Kamis, 25 Februari 2010

Tahukah Anda, apa itu ghibah?


oleh: Rohmatullah Ngimaduddin, lc.

Ghibah atau menggunjing orang lain adalah hal yang sering kita dengar di kalangan kaum muslimin. Apakah menggunjing teman, tetangga, sanak famili, handaitolan, atasan, bawahan dan seterusnya. Penyakit ini mewabah di semua lapisan masyarakat dari kalangan rakyat sampai pejabat, dari kalangan orang tidak bernasab sampai kaum ningrat, bahkan menjalar kepada para thullabul ilmi dari kalangan santri sampai para asatidzah dan para kiai. Kalau kiainya melakukan ghibah, bagaimana dengan para santrinya?!. Mungkin ada yang mengatakan, “Orang ga bisa meninggalkan menggunjing orang lain karena kebebasan berpendapat, kebebasan pers, punya media yang harus di isi dengan berita dan acara yang menarik konsumen dan bla…bla…”. Benarkah perkataan ini?. Tapi kenapa Islam melarangnya?. Apakah islam tidak sesuai dengan tabiat manusia?. Ataukah manusianya yang sudah jauh dari bimbingan wahyu?. Selayaknya –bi ‘aunillah- kita mengkaji nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang tema ini, tentu saja dengan pemahaman kaum salaf.

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujarat: 12).

Allah telah memberikan peringatan dalam ayat ini agar kaum muslimin tidak menggunjing saudaranya, bahkan Allah menyerupakan seorang yang menggunjing saudaranya dengan seekor anjing. Karena anjing adalah satu-satunya binatang yang memakan bangkai sesama jenis. Singa tidak mau memakan bangkai sesama singa, rubah tidak mau memakan bangkai sesama rubah, tapi anjing mau memakan bangkai anjing sejenisnya. Ayat di atas menunjukkan akan haramnya menggunjing orang lain sebagaimana yang disampaikan para ulama bahwa ghibah hukumnya termasuk dosa besar sebagaimana perkataan Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, “Ayat ini adalah dalil akan larangn keras dari perbuatan ghibah dan ghibah termasuk dosa-dosa besar karena Allah menyerupakannya dengan memakan bangkai, dan perbuatan tersebut adalah dosa besar”. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman: 802).

Ikhwani fillah, ghibah termasuk sifat tercela namun banyak orang yang terjerumus dalam perbuatan ini. Ketika engkau katakan kepada mereka, “Bertakwalah kamu kepada Allah, kamu telah menggunjing saudaramu!”. Maka mereka menjawab dengan tegas, “Aku tidak mengatakan sesuatu, melainkan itu benar-benar ada pada dirinya”. Dia lupa bahwa itulah ghibah!.

Jadi, apa itu ghibah?. At-Tahanawi berkata, “Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak dia sukai kalau ucapanmu tersebut sampai kepadanya, sama saja apakah kamu menyebutkan kekurangan pada badannya atau pakaiannya atau akhlaknya atau perbuatannya atau ucapannya atau agamanya atau rumahnya atau kendaraannya”. Termasuk pula menyebutkan tentang keluarganya atau pekerjaannya atau penghasilannya atau makanan kesehariannya dan semua hal yang pantas digunjingkan sebagai bahan perolokan.

Beliau juga berkata, “Ghibah tidak terbatas pada ucapan, akan tetapi mencakup pula pada perbuatan seperti dengan gerakan, isyarat dan kinayah sebagaimana datang dari Aisyah bahwasanya dia berisyarat dengan tangannya tentang seorang wanita bahwasanya wanita tersebut bertubuh pendek, maka Rasulullah menegurnya dengan berkata, “Kamu telah mengghibahinya”. Dan membenarkan perbuatan ghibah (tanpa ada pengingkaran) termasuk ghibah”.

Sedangkan Imam Nawawi, beliau panjang lebar dalam menjelaskan definisi dan contoh-contoh ghibah, kemudian Syeikh Salim Al-Hilali melengkapinya dalam kitab Bahjah An-Nadhirin Syarh Riyadh As-Shalihin:

Adapun ghibah, yaitu kamu menyebut seseorang dengan apa yang ada padanya dari perkara yang dia benci, sama saja pada badannya atau agamanya atau dunianya atau jiwanya atau sifat fisiknya atau akhlaknya atau hartanya atau anaknya atau orang tuanya atau istri/suaminya atau pembantunya atau budaknya atau surbannya atau pakaiannya atau cara berjalannya atau gerakan anggata badannya atau raut wajahnya atau tidak punya rasa malunya atau kemusaman wajahnya atau keceriaan wajahnya atau selainnya yang berkaitan dengannya. Sama saja apakah kamu menyebutkannya dengan ucapanmu atau tulisanmu atau kodemu atau kamu mengisyaratkan tentangnya dengan matamu atau tanganmu atau kepalamu dan semisal itu.

Adapun pada badan, seperti ucapanmu. “Dia buta, pincang, rabun, botak, cebol, tinggi, berkulit hitam dan berkulit kuning”.

Adapun pada agama, seperti ucapanmu, “Dia fasik, pengkhianat, dzalim, meremehkan shalat, meremehkan najis, tidak berbakti kepada orang tuanya, tidak meletakkan zakat pada tempatnya, tidak menjauhkan diri dari ghibah”.

Adapun pada dunia seperti, “Tidak punya sopan santun, meremehkan manusia, tidak memandang kalau ada orang yang punya hak atasnya, banyak omongan, banyak makan atau tidur, tidur tidak pada waktunya, duduk tidak pada tempat duduknya”.

Adapun pada orang tuanya , seperti ucapanmu, “Bapaknya fasik, orang hindu, negro, tukang sol, penjual baju, pedagang ternak, tukang kayu, pandai besi, penenun kain”.

Adapun pada akhlaknya, seperti ucapanmu, “Dia jelek akhlaknya, sombong, periya’, suka terburu-buru, congkak, lemah, berhati lembek, suka grusa-grusu /ngawur, bermuka masam, orang yang tidak diurusi keluarganya dan semisalnya”.

Adapun pada pakaian, “Berlengan baju lebar, berekor baju panjang, berbaju kotor dan semisalnya”.

Selainnya bisa dikiaskan dengan apa yang telah kami sebutkan dan patokannya kamu menyebutkan saudaramu dengan apa yang dia benci, sama saja apakah kamu menyebutnya dengan ucapanmu atau tulisanmu atau kodemu atau kamu mengisyaratkan kepadanya dengan matamu atau tanganmu atau kepalamu.

Patokannya: Setiap hal yang kamu memahamkan kepada orang lain tentang kekurangan seorang muslim, maka itulah ghibah yang haram.

Termasuk pula memerankan gaya orang lain, seperti berjalan pincang, menundukkan kepala, atau selain itu dari gerakan badan dengan maksud memerankan gerakan badan orang yang ingin direndahkan dengan menirunya. Semua ini haram dengan tanpa ada perselisihan.

Termasuk ghibah, apabila ada penulis buku yang menyebutkan nama seseorang pada bukunya dengan berkata, “Fulan telah berkata begini”, dia menginginkan dengan penukilan ini untuk merendahkan dan menghinakannya. Maka ini haram.

Namun apabila dia ingin menjelaskan kesalahannya agar tidak diikuti atau menjelaskan kelemahannya dalam suatu bidang ilmu agar tidak ada yang tertipu dengannya maka diterima dalihnya ini. Dan ini bukan ghibah, akan tetapi nasehat yang hukumnya wajib yang mana dia mendapatkan pahala karenanya apabila dia (benar-benar bertujuan) memberikan nasehat.

Dekimian pula apabila seorang penulis buku atau selainnya berkata, “suatu kaum atau suatu kelompok berkata begini, ini salah atau keliru atau kebodohan atau kelalaian…” dan semisalnya, ini bukan ghibah. Karena ghibah adalah menyebutkan seseorang tertentu atau kelompok tertentu.

Termasuk ghibah yang haram, ucapanmu, “Sebagian orang atau sebagian fuqaha’ berkata begini atau sebagian orang yang mengaku berilmu, atau sebagian mufti, atau sebagian orang yang menyandarkan diri kepada kesolehan atau mengaku bersikap zuhud, atau sebagian orang yang lewat pada hari ini, atau sebagian orang yang kita lihat atau semisalnya apabila orang yang diajak bicara paham siapa orang yang dibicarakan karena dengan itu diperoleh pemahaman (siapa yang dibicarakan)”.

Termasuk kategori ghibah, ghibahnya dua ahli fiqih atau dua ahli ibadah yang mana mereka berkata samar dalam menggunjing (yang lainnya) namun bisa dipahami sebagaimana kalau berkata blak-blakan. Ditanyakan kepada salah satu dari keduanya, “Bagaimana keadaan Fulan?”. Dia menjawab, “Semoga Allah memperbaiki (urusan) kami, semoga Allah mengampuni kami, semoga Allah menjadikannya orang soleh, kita memohon kepada Allah keselamatan, semoga Allah memaafkan kita kerena kurangnya rasa malu, semoga Allah menerima taubat kita…dan semisalnya dari perkataan yang merendahkan derajatnya. Semua ini ghibah yang haram.

Demikian juga apabila dia berkata, “Fulan telah diuji dengan ujian yang ditimpakan kepada kita semua” atau “dia tidak memiliki jalan keluar (dari ujian ini) kita semua melakukan seperti apa yang dia lakukan”.

Inilah contoh-contoh ghibah, jadi patokan ghibah: kamu memahamkan kepada orang yang kamu ajak bicara akan kekurangan seseorang. (Bahjah An-Nadhirin Syarh Riyadh As-Shalihin: 3/25-27).

Sungguh Kekasih kita telah berkata, “Tahukah kalian, apa itu ghibah?”. Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasulullah bersabda, “Kamu menyebutkan saudaramu dengan apa yang tidak dia sukai”. Ada yang berkata, “Bagaimana pendapatmu –Wahai Rasulullah- apabila pada saudaraku tersebut benar ada yang saya katakan?”. Rasulullah menjawab, “Apabila pada saudaramu ada apa yang kamu sampaikan, berarti kamu telah mengghibahinya. Namun apabila apa yang kamu sampaikan tidak ada padanya berarti kamu telah berkata dusta atasnya”. (HR. Muslim).

Wahai hamba Allah, para ulama telah menyampaikan bahwa ghibah termasuk dosa besar, Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Dalil-dalil yang shahih lagi banyak telah menunjukkan bahwa ghibah termasuk dosa besar, akan tetapi berbeda-beda besar dan kecilnya berdasarkan perbedaan mafsadatnya. Dan orang yang diberi jawami’ul kalim –yaitu Rasulullah- telah mensejajarkannya dengan merampas harta dan membunuh jiwa, ketika beliau bersabda, “Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”. Merampas harta dan membunuh jiwa termasuk dosa besar dengan ijma’ muslimin, maka demikian juga dengan mencabik-cabik kehormatan orang”.

Rasulullah bersabda, “Termasuk riba yang paling besar merusak kehormatan seorang muslim dengan tanpa kebenaran”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, lihat As-Silsilah Ash-Shahihah: 1433.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memakan makanan (karena sebab menggunjing) seorang muslim, sesungguhnya Allah akan memberikannya makanan semisal itu di neraka. Barangsiapa mendapatkan pakaian (karena sebab menggunjing) seorang muslim, sesungguhnya Allah akan memberikan pakaian semisal itu di neraka. Barangsiapa mendapatkan kedudukan dengan sum’ah dan riya’ (karena sebab menggunjing) seseorang, sesungguhnya Allah akan mendudukkannya dengan kedudukan sum’ah dan riya’ pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, lihat Ash-Shahihah: 934.

Rasulullah telah mencela majlis-majlis para penggunjing dengan berkata, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, jangan pula mengikuti/mencari-cari aib-aib mereka. Sesungguhnya orang yang mengikuti aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mengikuti aibnya, barangsiapa yang Allah mengikuti aibnya, Allah akan membeberkannya meskipun di dalam rumahnya”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, kemudian di shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’).

Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah telah bersabda, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melintasi suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku berkata, “Siapa mereka wahai Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka itu kaum yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, dan Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Al-Jami’). Di antara faedah yang dipetik dari hadits ini sebagaimana yang di sampaikan Syeikh Salim Al-Hilali yaitu haramnya menggunjingkan kekayaan atau jabatan manusia dan nasab mereka.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ada seseorang yang bangkit meninggalkan Rasulullah, para sahabat melihat pada orang tersebut lemah ketika berdiri, kemudian mereka berkata setelahnya, “Wahai Rasulullah, alangkah lemahnya Fulan”. Maka Rasulullah berkata, “Kalian telah memakan daging saudaramu, kalian telah menggunjingnya!”. Hadits ini sanadnya lemah namun memiliki syawahid yang menguatkannya.

Dalam sebuah hadits dari Aisyah berkata, Aku berkata kepada Nabi, “Cukuplah bagimu tentang Shafiah begini dan begini”. Sebagian perawi berkata, “Yaitu pendek”. Maka Rasulullah berkata, “Kamu telah berkata dengan suatu perkataan, apabila perkataan tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya akan bisa merubah air laut tersebut”. Aisyah juga berkata, “Aku menceritakan seseorang kepada Nabi, maka Nabi berkata, “Aku tidak suka untuk menceritakan seseorang dan saya mendapatkan ini dan ini”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”).

Imam Nawawi berkata, “Makna perkataan ghibah merubah air laut yaitu perkataan tersebut bercampur dengan air laut yang menyebabkan berubahnya rasa dan bau air laut tersebut karena sangat busuk dan kotornya perkataan tersebut. Dan ini termasuk larangan yang paling keras dari perbuatan ghibah. Dan Allah telah berfirman, “Dan tidaklah Muhammad itu berkata dengan hawa nafsunya, perkataannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (QS. An-Najm: 4).

Kemudian di sana ada sebuah hadits yang bisa menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang mau menerima kebenaran dari Rasulullah. Sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, Kami bersama Nabi pada waktu safar, kemudian berhembuslah angin yang berbau busuk. Maka Rasulullah berkata, “Tahukah kalian bau apa ini?. Sesungguhnya sekelompok kaum munafik menggunjing sekelompok orang dari kaum muslimin, oleh karena itu berhembuslah bau busuk ini”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Ada yang bertanya kepada ahli ilmu, “Apa hikmah tentang bau dan busuknya ghibah bisa tercium di jaman Nabi akan tetapi tidak tercium di jaman kita?”.

Maka dijawablah pertanyaan ini, “Sesungguhnya ghibah telah begitu banyak di jaman kita sehingga hidung-hidung manusia penuh dengan bau ghibah akan tetapi tidak tercium baunya, padahal baunya sangat busuk. Permisalannya seperti seseorang yang masuk ke rumah tukang samak, maka orang tersebut tidak betah bertahan di dalamnya karena baunya sangat menyengat. Namun para tukang samak tersebut bisa makan dan minum di dalam rumah tersebut dan tidak terpengaruh dengan bebauannya yang menyengat, karena hidung-hidung mereka telah terbiasa, demikianlah ghibah di jaman kita”. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 122).

Itulah beberapa hadits dan penjelasannya dari para ulama tentang ghibah. Kemudian di sini pantas juga kita sebutkan atsar dari kaum salaf tentang sikap mereka terhadap ghibah. Disebutkan bahwa seorang wanita tabi’iyah melihat seorang wanita keluar dari rumah Aisyah sedangkan ekor pakaian wanita tersebut masih di dalam rumah. Maka ada wanita lain yang berkata di hadapan Aisyah, “Alangkah panjangnya ekor pakaian orang ini”. Serta merta Aisyah menegurnya, “Kamu telah mengghibahinya, bangun dan minta maaflah kepadanya”. (lihat Al-Masawi’ karya Al-Kharaithi: 198).

Diriwayatkan bahwa Amr bin Al-‘Ash melintasi bangkai bighal yang telah melepuh, kemudian dia berhenti di dekatnya dan berkata, “Demi Allah, seandainya salah seorang dari kalian ada yang memakan bangkai ini sampai kenyang, lebih baik baginya dari pada dia menggunjing saudaranya”. (Masawi’ Al-Akhlaq karya Al-Kharaithi).

Abu Hurarairah pernah berkata, “Barangsiapa yang memakan daging saudaranya di dunia, akan dihidangkan kepadanya daging saudaranya tersebut di akhirat. Kemudian dikatakan kepadanya, “Makanlah daging bangkai saudaramu ini sebagaimana kamu telah memakannya ketika dia masih hidup”. Maka dia memakan bangkai tersebut sehingga dia mengerang, berteriak (karena tersiksa) dan bermuka masam. (Ash-Shamtu karya Ibnu Abi Dunya).

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Janganlah kalian melakukan ghibah, janganlah kalian mengoyak kehormatan manusia sehingga hancurlah agamamu!”. (At-Taubikh Wa At-Tanbih karya Abu Asy-Syaikh).

Dikatakan, “Apabila tampak ghibah maka akan terangkat persaudaraan karena Allah. Sesungguhnya permisalan kalian di jaman itu seperti suatu benda yang dilapisi dengan emas atau perak, dalamnya berupa kayu tapi luarnya bagus”. (Al-Hilyah karya Abu Na’im: 8/96).

Ali bin Husain mendengar orang yang mengunjing orang lain, maka dia berkata, “Janganlah kamu melakukan ghibah, sesungguhnya ghibah adalah lauk pauk anjing-anjing dari kalangan manusia!”.

Ka’b Al-Akhbar berkata, “Aku membaca buku orang-orang terdahulu, Sesungguhnya orang yang mati dan telah bertaubat dari ghibah, dia orang yang terakhir masuk surga. Dan orang yang mati yang senantiasa berbuat ghibah, dia orang yang pertama-tama masuk neraka”. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 124). Ini menunjukkan bahwa ghibah dihukumi haram pada syariat umat terdahulu. Demikian juga diriwayatkan bahwa Isa ‘Alaihissalam bersama hawariyyin melintasi bangkai seekor anjing. Maka para hawariyyin berkata, “Alangkah busuknya bau anjing ini”. Maka Isa berkata, “Alangkah putihnya gigi-gigi anjing ini”. Untuk menasehati dan melarang mereka dari ghibah.

Diriwayatkan dari Hasan Basri bahwa dia disampaikan kepadanya tentang orang yang telah mengghibahinya, maka beliau menghadiahkan kepada orang tersebut satu nampan dari kurma segar dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa anda telah menghadiahkan kepadaku pahala kebaikanmu, dan aku ingin membalasmu dengan kurma segar ini. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 123). Maka jika engkau tidak mampu untuk memberikan manfaat kepada manusia sebaiknya engkau menahan diri dari memberikan mudharat kepada mereka. Jika kamu tidak mampu berpuasa maka janganlah kamu memakan daging saudaramu……!.

Saudara-saudaraku, sesungguhnya ghibah kemudharatannya sangat besar yang menyebabkan kerugian dunia dan akhirat, di antara kemudharatannya:

1- Ghibah merupakan musibah bagi pelakunya, karena tidak diragukan bahwa termasuk bencana apabila seseorang berakhlak dengan akhlak tercela ini. Umar bin Khaththab berkata, “Janganlah kalian menyibukkan diri dengan menyebut manusia, itu adalah bencana. Akan tetapi wajib bagi kalian untuk mengingat Allah, sesungguhnya mengingat Allah adalah rahmah”.

2- Ghibah merusak agama. Hasan Basri berkata, “Demi Allah, ghibah lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada keragu-raguan”.

3- Ghibah menafikan keimanan sebagaimana hadits yang disampaikan Rasulullah, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, jangan pula mengikuti/mencari-cari aib-aib mereka. Sesungguhnya orang yang mengikuti aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mengikuti aibnya, barangsiapa yang Allah mengikuti aibtnya, Allah akan membeberkannya meskipun di dalam rumahnya”.

4- Ghibah menjadi sebab adzab kubur. Qatadah berkata, “Disebutkan kepada kami bahwa adzab kubur ada tiga macam: sepertiga pada ghibah, sepertiga pada air kencing (yang tidak disucikan ketika mengenai badan atau pakaian) dan sepertiga pada namimah”.

5- Ghibah menjadi sebab adzab pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah di atas, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melintasi suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku berkata, “Siapa mereka wahai Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka itu kaum yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka”.

6- Ghibah menjadi sebab hilangnya pahala kebaikan pada hari kiamat. Karena orang-orang yang telah kamu ghibahi, mereka adalah orang-orang yang kamu dzalimi. Mereka akan mendatangimu dan mengambil pahala kebaikanmu sebagai qishash atas kedzalimanmu terhadap mereka di dunia.

Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya membenarkan ghibah termasuk ghibah. Sufyan bin Husain berkata, “Aku duduk di samping Iyas bin Mu’awiyah kemudian melintaslah seseorang kemudian aku menyebut-nyebut tentang orang tersebut sehingga Iyas berkata, “Diamlah”. Kemudian Iyas berkata kepadaku, “Wahai Sufyan, apakah kamu pernah memerangi Romawi?”. Aku jawab, “Tidak”. Dia berkata, “Kamu pernah memerangi Mongol?”. Aku jawab, “Tidak”. Dia berkata, “Romawi selamat darimu dan Mongol selamat darimu akan tetapi saudaramu muslim tidak selamat darimu!”. Maka aku tidak pernah mengulangi perbuatanku setelah itu”.

Dan Maimun bin Siyah tidak pernah mengghibahi seorangpun dan dia tidak membiarkan seorangpun melakukan ghibah di sampingnya. Dia akan melarang orang yang melakukan ghibah, jika berhenti itulah tujuannya, jika tidak berhenti dia meninggalkannya.

Imam Nawawi menyebutkan dalam Riyadhus Shalihin bab: Haramnya mendengarkan ghibah, dan di antara dalil yang beliau sebutkan hadits Rasulullah, “Barangsiapa yang membela kehormatam saudaranya, Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Sedangkan dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya ketika dia tidak ada, benar bagi Allah untuk membebaskannya dari api neraka”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, lihat Shahih At-Targhib karya Al-Albani: 2847). Selayaknya bagi orang yang mendengar pergunjingan terhadap seorang muslim untuk menolak dan melarangnya karena perbuatannya ini bisa menghalanginya terjerumus ke dalam keharaman dan barangsiapa yang membela kehormatan seorang muslim, ini merupakan jalan keselamatan dari adzab di akhirat.

Setelah apa yang kita uraikan ini, Anda mau coba-coba?!. Atau anda mau memberikan hiburan (tayangan) dengan menggunjing saudaramu?!. Wal ‘iyadzu billah. Wallahu yahdi man yasya’u ila shirath mustaqim. Wa shallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumiddin……


Maraji’: Riyadhus Shalihin, Bahjah An-Nadhirin, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, Al-Ghibah wa An-Namimah, Mawaqif Imaniyah Linnisa’.

Hukum pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat


Pelaku dosa besar di bawah masyiah (kehendak) Allah, kita tidak mengkafirkan ahli kiblat (kaum muslimin) karena dosa-dosa mereka dan kita serahkan rahasia hati mereka kepada Allah.

Pelaku dosa besar di bawah masyiah Allah, jika Allah menghendaki, Allah akan mengampuni mereka dan jika Allah menghendaki Allah akan menyiksa mereka sampai batas waktu tertentu kemudian Allah memasukkan mereka ke dalam surga. Ini hukuman pada hari kiamat, tidak ada yang kekal di dalam neraka orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari keimanan.

Sedangkan dosa besar adalah setiap dosa yang mengharuskan pelakunya mendapatkan had (hukuman) di dunia atau mendapatkan laknat atau kemurkaan atau dihapusnya amal atau ancaman keras atau (ancaman) masuk neraka.

Adapun di dunia, pelaku dosa besar di bawah kekufuran tidak boleh dihukumi dengan kekafiran selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Dia tetap seorang muslim fasiq yang imannya kurang.

Kita serahkan rahasia hati mereka kepada Allah, karena kita tidak diperintahkan untuk menghukumi batin dan rahasia hati manusia. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. (QS. Al-Hujarat: 11). Allah juga berfirman

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. (QS. Al-Hujarat: 12). Allah berfirman:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawab. (QS.Al-Israa': 36).

Rasulullah berkata, "Aku tidak diperintahkan untuk melubangi hati manusia dan tidak pula untuk merobek perut manusia". Ketika Khalid bin Al-Walid berkata kepada beliau, "Betapa banyak orang yang shalat mengucapkan dengan lisannya apa yang tidak ada dalam hatinya".

Oleh karena itu, seorang muslim dicintai kerena apa yang ada padanya dari ketaatan dan keimanan dan dibenci karena apa yang ada padanya dari kefasikan dan kemaksiatan. Allah berfirman: "Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik." (QS. Al-Baqarah: 178). Allah menetapkan persaudaraan seiman antara dua orang yang saling membunuh.

Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' telah menunjukkan akan penetapan pokok aqidah ini, yaitu tidak dikeluarkannya pelaku dosa besar dari keimanan.

Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisaa': 48). Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Adapun dosa di bawah syirik, maka Allah mengampuninya jika Allah menghendaki atau Allah menyiksa karena dosa tersebut jika Allah menghendaki, Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun. (QS. AL-Kahfi: 49). Dan bukan maksud dari ayat tersebut bahwa Allah mengampuni dosa di bawah kesyirikan apabila pelaku kesyirikan tersebut bertaubat dari kesyirikan, karena apabila maksud ayat tersebut demikian maka tidak benar penafian ampunan Allah bagi orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatupun karena Allah mengampuni orang yang bertaubat meskipun dia seorang musyrik.

Allah berfirman:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (QS. Al-Hujarat: 9-10). Allah menamakan dua kelompok yang berperang dengan saudara seiman meskipun keduanya saling membunuh dan Allah menjadikan kelompok yang mendamaikan sebagai saudara terhadap kedua kelompok yang berperang, padahal pembunuhan termasuk dosa di antara dosa-dosa besar.

Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS. At-Tahrim: 8). Allah memanggil mereka dengan keimanan dan memerintahkan mereka untuk bertaubat, dan tidaklah taubat kecuali karena sebab dosa.

Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (QS. Al-Baqarah: 178). Allah menamai pembunuh sebagai seorang mukmin dan pembunuhan tersebut tidak mengeluarkannya dari keimanan.

Allah berfirman:
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53). Allah memanggil hamba-hamba-Nya yang banyak melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya, dan Allah menguatkan ampunan ini dengan firman-Nya "semuanya", ini selain dosa syirik.

Allah berfirman:
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisaa': 31). Yaitu apabila kalian meninggalkan dosa yang paling besar yang kalian dilarang untuk mengerjakannya yaitu perbuatan kufur dan kesyirikan, niscaya kami akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian.
Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang mengerjakan shalat kita, menghadap ke kiblat kita dan memakan sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim. Baginya perlindungan Allah dan perlindungan Rasul-Nya, maka janganlah kalian melanggar Allah atas perlindungannya".

Maka seorang muslim tidak keluar dari keislamannya dengan melakukan suatu dosa selama dia tidak menghalalkan dosa tersebut, ahli warisnya mendapatkan warisan darinya, dia dishalatkan jenazah dan dikubur di pemakaman kaum muslimin.

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengahramkan dari api neraka orang yang berkata laa ilaha illallah mengharapkan dengan ucapannya ini wajah Allah".

Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang meninggal dunia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dia akan masuk surga".


Rasulullah bersabda, "Keluar dari api neraka orang yang berkata laa ilaha illallah".

Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaha illallah, dia akan masuk surga".

Rasulullah bersabda, "Allah berfirman, 'Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangiku dengan membawa sebesar bumi dari dosa kemudian engkau berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, niscaya Aku akan memberikan kepadamu sepenuh bumi dari ampunan'".

Dan Rasulullah berkata tentang seorang sahabat yang minum khamer kemudian dihukum cambuk dan sebagian sahabat memakinya, "Janganlah kalian melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".

Dan Rasulullah bersabda, "Keluar dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dan di dalam hatinya terdapat sebesar biji sya'irah (gandum) dari kebaikan, keluar dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dan di dalam hatinya terdapat sebesar biji burrah (gandum) dari kebaikan dan keluar dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dan di dalam hatinya terdapat sebesar mutiara dari kebaikan".


Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa tauhid adalah sebab terbesar untuk mendapatkan ampunan dari dosa-dosa meskipun dosa besar. Barangsiapa yang kehilangan tauhid berarti dia kehilangan ampunan Allah dan barangsiapa yang membawa tauhid, sungguh dia telah membawa sebab terbesar untuk mendapatkan ampunan Allah yang dengannya akan menyebabkan masuk ke dalam surga meskipun setelah beberapa saat lamanya.

Kemudian, di antara dalil tidak kafirnya pelaku dosa besar bahwasanya Allah telah mewajibkan had (hukuman) kepada pezina, pencuri, penuduh orang lain berzina tanpa mendatangkan saksi dan semisalnya, Allah telah menjadikan had ini sebagai kafarah (penghapus dosa) bagi mereka, seandainya mereka kafir dengan melakukan dosa-dosa besar ini niscaya akan ditegakkan kepada mereka hukuman mati karena murtad dan tidak boleh mendapatkan warisan dari mereka.

Imam Bukhari membuat bab di dalam Shahihnya, Bab kemaksiatan dari masalah jahiliyah dan pelakunya tidak dikafirkan dengan melaksanakan kemaksiatan tersebut kecuali syirik.

Imam Ibnu Abdil Barr telah menukilkan ijma' akan hal itu dengan berkata, Apabila pelaku dosa besar meninggal dunia, tempat kembalinya diserahkan kepada Allah. Jika Allah menghendaki Allah mengampuninya dan jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya. Jika Allah mengadzabnya, itu karena kejahatannya. Dan apabila Allah memaafkan, itu karena Allah Maha Memaafkan dan Maha Pengampun. Apabila dia bertaubat sebelum meninggal dunia sebelum kedatangan kematian, dia menyesal dan berkeyakinan untuk tidak mengulangi dosanya, meminta ampun dan takut kepada Allah maka dia seperti orang yang tidak berdosa. Dan dengan ini, semuanya terdapat atsar-atsar yang shahih dari ulama salaf dan dipegang oleh sekelompok ulama muslimin.

Beliau juga berkata, "Ahli sunnah wal jama'ah –mereka adalah ahli fiqih dan atsar- telah bersepakat bahwa seseorang tidak akan dikeluarkan dari islam karena dosanya meskipun dosa besar".

Telah tersesat dari kebenaran dalam masalah ini dua kelompok:
1- Khawarij dan Mu'tazilah: Mereka melampaui batas sebagaimana kebiasaan mereka, mereka menghukumi pelaku maksiat dengan keluar dari keimanan di dunia ini, karena mereka berpendapat bahwa iman tidak bisa bertambah dan tidak berkurang. Kemudian Khawarij berkata dengan kafirnya pelaku maksiat sedangkan Mu'tazilah berkata bahwa pelaku maksiat berada di antara dua posisi yaitu tidak muslim dan tidak kafir.

Adapun di akhirat, mereka bersepakat bahwasanya pelaku maksiat kekal di dalam neraka, dia tidak mendapatkan ampunan Allah dan tidak pula mendapatkan syafaat seorang pemberi syafaat. Mereka bersepakat dalam hukuman di akhirat dan berselisih dalam hukuman di dunia.

2- Murjiah: Mereka meremehkan sebagaimana kebiasaan mereka, mereka menjadikan pelaku maksiat sebagai seorang mukmin yang sempurna keimanannya, imannya sebagaimana keimanan para nabi. Ini hukum mereka di dunia dan tidak ada hukuman bagi pelaku maksiat di akhirat.

Syeikhul Islam berkata, "Murjiah: Orang-orang yang memastikan dengan tidak mendapatkan adzab bagi seorangpun dari orang-orang fasik umat ini".

Adapun Ahlu Sunnah mereka berkata: Dia mukmin dengan keimanannya fasiq dengan dosa besarnya, dia pantas mendapatkan janji Allah dengan keimanannya dan mendapatkan ancaman Allah dengan kemaksiatannya. Dia tidak akan kekal di dalam neraka sebagaimana kekalnya orang kafir, akan tetapi dia akan keluar dari neraka setelah disucikan dari dosa atau mendapatkan syafaat atau mendapatkan ampunan dan rahmat Allah dan dia akan masuk surga dengan mendapatkan rahmat dan ampunan. Ahlu Sunnah tidak memberikan kepada pelaku maksiat iman mutlak yaitu kesempurnaan iman dan tidak mengambil darinya mutlak iman yaitu pokok keimanan.

Kita memohon kepada Allah maaf dan keridhaan-Nya, rahmat dan ampunan-Nya serta keutamaan dan kebaikan-Nya.


Sumber: Al-Intishar Bi Syarh Aqidah Aimmah Al-Amshar karya Dr. Muhammad bin Musa Alu Nashr: 275-280 diterjemahkan oleh Rohmatullah Ngimaduddin, Lc.

Kamis, 18 Februari 2010

Al-Ain (sakit kena mata)



Rasulullah bersabda, “Kebanyakan orang yang meninggal dari umatku setelah qadha’ dan qadar Allah karena sebab ‘ain”. Hadits ini di hasankan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah.
Rasulullah bersabda “ ‘Ain bisa menyebabkan seseorang masuk kubur (meninggal) dan bisa menyebabkan seekor unta masuk tungku”. (Shahih Al-Jami’).
Rasulullah bersabda:
العين حق و يحضرها الشيطان و حسد ابن آدم
Penyakit ‘ain (kena mata) adalah benar, disertai setan dan hasad anak Adam”. Asal hadits ini dalam Shahih Bukhari dan tambahannya diriwayatkan oleh Ahmad.
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa pada setiap orang ada setan-setan dari bangsa jin yang selalu mengawasinya untuk menyakitinya. Demikian juga setiap orang bisa menjadi sasaran hasad sehingga tidak ada seorangpun yang selamat dari ‘ain kecuali orang yang Allah melindunginya.
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hasad salah satu penyakit di antara penyakit-penyakit hati. Ini penyakit umum yang tidak ada orang yang selamat darinya kecuali sedikit di antara manusia, sehingga dikatakan, “Tidak ada jasad yang lepas dari penyakit hasad, akan tetapi seorang pencela menampakkannya sedangkan seorang mulia menyembunyikannya”. Adapun makna seorang pencela menampakkannya yaitu dia mensifati saudaranya sesama muslim tanpa menyebut nama Allah. Hasan Bashri pernah ditanya, “Apakah seorang mukmin memiliki penyakit hasad?”. Dia menjawab, “Apakah kamu lupa dengan saudara-saudara Yusuf?, celaka kamu! Akan tetapi tahanlah hasad tersebut di dalam dadamu, sesungguhnya hasad tersebut tidak akan memudharatkanmu salama kamu tidak menampakkannya dengan tanganmu atau lisanmu”. (Kitab As-Suluk karya Ibnu Taimiyah).
Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadits ‘Penyakit ‘ain (kena mata) adalah benar’, “Hal ini kadang membingungkan sebagian manusia, mereka berkata, ‘Bagaimana ‘ain bekerja dari jauh sehingga bisa memudharatkan orang yang dilihat’. Banyak orang yang menderita sakit dan kekuatan tubuhnya melemah hanya karena sebab di pandang, semua ini karena apa yang Allah ciptakan di dalam ruh (ruh setan) dari pengaruh dan karena sangat besarnya keterkaitannya dengan mata maka dinasabkan kepada mata. Sebenarnya yang mempengaruhi bukan mata akan tetapi pengaruhnya dari ruh sedangkan yang keluar dari mata orang yang melihat adalah anak panah secara maknawi, apabila mengenai badan orang yang tidak ada tamengnya akan mempengaruhinya, jika ada tamengnya anak panah tersebut tidak bisa menembus bahkan di kembalikan kepada pemiliknya sebagaimana anak panah sebenarnya. (Fathul Bari 10/212).
Jadi yang keluar dari ‘ain adalah sifat yaitu racun lisan (perkataan) dengan dalil bahwa seorang buta bisa menimpakan penyakit ‘ain kepada orang lain. Kemudian setan yang menanti-nanti pensifatan yang tidak disertakan nama Allah padanya mengambilnya dan memberikan pengaruh pada badan orang yang dihasadi (dengan izin Allah) jika dia tidak memiliki perlindungan diri.
Maka hendaknya diketahui bahwa setiap orang meskipun bisa memudharatkan orang lain dengan izin Allah dengan mensifati orang lain dengan suatu sifat tanpa menyebut nama Allah, akan tetapi perbuatan ini haram karena termasuk racun perkataan yang dilarang. Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya ‘ain bisa terjadi kerena kagum dan tanpa ada hasad dan bisa berasal dari orang yang mencintai orang lain tersebut atau bisa berasal dari orang soleh. Orang yang kagum kepada sesuatu hendaknya mendoakan orang yang dia kagumi dengan barakah sehingga ini menjadi ruqyah”. (Fathul Bari (10/215).
Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif berkata, “Bapakku Sahl bin Hanif mandi di Kharrar (lembah di Madinah) dengan melepaskan jubahnya sedangkan ‘Amir bin Rabi’ah melihatnya. Sahl bin Hanif seorang yang sangat putih dan bersih kulitnya, maka ‘Amir berkata, ‘Aku belum pernah melihat seperti hari ini, aku belum pernah melihat kulit seperti kulit gadis pingitan’. Maka Sahl bin Hanif sakit panas di tempatnya dan semakin keras sakitnya. Maka Rasulullah diberitahu akan sakitnya Sahl. Dikatakan kepada Rasulullah bahwa Sahl tidak bisa mengangkat kepalanya. Rasulullah berkata, Apakah kalian menuduh seseorang?. Mereka menjawab, “’Amir bin Rabi’ah”. Maka Rasulullah memanggil ‘Amir bin Rabi’ah dan memarahinya, Kenapa salah seorang di antara kalian membunuh saudaranya?. Kenapa kamu tidak mendoakannya dengan barakah?. Mandilah untuknya!. Maka ‘Amir membasuh wajahnya, kedua tangannya, kedua sikunya, kedua lututnya, ujung kedua kakinya, sarungnya bagian dalam pada sebuah bejana kemudian diguyurkan kepada Sahl dari belakang tubuhnya maka sembuhnya Sahl seketika itu juga”. (Shahih Al-Jami’: 3908).
Faedah hadits:
1- Ketika ‘Amir mensifati Sahl dengan tanpa menyebut nama Allah, maka setan mengambil peran untuk menyakiti Sahl dengan pensifatan ini.
2- Berdzikir dengan menyebut nama Allah atu mendoakan barakah bisa menghalangi gangguan jin pada orang yang dilihat.
3- Rasulullah memerintahkan ‘Amir untuk mandi. Ibnu Al-Qoyyim berkata, “Sesungguhnya lipatan-lipatan tubuh dan ujung-ujung tubuh dan sarung bagian dalam, ini adalah tempat-tempat istimewa bagi ruh-ruh setan”. (Zad Al-Ma’ad: 4/163). Tujuannya karena setiap orang memiliki bebauan dan keringat yang berbeda dengan orang lain, ini bisa diketahui oleh anjing dan setan yang berangkat dari orang yang menimpakan ‘ain juga mengetahui ini. Maka ketika diambil keringatnya atau air ludahnya kemudian digunakan untuk memandikan atau diminumkan kepada orang yang kena ‘ain apabila gangguannya pada perutnya, maka setan tersebut akan menjauhi orang yang kena ‘ain ini karena setan tersebut terikat dengan sifat kekaguman orang yang menimpakan ‘ain. Maka seolah-olah orang yang menimpakan ‘ain tersebut telah mengalahkan setan dengan masuknya keringatnya ke dalam badan orang yang terkena ‘ain sehingga ketika itu juga setan tersebut terlepas keluar dari tubuh orang yang kena ‘ain.
4- Dalam hadits disebutkan air bekas basuhan ‘Amir diguyurkan kepada Sahl dari belakang tubuhnya, maksudnya adalah diguyurkan di tempat penglihatan orang yang menimpakan ‘ain. Karena setan yang menyakiti Sahl karena sifat (ucapan) sangat putihnya kulit Sahl maka ini umum untuk seluruh tubuhnya sehingga air tersebut diguyurkan dari atas kepalanya agar mengenai seluruh tubuhnya yang terkena ‘ain. Seandainya orang yang terkena ‘ain karena disifati banyak makan sehingga perutnya sakit maka keringat atau air liur tersebut harus sampai ke dalam perutnya karena di dalam perutlah tempat terkena ‘ain.
5- Dalam riwayat lain Rasulullah memukul dada Sahl dan berkata, Ya Allah hilangkan darinya panas, dingin dan kecapekan (pengaruh) ‘ain”. Ini dalil yang jelas bahwa ‘ain diikuti oleh setan dan mengganggu anggota tubuh orang yang kena ‘ain sehingga menimpa pada orang yang kena ‘ain dari sempit di dada –karena ditekan setan-. Di antara tanda gangguan setan sebagaimana dalam hadits: punggung panas, ujung-ujung tubuh dingin, tubuh lemah disertai dengan rasa sempit di dada yang tergambarkan pada sering mengeluh, pesimis dan mudah emosi.
6- Apabila orang yang terkena ‘ain tidak menuduh seseorang (tidak bisa menduga) yang menimpakan kepadanya ‘ain maka disyariatkan untuk dibacakan ruqyah.
Cara menjaga diri dari penyakit ‘ain:
1- Seorang muslim menjaga Allah dengan menjalankan perintah-Nya seperti menjalankan shalat lima waktu berjamaah, berbakti kepada kedua orang tua, shalat sunah, puasa sunah, membaca Al-Qur’an dan lain-lainnya. Menjauhkan diri dari larangan Allah, seperti tidak melihat sesuatu yang haram, meninggalkan musik dan lain-lainnya. Rasulullah bersabda, “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu”.
2- Memperbanyak dzikir yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan berdzikir di setiap waktu seperti dzikir setelah shalat lima waktu, dzikir pagi dan petang, dzikir akan tidur, dzikir bangun tidur dan lain-lainnya.
Amalan untuk menganggat musibah (sakit ‘ain) dengan ijin Allah:
1- Yakin dan berbaik sangka kepada Allah ketika diruqyah dan jangan hanya sekedar coba-coba berobat dengan Al-Qur’an akan tetapi harus yakin bahwa di dalam Al-Qur’an ada obat. Allah berfirman: Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. Al-Isra’: 82).
2- Mengagungkan Allah, kembali dan taubat kepada-Nya serta berdoa kepada-Nya. Dialah satu-satunya Pemberi kesembuhan. Jika engkau meruqyah dirimu sendiri, ini lebih utama dari pada diruqyah orang lain.
3- Berbuat baik kepada orang lain dan bersedekah. Rasulullah bersabda, Barangsiapa menghilangkan musibah yang menimpa seorang mukmin dari musibah dunia, Allah akan menghilangkan untuknya musibah dari musibah akhirat. Barangsiapa yang memberikan kemudahan kepada seorang yang kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya”. Diriwayatkan oleh Muslim. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda, Obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah. (Shahih Al-Jami’: 2358).
Hubungan antara ‘ain dengan sihir
Ketika Allah berfirman dalam surat Al-Falaq:
Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. (QS. Al-Falaq: 4-5). Allah menggabungkan antara sihir dan hasad. Ini mengisyaratkan adanya hubungan antara keduanya yaitu bahwa seorang penyihir menghembuskan pada buhul dari rambut atau kuku yang digunakan untuk mengikat setan yang akan menyakiti orang yang disihir. Sedangkan seorang yang hasad mengikat setan dengan sifat kekaguman yang tidak disebutkan nama Allah padanya untuk menyakiti orang yang dikenai ‘ain. Keduanya bisa memudharatkan dan keduanya serupa dalam menimbulkan pengaruh sakit akan tetapi berbeda dalam sarananya.
* Allah berfirman: Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. (QS. Al-Falaq: 4-5). Kenapa wanita-wanita tukang sihir dima’rifatkan dan dinakirahkan apa yang sebelumnya dan setelahnya?. Karena setiap wanita penyihir memiliki kejahatan adapun setiap malam dan setiap pendengki tidak memiliki kejahatan.
* Orang-orang awam berkata, “Apabila orang yang menimpakan ‘ain mengetahui bahwa keringat atau air liurnya diambil maka bekas tubuhnya ini tidak akan bermanfaat. Ini salah karena menyelisihi hadits ‘Amir dengan Sahl karena Rasulullah berkata kepada ‘Amir “Mandilah untuk saudaramu”, dan ‘Amir mengetahuinya dan ini menyembuhkan ‘ain yang menimpa Sahl.
* Pandangan beracun yang disebutkan para ulama, mereka mengkiaskan dengan abtar dan dzat Ath-Thaffatain (nama-nama ular yang bisa menggugurkan kandungan dengan pandangan matanya). Sebagaimana ayam jago memiliki kekuatan mata untuk melihat malaikat dan anjing dan keledai mampu melihat setan. Adapun manusia, kekuatan racunnya yang bisa menyakiti orang lain tidak dari dirinya akan tetapi dari pensifatan yang tidak disertai penyebutan nama Allah sebagaimana dalam haditsPenyakit ‘ain (kena mata) adalah benar, disertai setan dan hasad anak Adam”, dan bukan dengan alat mata sebagaimana yang telah dijelaskan Ibnu Hajr. Rasulullah juga belindung dari jin dan pandangan manusia karena adanya keterkaitan antara keduanya.
* Sebagian ulama berkata tentang faedah daun bidara dan digunakan untuk mandi orang yang terkena sihir, ini tidak ada dasarnya dari Nabi namun dari perbuatan Wahb bin Munabbih karena daun bidara ini mengingatkan jin pada sidratul muntaha yang padanya ada surga tempat tinggal sehingga mereka takut. Jadi penggunaan daun bidara untuk mengobati sihir dan selainnya tujuannya untuk menyakiti jin.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai hari kiamat. Amin……
Sumber: Kaifa Tu’alij Maridhaka Birruqyah Asy-Sya’iyyah karya Dr. Abdullah bin Muhammad As- Sadhan oleh Oleh Rohmatullah Ngimaduddin, Lc.