

Dari Aisyah dan Umar, “Sungguh aku akan melarang wanita-wanita yang berhasab/berharta/berkedudukan ( untuk menikah) kecuali dengan yang sekufu”. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. Oleh karena itu sebagian ulama menganggap kafaah dalam kemudahan rizki dan kekayaan. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ahmad dan an-Nasai dan an-Nasai menshahihkannya, demikian juga al-hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits Buraidah dari Nabi yang berkata, Sesungguhnya hasab penduduk dunia yang mereka berpengang dengannya adalah harta.  Dan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan al-hakim dan dia menshahihkannya dari hadits Samurah dari Nabi bahwasanya Nabi berkata, “al-Hasab adalah harta, kemuliaan dan takwa”. Sedangkan para fuqaha’ menafsirkan hasab dengan kemuliaan yang diwarisi dari orang tua.

Dari Urwah dari Aisyah bahwa Barirah dimerdekakan dan suaminya masih budak maka Rasulullah memberikan pilihan kepada Barirah seandainya suaminya merdeka niscaya Rasulullah tidak akan memberikan pilihan kepada Barirah. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Di sana ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Barirah memilih fasakh. Ini menjadi hujjah akan dipandangnya kafaah dalam kemerdekaan, bahkan Imam Syafii berkata, “Asal kafaah dalam pernikahan adalah hadits Barirah”.

Telah diketahui dari apa yang telah lalu bahwa sunnah menganggap kafaah dalam agama, merdeka, akhlak dan kemudahan rizki. Dengan ini banyak para ulama di awal-awal islam mengambil pendapat ini.  Dan kebanyakan para ulama menambahkan nasab dan pekerjaan. Mereka berdalil dengan apa yang tidak shahih dari beberapa hadits dan dengan kiyas yang benar. Mereka berkata, “Sesungguhnya sebab memandang kafaah adalah mengangkat kemudharatan dan aib. Mereka  membanggakan nasab dan memandang aib seorang wanita qurais menikah dengan seorang dari Bahili. Mereka senantiasa mencela kerendahan profesi dan pekerjaan. Sandaran dalam masalah ini adalah adapt kebiasaan.

Telah diketahui dari apa yang telah  kami sampaikan bahwa kafaah bukan maslaah ibadah akan tetapi masalah mu’amalah yang menghukuminya adapt kebiasaan manusia dan digunakan dalil kiyas dalam masalah ini. Karena kafaah mengikuti kemashlahatan manusia dan mengangkat kemudharatan dari mereka. Sunber kafaah adalah celaan. Setiapa lelaki yang sekufu terhadap orang yang apabila dia menikah dengan anak perempuan mereka, mereka tidak mendapati aib di antara kaum mereka dengan menikahkannya.  Oleh karena itu mereka berkata, Seorang yang berilmu sekufu dengan anak perempuan seorang yang mulia dan berharta meskipun orang alim tersebut orang yang bernasab rendah atau tidak diketahui (nasabnya). Karena ilmu adalah sesuatu yang paling mulia sehingga tidak ada aib padanya secara muthlak. Dan kafaah ini berbeda-beda dengan perbedaan masa dan tempat. Kadang seorang yang sekufu untuk suatu kaum di suatu negeri tidk dianggap sekufu untuk semisal mereka di negeri yang lain karena perbedaan adat

Adapun hukum kafaah ini: Wajib menikahkan pengkhithbah disertai dengan terbuktinya kafaah dan sang wali dianggap menghalangi sang wanita yang dikhithbah untuk menikah jika sang wali menolak menikahkannya. Ketika itu sang wanita boleh menikahkan dirinya dengan orang yang sekufu dengan tanpa ridha wali menurut madzhab Hanafiah jika sang wanita cerdas. Dan wali tidak boleh menentangnya demikian juga tidak boleh meminta fasakh. Sedang dalam madzhab yang lain, wanita tersebut mengangkat masalahnya kepada qadhi agar wali yang jauh menikahkannya apabila wali dekat yang menghalangi pernikahannya –dengan perincian yang dikenal dalam ilmu fiqih-. Apabila pengkhithbah tidak sekufu dan wali menikahkannya dengan sang anak tanpa ijin dari anak perempuan tersebut atau sang perempuan menikahkan dirinya tanpa ijin wali, ini boleh bagi sang wanita menurut pendapat pertama (Hanafiyah). 

Dan bagi wali menurut pendapat kedua mengangkat masalah ini kepada qadhi dan menuntut fasakh untuk menolak gangguan karena celaan, kecuali apabila wali diam sampai sang wanita melahirkan sehingga ketika itu gugurlah hak fasakh untuk menjaga mashlahah anak. Wallahu a’lam.


Sumber: http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1153296745213 

Rabu, 30 Juni 2010

Mengharapkan rusaknya rumah tangga orang lain?


Pertanyaan yang maknanya:

Bibiku memiliki anak perempuan yang aku mencintainya sejak kecil dan aku berangan-angan dia bisa menjadi istriku namun aku tidak pernah menyampaikan isi hatiku ini kepada siapapun. Ketika aku bertekad untuk mengkhithbahnya sepulang dari safar selama satu tahun lebih, aku mendapatinya telah menikah. Sehingga aku merasakan kesedihan yang mendalam. Namun beberapa waktu kemudian aku punya harapan, aku mengetahui dia ada perselisihan dengan suaminya. Apakah saya boleh menceritakan kepada bibiku tentang isi hatiku atau apakah aku harus menunggu akhir dari kedua pasangan tersebut atau aku harus mengkhithbah saudara perempuannya yang lebih muda umurnya?. Janganlah engkau menasehatiku untuk menjauhinya, sungguh hatiku sangat mencintainya dan aku tidak mungkin mampu melupakannya 
 ……
Jawab:

Wahai saudaraku……
 perkenankanlah aku berkata secara gamblang, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku akan menanyakan kepadamu dengan terang-terangan, bagaimana kamu senang dengan musibah yang menimpa saudaramu dan kamu gembira dengan perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan istrinya karena sebab kamu bisa mencapai syahwatmu dan kebodohan dalam hatimu. Beristighfarlah kepada Allah! Apakah seorang muslim melakukan perbuatan semacam itu?.  Sekali-kali tidak, karena Rsulullah bersabda:
"ليس منا من خبب امرأة على زوجها"
Bukan golongan kami orang yang merusak akhlak seorang wanita terhadap suaminya”.
Maha suci Allah! “Bukan golongan kami……”, ya bukan golongan kami karena kaum muslimin sebagian mereka mencintai sebagian yang lain dan salah seorang dari  mereka mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya bahkan mendahulukan saudaranya atas dirinya. Oleh karena itu, bukan golongan kami orang yang ingin mendirikan bangunan keluarganya dengan meruntuhkan dan menghancurkan bangunan rumah tangga saudaranya.
Wahai saudaraku 
Apabila Rasulullah telah melarang seseorang untuk mengkhithbah (seorang wanita) yang telah dikhithbah saudaranya dengan berkata:
لا يخطب الرجل على خطبة أخيه حتى يترك الخاطب قبله أو يأذن له
Janganlah seorang lelaki mengkhithbah (wanita) yang telah dikhithbah saudaranya sampai pengkhithbah sebelum dia meninggalkannya atau mengijinkannya”. (muttafaq alaihi 
  
Dan hal ini karena memperhatikan perasaan dan menghormati saudaranya padahal dia mengetahui itu baru sekedar khithbah, maka bagaimana pendapatmu jika telah terjadi pernikahan dan terbentuk sebuah rumah tangga 

Sekali-kali tidak, aku tidak yakin engkau bermuhasabah dan berkata jujur pada dirimu sendiri, bagaimana setan bisa menyeretmu kepada keinginan yang haram dan angan-angan yang menipu……?

Dan termasuk perkataan yang baik, aku katakan kepadamu sesungguhnya haram bagimu berbicara kepada bibimu dengan apa yang setan masukkan ke dalam hatimu karena itu akan memperdalam perselisihan yang terjadi antara anak perempuan bibimu dengan suaminya dan itu termasuk takhbib yang haram secara syar’ii, dijauhi oleh jiwa yang mulia dan tidak disukai oleh akal yang lurus. Oleh karena itu, aku nasehatkan kepadamu untuk mengkhithbah wanita shalihah yang memiliki agama yang baik, sama saja apakah anak perempuan bibimu yang kecil atau selainnya. Yang penting agamanya bagus agar dia bisa menolongmu dalam urusan  agama dan duniamu. Semoga Allah memberikan taufik, menjaga, meluruskan dan memberi hidayah kepadamu……

Sumber: Fi Baitina Musykilah

Jumat, 11 Juni 2010

Kenapa para ulama memperingatkan umat dari jamaah tabligh?



Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya tentang jamaah tabligh.

Penanya berkata, “Wahai Samahatus Syaikh, kami mendengar tentang jamaah tabligh dan apa yang mereka lakukan dari dakwah. Apakah Engkau menasehatiku untuk bergabung dengan jamaah ini? Aku mengharapkan saran dan nasehatmu, semoga Allah melimpahkan pahala untukmu.

Syeikh menjawab dengan berkata: Setiap orang yang berdakwah di jalan Allah dia seorang muballigh “Sampaikan dariku meskipun satu ayat”. Akan tetapi jamaah tabligh yang dikenal sekarang ini dari India pada mereka terdapat khurafat, bid’ah dan kesyirikan tidak diperkenankan khuruj bersama mereka kecuali seseorang yang berilmu, khuruj untuk mengingkari dan mengajari mereka (ilmu syar’i). Namun apabila seseorang khuruj untuk mengikuti mereka, tidak boleh. Karena pada mereka terdapat khurafat, kesalahan dan kurang ilmu. Akan tetapi apabila jamaah tabligh selain mereka dari kalangan ahli bashirah dan ahli ilmu keluar bersama mereka untuk dakwah di jalan Allah atau seseorang yang berilmu memiliki bashirah khuruj bersama mereka untuk mengajarkan ilmu, mengingkari (kemungkaran), memberikan petunjuk kepada kebaikan dan mengajari mereka sehingga mereka meninggalkan manhaj yang batil dan mengikuti madzhab ahlus sunnah wal jamaah (tidak mengapa).

[Diambil dari kaset berjudul Fatwa Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz terhadap jamaah tabligh. Fatwa ini keluar di kota Thaif dua tahun sebelum wafatnya Syeikh Bin Baaz].

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya: Semoga Allah berbuat ihsan kepada Engkau, hadits Nabi tentang perpecahan umat yaitu sabda Nabi, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok kecuali satu (yang selamat dari neraka)”. Apakah jamaah tabligh dengan apa yang ada pada mereka dari kesyirikan dan bid’ah dan jamaah ikhwan muslimin dengan apa yang ada pada mereka dari hizbiyyah dan melawan pemerintah serta tidak mau mendengar dan taat (terhadap pemerintah), apakah kedua kelompok ini masuk……?

Syeikh menjawab, “Masuk kedalam tujuh puluh dua kelompok, orang yang menyelisihi aqidah ahlus sunnah masuk ke dalam tujuh puluh dua kelompok dengan sabda Rasulullah umatku”, maksudnya umat ijabah yaitu umat yang menerima Rasulullah dan menampakkan ittiba’nya terhadap Rasulullah sebanyak tujuh puluh tiga kelompok. Kelompok yang selamat adalah kelompok yang mengikuti Nabi dan istiqomah di atas agamanya. Sedangkan tujuh puluh dua kelompok, di antara mereka ada yang kafir, ahli maksiat dan ahli bid’ah dengan aneka ragamnya.

Penanya berkata, artinya dua kelompok ini termasuk tujuh puluh dua kelompok?

Syeikh menjawab: Ya, termasuk tujuh puluh dua kelompok juga murjiah dan selainnya. Murjiah dan khawarij, sebagian ahli ilmu memandang khawarij orang-orang yang keluar dari islam akan tetapi masih masuk ke dalam keumuman tujuh puluh dua golongan.

[Dari pelajaran beliau tentang Syarh al-Muntaqa di kota Thaif dari rekaman kaset dua tahun sebelum wafat beliau].

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya: Kami khuruj bersama jamaah tabligh ke India dan Pakistan. Kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang terdapat padanya kuburan. Aku pernah mendengar bahwa shalat di masjid yang ada kuburannya, shalatnya batal. Bagaimana pendapatmu tentang shalatku, apakah aku mengulang shalatku? Apa hukum khuruj bersama jamah tabligh ke tempat-tempat semacam ini?

Jawab: Bismillah dan segala puji bagi Allah wa ba’du: Sesungguhnya jamaah tabligh mereka tidak memiliki ilmu tentang masalah aqidah, maka tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang memiliki ilmu dan bashirah tentang aqidah yang benar yang dipegang ahlus sunnah wal jamaah sehingga dia mengarahkan dan menasehati mereka serta tolong menolong dengan mereka di atas kebaikan karena mereka rajin beramal akan tetapi mereka membutuhkan tambahan ilmu dan membutuhkan orang yang mengajari mereka dari ulama tauhid dan sunnah. Semoga Allah memberikan rizki kepada seluruh kaum muslimin pemahaman agama dan kokoh di atasanya.

Adapun shalat yang di dalamnya ada kuburannya, tidak syah. Wajib bagimu untuk mengulang shalatmu karena Rasulullah bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid”. Hadits yang disepakati keshahihannya. Dan sabda Rasulullah, “Ketahuilah, sesungguhnya umat sebelum kalian mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, aku melarang kalian dari demikian itu”. Dikeluarkan oleh Muslim di dalam shahihnya. Hadits-hadits dalam bab ini banyak sekali dan kita memohon taufik kepada Allah.

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Fatwa tertanggal 2/11/1414 H.

Adapun perkataan Syeikh, “tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang memiliki ilmu dan bashirah tentang aqidah yang benar yang dipegang ahlus sunnah wal jamaah sehingga dia mengarahkan dan menasehati mereka”, maka Syeikh Rabi’ berkomentar: Semoga Allah merahmati Syeikh (Bin Baaz), seandainya mereka menerima nasehat dan saran ahli ilmu maka tidak ada di sana dosa untuk khuruj bersama mereka, akan tetapi kenyataan menyakinkan bahwa mereka tidak mau menerima nasehat serta tidak kembali dari kebatilannya karena sangat fanatik dan mengikuti hawa nafsu. Seandainya mereka menerima nasehat ulama niscaya mereka akan meninggalkan manhaj batil mereka dan menempuh jalan tauhid dan sunnah.

Apabila permasalahannya demikian, maka tidak boleh khuruj bersama mereka sebagaimana manhaj salaf yang tegak di atas kitab dan sunnah dalam mentahdzir pelaku bid’ah dan (melarang) berkumpul dan duduk bersama mereka, karena hal itu bisa memperbanyak jumlah mereka, membantu dan memperkokoh dalam menyebarkan kesesatan mereka. Ini termasuk menipu islam dan kaum muslimin, menipu mereka dan tolong menolong dengan mereka di atas dosa dan permusuhan. Terlebih lagi mereka berbaiat di atas empat thariqah sufi yang padanya terdapat aqidah hululiyah, wihdatul wujud, kesyirikan dan bid’ah.

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya tentang jamaah tabligh: Apa pendapatmu tentang jamaah tabligh, apakah boleh bagi penuntut ilmu atau selainnya khuruj bersama mereka dengan alasan dakwah?.

Beliau menjawab: Jamaah tabligh tidak tegak di atas manhaj kitabullah dan sunnah Rasulullah dan apa yang ada padanya salaf sholeh. Jika demikian tidak boleh khuruj bersama mereka karena menafikan manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salaf. Dalam dakwah di jalan Allah yang keluar (khuruj) adalah seorang alim. Adapun orang yang khuruj bersama mereka, mereka kewajibannya adalah tinggal di negerinya dan belajar ilmu di masjid-masjid sehingga di antara mereka ada yang menajdi ulama dan melaksanakan perannya dalam dakwah di jalan Allah. Jika demikian, wajib bagi penuntut ilmu untuk mendakwai mereka di rumah-rumah mereka untuk mempelajari al-kitab dan as-sunnah serta mengajak manusia untuk (kembali) kepada keduanya. Mereka –yaitu jamaah tabligh- tidak memperhatikan dakwah kepada al-kitab dab as-sunnah sebagai pondasi umum, bahkan mereka menganggap dakwah ini pemecah belah umat. Sehingga mereka mirip dengan jamaah ikhwanul muslimin. Mereka berkata, sesungguhnya dakwah mereka tegak di atas kitab dan sunnah, akan tetapi ini sekedar pengakuan. Mereka tidak memiliki aqidah yang mengumpulkan mereka, ini maturidi, ini asy’ari, ini sufi dan ini tidak bermadzhab. Yang demikian karena dakwah mereka tegak di atas landasan: “kumpulkan dan ajari ilmu”. Namun hakekatnya mereka tidak memiliki ilmu, telah berlalu lebih dari setengah abad namun tidak muncul di antara mereka seorang alim pun.

Adapun kami, kami berkata “ajari ilmu kemudian kumpulkan”. Sehingga perkumpulan tersebut di atas pondasi yang tidak ada perselisihannya. Dakwah jamaah tabligh adalah dakwah sufiah jaman sekarang yang berdakwah kepada akhlak, adapun dakwah kepada memperbaiki aqidah masyarakat mereka tidak bergerak, karena ini menurut mereka memecah belah umat.

Telah terjadi surat menyurat antara akh Sa’d al-Hushain dan pemimpin jamaah tabligh di India atau di Pakistan, di dalamnya menjelaskan bahwa mereka menetapkan tawassul, istighatsah dan lainnya semisal itu. Mereka meminta kepada anggotanya untuk berbaiat di atas empat thariqah, di antaranya thariqah naqsyabandiyah, setiap jamaah tabligh hendaknya berbaiat di atas asas ini.

Kadang ada yang bertanya: Sesungguhnya jamaah ini telah mengembalikan banyak manusia ke jalan Allah karena sebab dakwah mereka, bahkan banyak manusia yang masuk islam karena mereka, bukankah ini cukup untuk membolehkan khuruj bersama mereka dan bergabung dengan dakwah mereka?.

Kita katakan, kalimat semacam ini kita sering mengetahuinya dan mendengarnya dari orang-orang sufi. Sebagai contoh, di sana ada syeikh aqidahnya rusak dan tidak memahami sesuatupun dari sunnah bahkan memakan harta manusia dengan batil, meskipun demikian banyak sekali dari orang-orang fasik yang bertobat landaran dia. Setiap jamaah yang menyeru kepada kebaikan, harus memiliki pengikut . akan tetapi kita harus melihat kepada kebaikan tersebut. Mereka menyeru kepada apa?. Apakah mereka menyeru kepada mengikuti kitabullah dan hadits Rasulullah, menyeru kepada aqidah salaf dan tidak ta’ashshub terhadap madzhab serta mengikuti sunnah dimanapun dan bersama siapapun?. Jamaah tabligh mereka tidak memiliki manhaj ilmiah, akan tetapi manhaj mereka disesuaikan dengan tempat yang mereka berada di situ, mereka bercorak dengan berbagai warna.

[Lihat al-fatawa al-imaratiyah oleh al-Albani: 73/38] 

Kamis, 29 April 2010

Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu atau Ahad?




oleh: Rohmatullah Ngimaduddin, Lc.

Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah dengan berkata:
حَدَّثَنِى سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ وَهَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالاَ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ  مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- بِيَدِى فَقَالَ « خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ وَخَلَقَ فِيهَا الْجِبَالَ يَوْمَ الأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَخَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فِى آخِرِ الْخَلْقِ وَفِى آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ ».
Mengatakan kepadaku Suraij bin Yūnus dan Hârun bin Abdullah, kedua berkata, telah mengatakan kepadaku Hajjâj bin Muhammad dengan berkata, Ibnu Juraij telah berkata, telah mengkabarkan kepadaku Ismâil bin Ummayah dari Ayyūb bin Khalid dari Abdullah bin Râfi' bekas budak Ummi Salamah dari Abu Hurairah yang berkata, 'Rasulullah memegang tanganku dan berkata, "Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu. Kemudian Allah menciptakan gunung-gunung di bumi pada hari ahad dan Allah menciptakan pepohonan pada hari senin. Kemudian Allah menciptakan hal-hal yang di benci pada hari selasa. Dan Allah menciptakan cahaya pada hari rabu. Dan Allah menyebarkan binatang melata di bumi pada hari kamis. Dan Allah menciptakan Adam setelah ashar pada hari jum'at, makhluk yang paling akhir Allah ciptakan di akhir waktu pada hari Jum'at antara waktu ashar sampai malam". (HR. Muslim no.: 7231).

Takhrij hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim no.: 7231, Ahmad no.: 8563, Ibnu Ma'în dalam Tarikhnya yang diriwayatkan oleh ad-Duri no.: 210, Ibnu Mundah dalam at-Tauhîd no.: 54, Abu Ya'lâ dalam Musnad no.: 6132, al-Baihaqî dalam as-Sunan al-Kubrâ no.: 18159 dan al-Asmâ' wa ash-Shifât no.: 36, 812 dan 813, Ibnu Hibbân dalam Shahihnya no.: 6161, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no.: 1731, ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Awsath no.: 3232, an-Nasâi dalam as-Sunan al-Kubrâ no.: 11393, Abusy Syeikh dalam al-'Adhamah no.: 58751, ath-Thabarî dalam Tafsirnya: 21/433 dan Târikhnya: 1/35.

Hadits ini shahih karena para perowinya di dalam riwayat Muslim semuanya perowi yang tsiqah kecuali Ayyūb bin Khâlid. Ibnu Hajar mengatakan padanya layyin (lembek). Sedangkan Ibnu Hibbân memasukkannya dalam para perowi tsiqah. Imam Muslim telah mengeluarkan hadits ini di dalam Shahihnya dan Syeikh al-Albâni menshahihkan hadits ini dalam as-Silsilah ash-Shahîhah no.: 1833.

Faedah-faedah hadits:
1-      Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari Sabtu.
2-      Allah menciptakan gunung-gunung pada hari ahad.
3-      Allah menciptakan pepohonan pada hari senin.
4-      Allah menciptakan hal-hal yang dibenci pada hari selasa.
5-      Allah menciptakan cahaya pada hari rabu.
6-      Allah menciptakan binatang pada hari kamis.
7-      Allah menciptakan Adam pada hari jum'at.
8-      Hadits ini menyinggung penciptaan bumi selama empat hari yaitu dengan penciptaan: tanah, gunung-gunung, pepohonan dan hal-hal yang dibenci.
9-      Hadits ini menyinggung penciptaan langit selama dua hari yaitu dengan penciptaan cahaya dan binatang. Untuk faedah ini bisa dilihat perkataan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi ketika menjawab pengingkaran terhadap hadits ini karena dianggap bertentangan dengan al-Qur'an yang akan datang penyebutannya.

Namun hadits ini mendapatkan kritikan dari beberapa ulama di antaranya: Imam Bukhari, Ali al-Madini dan al-Baihaqi serta para ulama yang datang setelah mereka yang mendukung perkataan mereka. Sebelum kita menyebutkan pembelaan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi demikian juga Syeikh al-Albani terhadap hadits Abu Hurairah ini dan bantahan terhadap kandungan hadits ini yang disangka bertentangan dengan al-Qur'an, akan kami sebutkan terlebih dahulu beberapa ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi:

1-      اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَالَكُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَشَفِيعٍ أَفَلاَ تَتَذَكَّرُونَ {4}
"Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?". (QS. As-Sajadah: 4).

2-   قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ اْلأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ {9} وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِىَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَآ أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَآءً لِلسَّآئِلِينَ{10} ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَآ أَتَيْنَا طَآئِعِينَ {11} فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَآءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَآءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ {12}
"Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?, (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam." Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya". Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati." Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui". (QS. Fushshilat: 9-12).

3- إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {54}
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam". (QS. al-A'raf: 54).

4- وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَامَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ {38}
"Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan". (QS. Qaf: 38).

5- هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ وَاللهُ بِمَاتَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {4}
"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Hadid: 4).

6- وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَآءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَلَئِن قُلْتَ إِنَّكُم مَّبْعُوثُونَ مِن بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولُنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَآلَسِحْرٌ مُّبِينٌ {7}
"Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata." (QS. Hud: 7).

Ayat-ayat di atas mengandung beberapa faedah:
1-      Allah menciptakan langit dan bumi selama enam hari.
2-      Allah menciptakan bumi dalam waktu empat hari.
3-      Allah menciptakan langit dalam waktu dua hari.
4-      Setelah Allah menciptakan langit dan bumi, Allah sama sekali tidak letih kemudian Allah bersemayam di atas 'Arsy yaitu pada hari ketujuh.
5-      'Arsy Allah berada di atas air.

Dan di sini kami juga akan menyinggung tentang nama-nama hari karena ada hubungannya dengan pembahasan ini. Allah menyebutkan nama-nama hari di dalam al-Qur'an hanya dua nama yaitu Sabtu dan Jum'at. Allah berfirman:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فيِ السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ {65}
"Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina." (QS. al-Baqarah: 65).  Dan dalam ayat-ayat yang lain tentang penyebutan hari Sabtu seperti dalam surat an-Nisa' ayat 47 dan 154, al-A'raf ayat 163 dan an-Nahl ayat 124. Sedangkan Allah berfirman tentang hari Jum'at:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {9}
"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". (QS.al-Jumu'ah: 9). Adapun nama-nama hari yang lainnya diambil dari ahli kitab, Rasulullah pun tidak menamainya. Beliau hanya mengikuti apa yang telah dikenal oleh manusia.

Kapan Allah menciptakan bumi?
Para ulama berselisih tentang kapan penciptaan bumi, apakah hari sabtu atau hari ahad. Yang berpendapat bahwa Allah menciptakan bumi pada hari sabtu mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah ini dan atsar dari Muhammad bin Ishaq: "Ahli Taurat berkata, "Allah memulai menciptakan makhluk pada hari Ahad" sedangkan ahli Injil berkata "Allah memulai menciptakan makhluk pada hari Senin", dan kita kaum muslimin mengatakan apa yang sampai kepada kita dari Rasulullah, "Allah memulai menciptakan makhluk pada hari Sabtu". (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tarikhnya: 1/35). Dan berpendapat dengan ini sekelompok fuqaha' dari madzhab Syafi'iyyah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah.

Sedangkan dalil yang dipakai tentang penciptaan bumi pada hari ahad di antaranya atsar-atsar yang datang dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Salam, Ka'b al-Ahbar, ad-Dhahhak dan Mujahid. Bahkan Ibnu Jarir sampai mengatakan bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Ahad adalah ijma' salaf dari kalangan ahli ilmu sebagaimana di dalam Târikhnya: 1/35.

Dan di antara atsar-atsar tersebut sebagai berikut:
Dari Ka'b berkata, "Allah memulai penciptaan langit pada hari Ahad. Maka (penciptaan itu) hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jum'at. Dan Allah menjadikan setiap harinya seribu tahun". (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya no.: 37125). Sedangkan dalam riwayat ath-Thabari, "Allah menciptakan langit dan bumi pada hari Ahad dan Senin". (Târikh ath-Thabari: 1/35).

Abdullah bin Salam berkata, "Sesungguhnya Allah memulai penciptaan, maka Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan langit pada hari Selasa dan Rabu, dan Allah menciptakan bahan makanan sedangkan di bumi tidak ada sesuatupun pada hari Kamis. Dan pada hari Jum'at, Allah selesai dari semua itu pada waktu shalat ashar dan waktu tersebut antara ashar sampai terbenamnya matahari". (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no.: 17484 dan ath-Thabari dalam Târikh: 1/34).

Dari Mujahid berkata, "Awal penciptaan 'Arsy, air dan udara. Dan bumi di ciptakan dari air. Dan awal penciptaan pada hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan pengumpulan makhluk pada hari Jum'at. Yahudi menjadikan hari Sabtu sebagai hari raya. Sehari dari enam hari tersebut seperti seribu tahun menurut hitungan kalian". (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.: 37044).

Ibnu Jarir berkata, "Hannad bin as-Suri mengatakan kepadaku, dia berkata, Abu Bakar bin 'Iyyasy mengatakan kepadaku dari Abu Sa'id al-Baqqal dari 'Ikrimah dari Ibnu Abbas. Hannad berkata, "Aku membaca seluruh hadits di hadapan Abu Bakar, bahwa Yahudi mendatangi Rasulullah dan bertanya kepadanya tentang penciptaan langit dan bumi. Rasulullah berkata, "Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan gunung-gunung pada hari Selasa dan apa yang ada padanya dari manfaat. Dan pada hari Rabu Allah menciptakan pepohonan, air, kota-kota, kemakmuran dan  kerusakan. Ini empat hari". Kemudian berkata, ""Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya" (QS. Fushshilat: 9-10), bagi orang yang bertanya". Kemudian berkata, "Dan Allah menciptakan langit pada hari Kamis dan pada hari Jum'at menciptakan bintang-bintang, matahari, bulan dan para malaikat sampai tersisa tiga jam dari hari itu. Pada jam pertama dari tiga jam tersebut Allah menciptakan kematian orang yang mati. Jam kedua, Allah melemparkan kerusakan pada setiap hal yang manusia mengambil manfaat darinya. Dan pada jam ketiga Allah menciptakan Adam dan menempatkannya di dalam surga. Kemudian Allah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam dan Allah mengeluarkan Iblis dari surga di akhir waktu". Yahudi berkata, "Kemudian bagaimana wahai Muhammad?". Rasulullah berkata, "Kemudian Allah bersemayam di atas 'Arsy". Mereka berkata, "Kamu benar jika menyempurnakannya". Mereka berkata, "Kemudian Allah istirahat". Maka Nabi sangat marah, kemudian turun ayat "Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan. Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan". (QS. Qaf: 38-39). (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsirnya: 21/432-433 dan Tarikhnya: 1/35, Abusy Syeikh dalam al-'Adhamah no.: 88784, an-Nuhhâs dalam an-Nâsikh wa al-Mansūkh hal.: 680, al-Hâkim dalam al-Mustadrak no.: 3997 dan al-Baihaqî dalam al-Asmâ' wa ash-Shifât no.: 765).

Namun sanad hadits dari Ibnu Abbas ini lemah karena Abu Sa'd al-Baqqâl yaitu Sa'îd al-Marzabân seorang perowi yang lemah dan mudallis sebagaimana perkataan Ibnu Hajar sedangkan Abu Zur'ah mengatakan "Layyinul hadits" dan Bukhari mengatakan "Munkarul hadits". Dan Syeikh al-Albani mengatakan akan derajat hadits ini dengan "Munkar". (as-Silsilah adh-Dha'ifah no.: 5973).

Adapun yang diriwayatkan Ibnu Jarir, "Musa bin Harun telah mengatakan kepadaku, dia berkata, Amr bin hammad berkata kepadaku, dia berkata, Asbath mengatakan kepadaku dari as-Suddi tentang kabar yang dia menyebutkannya dari Abu Malik dan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas -dan dari Murrah dari Ibnu Mas'ūd dan dari sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi, "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit" (QS. al-Baqarah: 29). Dia berkata, "Sesungguhnya Allah 'Arsynya di atas air dan Allah belum menciptakan sesuatupun selain apa yang Dia ciptakan setelah air. Ketika Allah ingin menciptakan makhluk, Allah mengeluarkan asap dari air. Maka asap tersebut naik di atas air sehingga tinggi di atas air, maka Allah menamakannya Samâ' (tinggi). Kemudian air tersebut mengering dan Allah menjadikan darinya satu bumi. Kemudian Allah membelahnya dan menjadikannya tujuh bumi dalam waktu dua hari pada hari Ahad dan Senin……". (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsirnya: 1/435, Ibnu Abi Hâtim dalam Tafsirnya no.: 306, al-Baihaqî dalam al-Asmâ' wa ash-Shifât no.: 807).

Ibnu Jarîr ath-Thabari mengomentari sendiri sanad yang dia sebutkan ini di dalam Tafsirnya, "Apabila itu benar, dan aku tidak mengetahuinya benar karena aku meragukan sanadnya". (Tafsir ath-Thabari: 1/354). Dan Ahmad Muhammad Syâkir berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Jarîr ini, "Dan Ibnu Jarîr tidak menyebutkan sebab keraguannya terhadap sanadnya. Dan meskipun dia meragukan sanadnya, dia banyak meriwayatkan sanad tersebut, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadikannya sebagai hujjah". (Tafsir ath-Thabari: 1/156).

Di sini kita akan membahas hadits Abu Hurairah di atas yang diingkari oleh para ulama hadits sebagaimana telah kita sebutkan di atas. Benarkah hadits ini ber'illah (ada celaannya)?. Benarkah hadits ini bertentangan dengan al-Qur'an?.

Mari kita simak perkataan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi yang berkata: Sebagian ahli hadits mengingkari kabar ini, dan perincian sebab pengingkaran mereka karena beberapa sebab:

Pertama: Hadits tersebut tidak menyebutkan penciptaan langit dan hadits tersebut menjadikan penciptaan bumi selama enam hari.

Kedua: Hadits tersebut menyebutkan penciptaan selama tujuh hari padahal al-Qur'an menjelaskan bahwa penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari. Empat hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk penciptaan langit.

Ketiga: Hadits tersebut menyelisihi atsar-atsar yang mengatakan: "Sesungguhnya awal dari enam hari tersebut pada hari Ahad dan itu yang ditunjukkan oleh nama-nama hari: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis.

Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mencari 'illah (penyakit/cacat) hadits tersebut. Ibnu al-Madini menyebutkan 'illah hadits tersebut bahwa Ibrahim bin Abi Yahya telah meriwayatkan hadits tersebut dari Ayyub. Ibnu al-Madini berkata, "Aku memandang bahwa Ismail bin Umayyah tidak mengambil hadits ini kecuali dari Ibrahim bin Abi Yahya". [lihat al-Asmâ' wa ash-Shifât hal: 276, (no.: 813)]. Yaitu Ibrahim yang dituduh pendusta, maka hadits tersebut tidak tetap dari Ayyub dan tidak pula dari perowi di atasnya. Ini bisa dibantah, bahwa Ismail bin Umayyah seorang yang tsiqah menurut mereka dan bukan mudallis. Oleh karena itu wallahu a'lam, Bukhari tidak menerima perkataan Syeikhnya Ibnu al-Madini dan Bukhari menyebutkan 'illah hadits ini dengan 'illah yang lain. Bukhari menyebutkan ujung hadits ini dalam biografi Ayyub dalam ([Târikh al-Kabîr: 1/413]) kemudian berkata, "Sebagian perowi berkata, dari Abu Hurairah dari Ka'b dan ini lebih benar". (Perkataan Bukhari tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: 4/115 dan al-Bidâyah: 1/18). Perkataan Bukhari ini membawa kepada firasat bahwa Ayyub salah. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/198-199).

Di antara ulama yang mengikuti Imam Bukhari adalah Syeikhul islam Ibnu Taimiyah yang berkata ketika mengomentari hadits Abu Hurairah ini, "Ini hadits ber'illah yang dicela oleh para imam hadits seperti Bukhari dan selainnya. Bukhari berkata, "Yang benar hadits tersebut mawquf pada Ka'b". Dan al-Baihaqi telah menyebutkan 'illahnya pula". (Majmu' al-Fatawa: 17/135-236).

Sedangkan Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya al-Manâr al-Munif, pasal 19-153 hal.: 84, "Dan menyerupai ini apa yang terjadi kesalahan padanya dari hadits Abu Hurairah, "Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu", hadits ini di dalam Shahih Muslim akan tetapi terjadi kesalahan dalam memarfu'kan hadits ini. Sesungguhnya hadits tersebut adalah perkataan Ka'b al-Ahbâr. Demikianlah yang disampaikan oleh Imam ahli hadits Muhammad bin Ismail al-Bukhari di dalam kitabnya at-Târikh al-Kabir dan selainnya dari para ulama, juga mengatakan demikian. Dan hadits ini sebagaimana yang mereka sampaikan, karena Allah telah mengkabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi beserta apa yang ada pada keduanya selama enam hari, sedangkan konsekuensi hadits ini menunjukkan penciptaan berlangsung tujuh hari. Wallahu Ta'ala a'lam. (al-Manâr  al-Munif hal.: 84-86).

Demikian pula Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan hadits ini dalam Tafsirnya, "Muslim bin al-Hajjâj telah meriwayatkan hadits ini di dalam Shahîhnya demikian juga an-Nasâi dengan sisi periwayatan yang berbeda dari Hajjâj yaitu Ibnu Muhammad al-A'war dari Ibnu Juraij. Dalam hadits tersebut (ada penyebutan penciptaan) mencakup tujuh hari. Sedangkan Allah telah mengatakan selama enam hari. Oleh karena itu Bukhari dan selainnya dari para huffadz mengomentari hadits ini dan menjadikannya termasuk riwayat Abu Hurairah dari Ka'b al-Ahbâr dan bukan marfu'. Wallahu a'lam". (Tafsir Ibnu Katsir: 3/426).

Mengenai perkataan Ibnu al-Madini yang mengatakan bahwa Ismail bin Umayyah tidak mengambil hadits ini kecuali dari Ibrahim bin Abi Yahya, Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memberikan jawaban: "Tuduhan ini tanpa dalil, hanya sekedar pendapat. Dan semacam itu tidak menyebabkan riwayat Ismail bin Ummayyah ditolak. Dia seorang yang "tsiqah tsabt" sebagaimana yang dikatakan al-Hafidz di dalam at-Taqrib, terlebih lagi riwayatnya ada tâbi'nya. Abu Ya'la telah meriwayatkan di dalam Musnadnya [1/288] dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ayyub bin Khalid dari Abdullah bin Rafi'. Akan tetapi mungkin ada sesuatu yang saqath (tertinggal) dari sanadnya tersebut". (Shahih al-Jami': 4/449, dinukil dari as-Silsilah ash-Shahihah al-mujalladat al-kamilah 1-9: 4/332).

Dan kelanjutan perkataan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi, sebagai berikut: Firasat (Bukhari) ini (yang menyatakan bahwa Abu Hurairah mengambil hadits ini dari Ka'b) terbangun di atas tiga hal:
Pertama: Pengingkaran hadits ini sebagaimana yang telah lalu.
Kedua: Ayyub bukan perowi yang kuat, dia sedikit meriwayatkan hadits dan Muslim tidak mengeluarkan haditsnya kecuali hadits ini sehingga dia tidak termasuk perowi yang meriwayatkan dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Al-Azdî menyebutkan biografinya dan dia tidak menyebutkan seorangpun dari para imam yang mentsiqahkan dia kecuali Ibnu Hibbân yang telah menyebutnya termasuk perowi tsiqah. Sedangkan persyaratan Ibnu Hibbân dalam memberikan tautsiq dikenal sangat pemaaf (tidak ketat).
Ketiga: Riwayat yang Bukhari terpaksa menyampaikannya dengan perkataan "Sebagian perowi berkata". Alangkah baiknya kalau dia menyebutkan sanad dan matannya, mungkin saja riwayat itu sendiri lemah namun kuat menurutnya karena dua sebab terdahulu. Yang menunjukkan akan lemahnya riwayat tersebut bahwa yang dihafal dari riwayat Ka'b, Abdullah bin Salam dan Wahb bin Munabbih dan dari perowi yang mengambil dari mereka bahwa awal penciptaan pada hari ahad dan ini adalah pendapat ahli kitab yang disebutkan dalam buku-buku mereka dan yang dihafal dari perkataan mereka dan itulah yang dimaksudkan dari perkataan mereka tentang hari Sabtu. [Lihat al-Asmâ' wa ash-Shifat: 272 dan 275, dan awal-awal Tarikh Ibnu Jarir].

Dalam ad-Durr al-Mantsur [3/91], Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan dari Ka'b berkata, "Allah memulai penciptaan langit dan bumi pada hari ahad, senin, selasa, rabu, kamis dan jum'at dan Allah menjadikan setiap harinya seribu tahun". Dan Ibnu Jarir menyebutkan sanadnya di awal-awal tarikhnya [1:22 –al-Husainiyyah-] dan meringkasnya, "Allah memulai penciptaan langit dan bumi pada hari ahad dan senin". Ini menolak apa yang ada dalam hadits di atas dari perkataan Ka'b. Sedangkan Ayyub perowi yang tidak mengapa (di ambil riwayatnya) dan perbuatan Ibnu al-Madini menunjukkan kuatnya Ayyub menurutnya. Dan Muslim telah mengeluarkan haditsnya sebagaimana yang telah kamu ketahui, meskipun batasan dia selayaknya tidak digunakan sebagai hujjah di dalam kitab shahih. Inti keraguan terhadap haditsnya tersebut karena pengingkaran. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/198-199).

Dan Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga memiliki komentar terhadap perkataan Bukhari tersebut dengan berkata: "(Perkataan Bukhari) ini seperti (perkataan) orang sebelumnya –yaitu Ibnu al-Madini, pent-. Lalu siapa sebagian perowi ini?. Apa kedudukannya dalam keakurasian dan hafalannya sampai dirajihkan di atas riwayat Abdullah bin Râfi'?. Yang mana an-Nasâi dan Ibnu Hibbân telah mentsiqahkannya, Muslim berhujjah dengannya, sekelompok orang juga meriwayatkan darinya dan cukuplah (sebagai sandaran) akan keshahihan hadits ini bahwa Ibnu Ma'în telah meriwayatkannya dan tidak menyebutkan sedikitpun dari 'illah!". (Shahih al-Jami': 4/449 yang dinukil dari as-Silsilah ash-Shahihah al-mujalladat al-kamilah 1-9: 4/332).

Dan jawaban terhadap pengingkaran tersebut sebagaimana yang di sebutkan oleh Syeikh al-Mu'allimi sebagai berikut:
Jawaban terhadap pengingkaran pertama: Sesungguhnya hadits tersebut meskipun tidak mengatakan tentang penciptaan langit tapi telah mengisyaratkan pada penciptaan langit pada hari kelima (diciptakan) cahaya dan pada hari keenam (diciptakan) binatang melata dan kehidupan binatang membutuhkan panas sedangkan cahaya dan panas sumbernya dari bagian-bagian langit. Dan yang ada dalam hadits tersebut bahwa penciptaan bumi sendiri selama empat hari sebagaimana dalam al-Qur'an dan al-Qur'an ketika menyebutkan penciptaan bumi selama empat hari tidak menyebutkan apa yang menunjukkan kepada apa yang diciptakan pada empat hari tersebut termasuk cahaya dan binatang. Dan ketika menyebutkan penciptaan langit dalam waktu dua hari, tidak menyebutkan apa yang menunjukkan bahwa pada waktu dua hari tersebut tidak terjadi sesuatupun di bumi. Secara akal setelah sempurnanya penciptaan bumi, maka bumi mulai berkembang dengan apa yang telah Allah siapkan padanya. Dan Allah tidak menyibukkan-Nya satu urusan terhadap urusan yang lain. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/200).

Sedangkan Syeikh al-Albani memiliki jawaban lain untuk menyatukan antara hadits Abu Hurairah ini dengan al-Qur'an, beliau berkata: "Dan hadits ini tidak menyelisihi al-Qur'an dari satu sisipun berbeda dengan apa yang disangka oleh sebagian orang. Sesungguhnya hadits ini menjelaskan proses penciptaan di bumi saja dan itu terjadi dalam waktu tujuh hari sedangkan al-Qur'an telahnya menyatakan bahwa penciptaan langit dan bumi salama enam hari sedangkan penciptaan bumi salama dua hari tidak bertentangan dengan itu. Karena mengandung kemungkinan bahwa enam hari tersebut bukan tujuh hari yang disebutkan dalam hadits ini. Dan hadits ini berbicara tentang fase dari fase-fase perkembangan penciptaan di muka bumi sampai pantas untuk tempat tinggal. Dan menguatkan hal ini bahwa al-Qur'an menyebutkan bahwa sebagian hari di sisi Allah seperti seribu tahun dan sebagiannya seukuran lima puluh ribu tahun. Maka apa penghalang  bila enam hari tersebut dari sisi ini dan tujuh hari tersebut dari hari-hari kita ini, sebagaimana kesharihan hadits ini?. Sehingga tidak ada kontradiksi antara hadits ini dengan al-Qur'an". (Misykâtul Mashâbîh hadits no.: 5734, lihat pula ta'liq Syeikh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw hadits no.: 71).

Kelanjutan jawaban Syeikh al-Mu'allimi sebagai berikut:
Jawaban terhadap pengingkaran kedua: Tidak ada dalam hadits ini keterangan bahwa pada hari ketujuh ada penciptaan selain Adam. Dan tidak ada di dalam al-Qur'an apa yang menunjukkan bahwa penciptaan Adam pada salah satu hari di antara hari-hari yang enam tersebut, bahkan itu sesuatu yang jelas kebatilannya. Di dalam ayat-ayat di awal-awal surat al-Baqarah dan di beberapa atsar tentang penciptaan Adam bisa di ambil kesimpulan bahwa sebelum Adam di ciptakan di sana ada makhluk penghuni bumi sebelum Adam, mereka hidup di bumi dalam waktu yang lama. Ini mendukung perkataan bahwa Adam diciptakan belakangan dalam waktu yang cukup lama setelah penciptaan langit dan bumi. Maka merenungi ayat-ayat dan hadits di atas penjelasan ini, akan jelas bagimu isya Allah bahwa tuduhan hadits ini menyelisihi dhahir al-Qur'an telah terbantah dan segala puji bagi Allah.

Jawaban pengingkaran ketiga: Atsar-atsar yang menyatakan bahwa awal penciptaan makhluk pada hari ahad, ada yang marfu' akan tetapi jauh  lebih lemah dibandingkan dengan hadits ini. Adapun yang tidak marfu', kebanyakan dari perkataan Abdullah bin Salam, Ka'b, Wahb dan orang yang mengambil dari israilliyyat. Dan penamaan hari-hari sebelum islam mengikuti ahli kitab, ketika islam datang nama-nama tersebut telah terkenal dan tersebar maka secara dharuri dipandang tidak perlu merubahnya karena menetapkan nama-nama yang telah dikenal dan tersebar tidak dianggap mengakui moment-momentnya yang diambil darinya atau terbangun atasnya, karena telah menjadi tidak menunjukkan pada moment-moment tersebut akan tetapi hanya menunjukkan pada nama saja. Dan karena permasalahannya tidak berkaitan dengan hal yang wajib diyakini atau berkaitan dengannya hukum syar'i, sehingga tidak perlu diambil yang benar dengan merubah apa yang telah terkenal dan tersebar dari penamaan hari.

as-Suhaili dalam kitab [ar-Raudh al-Anif: 1/271] menyebutkan permasalahan ini dan mendukung perkataan Ibnu Ishak dan selainnya yang setuju dengan hadits ini sampai berkata, "Dan yang aneh dari ath-Thabari dengan keluasan ilmunya, bagaimana dia menyelisihi konsekuensi hadits ini dan membantah dengan panjang lebar terhadap Ibnu Ishaq dan selainnya dan condong kepada perkataan Yahudi bahwa ahad adalah hari pertama". Dan perkataannya yang lain memberikan beberapa faedah di antaranya bahwa penamaan tersebut secara khususnya lima hari tidak datang penamaannya di dalam al-Qur'an sedikitpun. Dan datang di dalam al-Qur'an dua nama yaitu Jum'at dan Sabtu sehingga al-Qur'an tidak ada kaitannya dengan nama-nama yang diada-adakan tersebut.
Di antara faedah yang lain dari perkataan as-Suhaili, menurut ketentuan hadits bahwa Jum'at adalah hari ketujuh dan tujuh adalah ganjil sesuai dengan keutamaan hari Jum'at sebagaimana hadits "Sesungguhnya Allah witir (esa) dan menyukai witir (ganjil)". (Muttafaq 'alaihi). Dan  digabungkan dengan ini hari senin, sesungguhnya hari senin menurut hadits ini hari ketiga dan itu sesuai dengan keutamaannya. Di dalam hadits shahih "Pada hari senin aku dilahirkan dan pada hari itu aku mendapatkan wahyu". (Diriwayatkan oleh Muslim no.: 2807). Adapun hari kamis, telah datang keutamaan puasa pada hari itu dan hal itu dijelaskan dengan (hal sebagai berikut): tatkala tidak memungkinkan puasa pada hari yang utama yaitu hari jum'at karena hari jum'at adalah hari raya dalam setiap minggunya, maka diganti dengan hari yang sebelumnya. Dan di dalam hal ini ada hal yang menguatkan akan keserupaan hari jum'at dengan hari raya. Di dalam kitab ash-Shahihain dalam hadits tentang hari jum'at, "Kita umat yang belakangan namun paling duluan". (Muttafaq 'alaihi). Kesesuaiannya, hendaknya hari milik orang belakangan adalah hari yang paling terakhir.

Ini, dan apa yang ada di al-Bidayah karya Ibnu Katsir [1/71], "an-Nasâi (as-Sunan al-Kubrâ no.: 11392) telah meriwayatkan di dalam tafsir dari Ibrahim bin Ya'qub al-Jauzajâni dari Muhammad bin ash-Shabbâh dari Abi Ubaidah al-Haddâd dari al-Akhdhar al-'Ajlân dari Ibnu Juraij dari Atha' dari Abu Hurairah, "Sesungguhnya Rasulullah memegang tanganku dan berkata, "Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam waktu enam hari. Kemudian Allah bersemanyam di atas 'Arsy pada hari ketujuh dan Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu". (HR. an-Nasâi dalam as-Sunan al-Kubra no.: 11392). An-Nasâi menyebutkan hadits dengan sempurna semisal itu. Dan telah diperselisihkan tentang Ibnu Juraij".

Aku (Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi) katakan: Tentang keshahihan riwayat ini dari Ibnu Juraij dari Atha' bin Abi Rabbâh ada penelitian, aku tidak akan memperpanjang penjelasannya. Barangsiapa yang ingin mentahqiq silahkan melihat [Tahdzib at-Tahdzib: 7/213, Fath al-Bâri: 8/511 dan muqaddimahnya hal.: 373] dan biografi Akhdhar dan Utsman bin Atha' di kitab al-Mizân dan selainnya. Wallahu al-Muwaffiq. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/200-202).

Namun Syeikh al-Albani mengatakan hadits an-Nasâi ini "Jayyidul isnâd" sebagaimana dalam Mukhtashar al-'Uluw.

Dari apa yang kami sampaikan dari perkataan para ulama, bisa diambil kesimpulan:
1-      Allah menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari.
2-      Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu berdasarkan hadits Abu Hurairah yang shahih tersebut.
3-      Atsar-atsar yang menyatakan Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin dari kabar israiliyyat.
4-      Allah menciptakan Adam pada hari Jum'at dan Jum'at adalah hari ketujuh. Ini tidak bertentangan dengan al-Qur'an, karena al-Qur'an ketika menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi selama enam hari tidak menyebutkan Adam termasuk yang Dia ciptakan dalam waktu enam hari tersebut.
5-      Keutamaan bilangan ganjil karena Allah mencintainya dan di antara hari-hari ganjil yang datang keutamaannya: hari Sabtu (hari pertama) Allah menciptakan bumi, hari Senin (hari ketiga) Rasulullah mensunahkan puasa pada hari itu dan hari Jum'at (hari ketujuh) adalah hari raya kaum muslimin dalam setiap minggunya.
6-      Allah memberikan hidayah kepada umat islam untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari istimewa (hari raya) dalam setiap minggunya, sebagaimana dalam hadits, "Allah menyesatkan orang sebelum kita dari hari Jum'at. Bagi Yahudi hari Sabtu dan bagi Nashrani hari Ahad. Kemudian Allah mendatangkan kita dan memberi hidayah kepada kita kepada hari Jum'at. Maka Allah menjadikan (hari yang utama) Jum'at, Sabtu dan Ahad. Demikian juga  mereka mengikuti kita pada hari kiamat, kita umat belakangan dari penduduk dunia dan umat yang pertama-tama dihisab pada hari kiamat sebelum seluruh makhluk". (HR. Muslim no.: 2019).

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, Wallâhu  Ta'ala a'lam. Wa shallâhu 'alâ Nabiyyinâ Muhammad wa 'alâ âlihi wa shahbihi ajma'în. Walhamdulillâh Rabbil 'âlamîn……

Maraji':
1-      al-Qur'ân al-Karim
2-      al-Anwâr al-Kâsyifah Limâ fi Kitâb Adhwâi 'ala as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujâzafah karya Abdurrahman bin Yahyâ al-Mu'allimi (Wafat: 1376 H).
3-      al-Asmâ' wa ash-Shifât karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqî (Wafat: 458 H).
4-      al-'Azhamah karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja'far bin Hayyân dikenal Abusy Syeikh al-Ashbahâni (Wafat: 369 H).
5-      al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Abu al-Fidâ' Ismâil bin Umar bin Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi (Wafat: 774 H).
6-      Jâmi' al-Bayân fi Ta'wil al-Qur'ân karya Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmili ath-Thabari (Wafat: 310 H).
7-      Majmu' al-Fatâwâ karya Taqiyyudin Abul 'Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harrâni (Wafat: 728 H).
8-      al-Manâr  al-Munif fi Ash-Shahih wa azd-Dha'if  karya Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar al-Hanbali ad-Dimasyqi dikenal Ibnul Qayyim (Wafat: 751 H).
9-      Misykâtul Mashâbîh karya Muhammad bin Abdullah al-Khathîb at-Tibrîzi dengan tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albâni (Wafat: 1420 H).
10-  al-Mu'jam al-Awsath karya Abu al-Qasim Sulaimân bin Ahmad ath-Thabranî (Wafat: 360 H).
11-  Mukhtashar al-'Uluw karya Muhammad Nashiruddin al-Albâni (Wafat: 1420 H).
12-  Mushannaf Ibni Abi Syaibah karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-'Absi al-Kufi (Wafat: 235 H).
13-  Musnad Abi Ya'lâ karya Abu Ya'lâ Ahmad bin Ali bin al-Mutsannâ al-Mūshili (Wafat: 307 H).
14-  Musnad al-Imâm Ahmad karya al-Imâm Ahmad bin Hanbal (Wafat: 241 H).
15-  al-Mustadrak 'ala ash-Shahîhain karya Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hâkim an-Naisaburi (Wafat: 405 H).
16-  an-Nâsikh wa al-Mansūkh karya Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Ismâil al-Murâdî an-Nuhhâs (Wafat: 338 H).
17-  Shahih al-Bukhâri karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Ju'fî al-Bukhâri (Wafat: 256 H).
18-  Shahih Ibni Hibbân karya Muhammad bin Hibbân bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi al-Busti (Wafat: 354 H).
19-  Shahih Ibni Khuzaimah karya Abu Bakar Muhammad bin Ishâq bin Khuzaimah an-Naisaburi (Wafat: 311 H).
20-  Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyairi (Wafat: 261 H).
21-  As-Silsilah al-Ahâdits adh-Dha'îfah wa al-Maudhū'ah wa Atsaruhâ as-Sayyi' fi al-Ummah karya Muhammad Nashiruddin bin al-Hâj Nūh al-Albâni (Wafat: 1420 H).
22-  as-Silsilah ash-Shahîhah karya Muhammad Nashiruddin al-Albâni (Wafat: 1420 H).
23-   as-Sunan al-Kubrâ karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqî (Wafat: 458 H).
24-  as-Sunan al-Kubrâ karya Ahmad bin Syu'aib Abu Abdurrahman an-Nasâi (Wafat: 303 H).
25-  Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad bin Idris ar-Râzi bin Ibnu Abi Hâtim (Wafat: 327 H).
26-  Tafsir al-Qur'ân al-'Azhim karya Abu al-Fidâ' Ismâil bin Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi (Wafat: 774 H).
27-  Tahdzib at-Tahdzib karya Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalâni (Wafat: 852 H).
28-  Taqrib at-Tahdzib karya Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalâni (Wafat: 852 H).
29-  Tarikh Ibnu Ma'în yang diriwayatkan oleh ad-Duri karya Yahyâ bin Ma'în bin 'Aun al-Murri al-Ghathafâni al-Baghdâdi (Wafat: 233 H).
30-  Târikh al-Kabîr karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Ju'fi al-Bukhâri (Wafat: 256 H).
31-  Târikh al-Umam wa al-Muluk atau Târikh ath-Thabarî karya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghâlib al-Âmili ath-Thabari (Wafat: 310 H).
32-  at-Tauhîd karya al-Imâm Abu Abdillah Muhammad bin Ishâq bin Muhammad bin Yahyâ bin Mundah (Wafat: 395 H).
33-  Ats-Tsiqât karya Muhammad bin Hibbân bin Ahmad Abu Hâtim at-Tamimi al-Busti (Wafat: 354 H).