Rabu, 30 Juni 2010

Mengharapkan rusaknya rumah tangga orang lain?


Pertanyaan yang maknanya:

Bibiku memiliki anak perempuan yang aku mencintainya sejak kecil dan aku berangan-angan dia bisa menjadi istriku namun aku tidak pernah menyampaikan isi hatiku ini kepada siapapun. Ketika aku bertekad untuk mengkhithbahnya sepulang dari safar selama satu tahun lebih, aku mendapatinya telah menikah. Sehingga aku merasakan kesedihan yang mendalam. Namun beberapa waktu kemudian aku punya harapan, aku mengetahui dia ada perselisihan dengan suaminya. Apakah saya boleh menceritakan kepada bibiku tentang isi hatiku atau apakah aku harus menunggu akhir dari kedua pasangan tersebut atau aku harus mengkhithbah saudara perempuannya yang lebih muda umurnya?. Janganlah engkau menasehatiku untuk menjauhinya, sungguh hatiku sangat mencintainya dan aku tidak mungkin mampu melupakannya 
 ……
Jawab:

Wahai saudaraku……
 perkenankanlah aku berkata secara gamblang, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku akan menanyakan kepadamu dengan terang-terangan, bagaimana kamu senang dengan musibah yang menimpa saudaramu dan kamu gembira dengan perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan istrinya karena sebab kamu bisa mencapai syahwatmu dan kebodohan dalam hatimu. Beristighfarlah kepada Allah! Apakah seorang muslim melakukan perbuatan semacam itu?.  Sekali-kali tidak, karena Rsulullah bersabda:
"ليس منا من خبب امرأة على زوجها"
Bukan golongan kami orang yang merusak akhlak seorang wanita terhadap suaminya”.
Maha suci Allah! “Bukan golongan kami……”, ya bukan golongan kami karena kaum muslimin sebagian mereka mencintai sebagian yang lain dan salah seorang dari  mereka mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya bahkan mendahulukan saudaranya atas dirinya. Oleh karena itu, bukan golongan kami orang yang ingin mendirikan bangunan keluarganya dengan meruntuhkan dan menghancurkan bangunan rumah tangga saudaranya.
Wahai saudaraku 
Apabila Rasulullah telah melarang seseorang untuk mengkhithbah (seorang wanita) yang telah dikhithbah saudaranya dengan berkata:
لا يخطب الرجل على خطبة أخيه حتى يترك الخاطب قبله أو يأذن له
Janganlah seorang lelaki mengkhithbah (wanita) yang telah dikhithbah saudaranya sampai pengkhithbah sebelum dia meninggalkannya atau mengijinkannya”. (muttafaq alaihi 
  
Dan hal ini karena memperhatikan perasaan dan menghormati saudaranya padahal dia mengetahui itu baru sekedar khithbah, maka bagaimana pendapatmu jika telah terjadi pernikahan dan terbentuk sebuah rumah tangga 

Sekali-kali tidak, aku tidak yakin engkau bermuhasabah dan berkata jujur pada dirimu sendiri, bagaimana setan bisa menyeretmu kepada keinginan yang haram dan angan-angan yang menipu……?

Dan termasuk perkataan yang baik, aku katakan kepadamu sesungguhnya haram bagimu berbicara kepada bibimu dengan apa yang setan masukkan ke dalam hatimu karena itu akan memperdalam perselisihan yang terjadi antara anak perempuan bibimu dengan suaminya dan itu termasuk takhbib yang haram secara syar’ii, dijauhi oleh jiwa yang mulia dan tidak disukai oleh akal yang lurus. Oleh karena itu, aku nasehatkan kepadamu untuk mengkhithbah wanita shalihah yang memiliki agama yang baik, sama saja apakah anak perempuan bibimu yang kecil atau selainnya. Yang penting agamanya bagus agar dia bisa menolongmu dalam urusan  agama dan duniamu. Semoga Allah memberikan taufik, menjaga, meluruskan dan memberi hidayah kepadamu……

Sumber: Fi Baitina Musykilah

Jumat, 11 Juni 2010

Kenapa para ulama memperingatkan umat dari jamaah tabligh?



Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya tentang jamaah tabligh.

Penanya berkata, “Wahai Samahatus Syaikh, kami mendengar tentang jamaah tabligh dan apa yang mereka lakukan dari dakwah. Apakah Engkau menasehatiku untuk bergabung dengan jamaah ini? Aku mengharapkan saran dan nasehatmu, semoga Allah melimpahkan pahala untukmu.

Syeikh menjawab dengan berkata: Setiap orang yang berdakwah di jalan Allah dia seorang muballigh “Sampaikan dariku meskipun satu ayat”. Akan tetapi jamaah tabligh yang dikenal sekarang ini dari India pada mereka terdapat khurafat, bid’ah dan kesyirikan tidak diperkenankan khuruj bersama mereka kecuali seseorang yang berilmu, khuruj untuk mengingkari dan mengajari mereka (ilmu syar’i). Namun apabila seseorang khuruj untuk mengikuti mereka, tidak boleh. Karena pada mereka terdapat khurafat, kesalahan dan kurang ilmu. Akan tetapi apabila jamaah tabligh selain mereka dari kalangan ahli bashirah dan ahli ilmu keluar bersama mereka untuk dakwah di jalan Allah atau seseorang yang berilmu memiliki bashirah khuruj bersama mereka untuk mengajarkan ilmu, mengingkari (kemungkaran), memberikan petunjuk kepada kebaikan dan mengajari mereka sehingga mereka meninggalkan manhaj yang batil dan mengikuti madzhab ahlus sunnah wal jamaah (tidak mengapa).

[Diambil dari kaset berjudul Fatwa Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz terhadap jamaah tabligh. Fatwa ini keluar di kota Thaif dua tahun sebelum wafatnya Syeikh Bin Baaz].

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya: Semoga Allah berbuat ihsan kepada Engkau, hadits Nabi tentang perpecahan umat yaitu sabda Nabi, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok kecuali satu (yang selamat dari neraka)”. Apakah jamaah tabligh dengan apa yang ada pada mereka dari kesyirikan dan bid’ah dan jamaah ikhwan muslimin dengan apa yang ada pada mereka dari hizbiyyah dan melawan pemerintah serta tidak mau mendengar dan taat (terhadap pemerintah), apakah kedua kelompok ini masuk……?

Syeikh menjawab, “Masuk kedalam tujuh puluh dua kelompok, orang yang menyelisihi aqidah ahlus sunnah masuk ke dalam tujuh puluh dua kelompok dengan sabda Rasulullah umatku”, maksudnya umat ijabah yaitu umat yang menerima Rasulullah dan menampakkan ittiba’nya terhadap Rasulullah sebanyak tujuh puluh tiga kelompok. Kelompok yang selamat adalah kelompok yang mengikuti Nabi dan istiqomah di atas agamanya. Sedangkan tujuh puluh dua kelompok, di antara mereka ada yang kafir, ahli maksiat dan ahli bid’ah dengan aneka ragamnya.

Penanya berkata, artinya dua kelompok ini termasuk tujuh puluh dua kelompok?

Syeikh menjawab: Ya, termasuk tujuh puluh dua kelompok juga murjiah dan selainnya. Murjiah dan khawarij, sebagian ahli ilmu memandang khawarij orang-orang yang keluar dari islam akan tetapi masih masuk ke dalam keumuman tujuh puluh dua golongan.

[Dari pelajaran beliau tentang Syarh al-Muntaqa di kota Thaif dari rekaman kaset dua tahun sebelum wafat beliau].

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya: Kami khuruj bersama jamaah tabligh ke India dan Pakistan. Kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang terdapat padanya kuburan. Aku pernah mendengar bahwa shalat di masjid yang ada kuburannya, shalatnya batal. Bagaimana pendapatmu tentang shalatku, apakah aku mengulang shalatku? Apa hukum khuruj bersama jamah tabligh ke tempat-tempat semacam ini?

Jawab: Bismillah dan segala puji bagi Allah wa ba’du: Sesungguhnya jamaah tabligh mereka tidak memiliki ilmu tentang masalah aqidah, maka tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang memiliki ilmu dan bashirah tentang aqidah yang benar yang dipegang ahlus sunnah wal jamaah sehingga dia mengarahkan dan menasehati mereka serta tolong menolong dengan mereka di atas kebaikan karena mereka rajin beramal akan tetapi mereka membutuhkan tambahan ilmu dan membutuhkan orang yang mengajari mereka dari ulama tauhid dan sunnah. Semoga Allah memberikan rizki kepada seluruh kaum muslimin pemahaman agama dan kokoh di atasanya.

Adapun shalat yang di dalamnya ada kuburannya, tidak syah. Wajib bagimu untuk mengulang shalatmu karena Rasulullah bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid”. Hadits yang disepakati keshahihannya. Dan sabda Rasulullah, “Ketahuilah, sesungguhnya umat sebelum kalian mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, aku melarang kalian dari demikian itu”. Dikeluarkan oleh Muslim di dalam shahihnya. Hadits-hadits dalam bab ini banyak sekali dan kita memohon taufik kepada Allah.

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Fatwa tertanggal 2/11/1414 H.

Adapun perkataan Syeikh, “tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang memiliki ilmu dan bashirah tentang aqidah yang benar yang dipegang ahlus sunnah wal jamaah sehingga dia mengarahkan dan menasehati mereka”, maka Syeikh Rabi’ berkomentar: Semoga Allah merahmati Syeikh (Bin Baaz), seandainya mereka menerima nasehat dan saran ahli ilmu maka tidak ada di sana dosa untuk khuruj bersama mereka, akan tetapi kenyataan menyakinkan bahwa mereka tidak mau menerima nasehat serta tidak kembali dari kebatilannya karena sangat fanatik dan mengikuti hawa nafsu. Seandainya mereka menerima nasehat ulama niscaya mereka akan meninggalkan manhaj batil mereka dan menempuh jalan tauhid dan sunnah.

Apabila permasalahannya demikian, maka tidak boleh khuruj bersama mereka sebagaimana manhaj salaf yang tegak di atas kitab dan sunnah dalam mentahdzir pelaku bid’ah dan (melarang) berkumpul dan duduk bersama mereka, karena hal itu bisa memperbanyak jumlah mereka, membantu dan memperkokoh dalam menyebarkan kesesatan mereka. Ini termasuk menipu islam dan kaum muslimin, menipu mereka dan tolong menolong dengan mereka di atas dosa dan permusuhan. Terlebih lagi mereka berbaiat di atas empat thariqah sufi yang padanya terdapat aqidah hululiyah, wihdatul wujud, kesyirikan dan bid’ah.

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya tentang jamaah tabligh: Apa pendapatmu tentang jamaah tabligh, apakah boleh bagi penuntut ilmu atau selainnya khuruj bersama mereka dengan alasan dakwah?.

Beliau menjawab: Jamaah tabligh tidak tegak di atas manhaj kitabullah dan sunnah Rasulullah dan apa yang ada padanya salaf sholeh. Jika demikian tidak boleh khuruj bersama mereka karena menafikan manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salaf. Dalam dakwah di jalan Allah yang keluar (khuruj) adalah seorang alim. Adapun orang yang khuruj bersama mereka, mereka kewajibannya adalah tinggal di negerinya dan belajar ilmu di masjid-masjid sehingga di antara mereka ada yang menajdi ulama dan melaksanakan perannya dalam dakwah di jalan Allah. Jika demikian, wajib bagi penuntut ilmu untuk mendakwai mereka di rumah-rumah mereka untuk mempelajari al-kitab dan as-sunnah serta mengajak manusia untuk (kembali) kepada keduanya. Mereka –yaitu jamaah tabligh- tidak memperhatikan dakwah kepada al-kitab dab as-sunnah sebagai pondasi umum, bahkan mereka menganggap dakwah ini pemecah belah umat. Sehingga mereka mirip dengan jamaah ikhwanul muslimin. Mereka berkata, sesungguhnya dakwah mereka tegak di atas kitab dan sunnah, akan tetapi ini sekedar pengakuan. Mereka tidak memiliki aqidah yang mengumpulkan mereka, ini maturidi, ini asy’ari, ini sufi dan ini tidak bermadzhab. Yang demikian karena dakwah mereka tegak di atas landasan: “kumpulkan dan ajari ilmu”. Namun hakekatnya mereka tidak memiliki ilmu, telah berlalu lebih dari setengah abad namun tidak muncul di antara mereka seorang alim pun.

Adapun kami, kami berkata “ajari ilmu kemudian kumpulkan”. Sehingga perkumpulan tersebut di atas pondasi yang tidak ada perselisihannya. Dakwah jamaah tabligh adalah dakwah sufiah jaman sekarang yang berdakwah kepada akhlak, adapun dakwah kepada memperbaiki aqidah masyarakat mereka tidak bergerak, karena ini menurut mereka memecah belah umat.

Telah terjadi surat menyurat antara akh Sa’d al-Hushain dan pemimpin jamaah tabligh di India atau di Pakistan, di dalamnya menjelaskan bahwa mereka menetapkan tawassul, istighatsah dan lainnya semisal itu. Mereka meminta kepada anggotanya untuk berbaiat di atas empat thariqah, di antaranya thariqah naqsyabandiyah, setiap jamaah tabligh hendaknya berbaiat di atas asas ini.

Kadang ada yang bertanya: Sesungguhnya jamaah ini telah mengembalikan banyak manusia ke jalan Allah karena sebab dakwah mereka, bahkan banyak manusia yang masuk islam karena mereka, bukankah ini cukup untuk membolehkan khuruj bersama mereka dan bergabung dengan dakwah mereka?.

Kita katakan, kalimat semacam ini kita sering mengetahuinya dan mendengarnya dari orang-orang sufi. Sebagai contoh, di sana ada syeikh aqidahnya rusak dan tidak memahami sesuatupun dari sunnah bahkan memakan harta manusia dengan batil, meskipun demikian banyak sekali dari orang-orang fasik yang bertobat landaran dia. Setiap jamaah yang menyeru kepada kebaikan, harus memiliki pengikut . akan tetapi kita harus melihat kepada kebaikan tersebut. Mereka menyeru kepada apa?. Apakah mereka menyeru kepada mengikuti kitabullah dan hadits Rasulullah, menyeru kepada aqidah salaf dan tidak ta’ashshub terhadap madzhab serta mengikuti sunnah dimanapun dan bersama siapapun?. Jamaah tabligh mereka tidak memiliki manhaj ilmiah, akan tetapi manhaj mereka disesuaikan dengan tempat yang mereka berada di situ, mereka bercorak dengan berbagai warna.

[Lihat al-fatawa al-imaratiyah oleh al-Albani: 73/38]