oleh: Rohmatullah Ngimaduddin, lc.
Ghibah atau menggunjing orang lain adalah hal yang sering kita dengar di kalangan kaum muslimin. Apakah menggunjing teman, tetangga, sanak famili, handaitolan, atasan, bawahan dan seterusnya. Penyakit ini mewabah di semua lapisan masyarakat dari kalangan rakyat sampai pejabat, dari kalangan orang tidak bernasab sampai kaum ningrat, bahkan menjalar kepada para thullabul ilmi dari kalangan santri sampai para asatidzah dan para kiai. Kalau kiainya melakukan ghibah, bagaimana dengan para santrinya?!. Mungkin ada yang mengatakan, “Orang ga bisa meninggalkan menggunjing orang lain karena kebebasan berpendapat, kebebasan pers, punya media yang harus di isi dengan berita dan acara yang menarik konsumen dan bla…bla…”. Benarkah perkataan ini?. Tapi kenapa Islam melarangnya?. Apakah islam tidak sesuai dengan tabiat manusia?. Ataukah manusianya yang sudah jauh dari bimbingan wahyu?. Selayaknya –bi ‘aunillah- kita mengkaji nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang tema ini, tentu saja dengan pemahaman kaum salaf.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujarat: 12).
Allah telah memberikan peringatan dalam ayat ini agar kaum muslimin tidak menggunjing saudaranya, bahkan Allah menyerupakan seorang yang menggunjing saudaranya dengan seekor anjing. Karena anjing adalah satu-satunya binatang yang memakan bangkai sesama jenis. Singa tidak mau memakan bangkai sesama singa, rubah tidak mau memakan bangkai sesama rubah, tapi anjing mau memakan bangkai anjing sejenisnya. Ayat di atas menunjukkan akan haramnya menggunjing orang lain sebagaimana yang disampaikan para ulama bahwa ghibah hukumnya termasuk dosa besar sebagaimana perkataan Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, “Ayat ini adalah dalil akan larangn keras dari perbuatan ghibah dan ghibah termasuk dosa-dosa besar karena Allah menyerupakannya dengan memakan bangkai, dan perbuatan tersebut adalah dosa besar”. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman: 802).
Ikhwani fillah, ghibah termasuk sifat tercela namun banyak orang yang terjerumus dalam perbuatan ini. Ketika engkau katakan kepada mereka, “Bertakwalah kamu kepada Allah, kamu telah menggunjing saudaramu!”. Maka mereka menjawab dengan tegas, “Aku tidak mengatakan sesuatu, melainkan itu benar-benar ada pada dirinya”. Dia lupa bahwa itulah ghibah!.
Jadi, apa itu ghibah?. At-Tahanawi berkata, “Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak dia sukai kalau ucapanmu tersebut sampai kepadanya, sama saja apakah kamu menyebutkan kekurangan pada badannya atau pakaiannya atau akhlaknya atau perbuatannya atau ucapannya atau agamanya atau rumahnya atau kendaraannya”. Termasuk pula menyebutkan tentang keluarganya atau pekerjaannya atau penghasilannya atau makanan kesehariannya dan semua hal yang pantas digunjingkan sebagai bahan perolokan.
Beliau juga berkata, “Ghibah tidak terbatas pada ucapan, akan tetapi mencakup pula pada perbuatan seperti dengan gerakan, isyarat dan kinayah sebagaimana datang dari Aisyah bahwasanya dia berisyarat dengan tangannya tentang seorang wanita bahwasanya wanita tersebut bertubuh pendek, maka Rasulullah menegurnya dengan berkata, “Kamu telah mengghibahinya”. Dan membenarkan perbuatan ghibah (tanpa ada pengingkaran) termasuk ghibah”.
Sedangkan Imam Nawawi, beliau panjang lebar dalam menjelaskan definisi dan contoh-contoh ghibah, kemudian Syeikh Salim Al-Hilali melengkapinya dalam kitab Bahjah An-Nadhirin Syarh Riyadh As-Shalihin:
Adapun ghibah, yaitu kamu menyebut seseorang dengan apa yang ada padanya dari perkara yang dia benci, sama saja pada badannya atau agamanya atau dunianya atau jiwanya atau sifat fisiknya atau akhlaknya atau hartanya atau anaknya atau orang tuanya atau istri/suaminya atau pembantunya atau budaknya atau surbannya atau pakaiannya atau cara berjalannya atau gerakan anggata badannya atau raut wajahnya atau tidak punya rasa malunya atau kemusaman wajahnya atau keceriaan wajahnya atau selainnya yang berkaitan dengannya. Sama saja apakah kamu menyebutkannya dengan ucapanmu atau tulisanmu atau kodemu atau kamu mengisyaratkan tentangnya dengan matamu atau tanganmu atau kepalamu dan semisal itu.
Adapun pada badan, seperti ucapanmu. “Dia buta, pincang, rabun, botak, cebol, tinggi, berkulit hitam dan berkulit kuning”.
Adapun pada agama, seperti ucapanmu, “Dia fasik, pengkhianat, dzalim, meremehkan shalat, meremehkan najis, tidak berbakti kepada orang tuanya, tidak meletakkan zakat pada tempatnya, tidak menjauhkan diri dari ghibah”.
Adapun pada dunia seperti, “Tidak punya sopan santun, meremehkan manusia, tidak memandang kalau ada orang yang punya hak atasnya, banyak omongan, banyak makan atau tidur, tidur tidak pada waktunya, duduk tidak pada tempat duduknya”.
Adapun pada orang tuanya , seperti ucapanmu, “Bapaknya fasik, orang hindu, negro, tukang sol, penjual baju, pedagang ternak, tukang kayu, pandai besi, penenun kain”.
Adapun pada akhlaknya, seperti ucapanmu, “Dia jelek akhlaknya, sombong, periya’, suka terburu-buru, congkak, lemah, berhati lembek, suka grusa-grusu /ngawur, bermuka masam, orang yang tidak diurusi keluarganya dan semisalnya”.
Adapun pada pakaian, “Berlengan baju lebar, berekor baju panjang, berbaju kotor dan semisalnya”.
Selainnya bisa dikiaskan dengan apa yang telah kami sebutkan dan patokannya kamu menyebutkan saudaramu dengan apa yang dia benci, sama saja apakah kamu menyebutnya dengan ucapanmu atau tulisanmu atau kodemu atau kamu mengisyaratkan kepadanya dengan matamu atau tanganmu atau kepalamu.
Patokannya: Setiap hal yang kamu memahamkan kepada orang lain tentang kekurangan seorang muslim, maka itulah ghibah yang haram.
Termasuk pula memerankan gaya orang lain, seperti berjalan pincang, menundukkan kepala, atau selain itu dari gerakan badan dengan maksud memerankan gerakan badan orang yang ingin direndahkan dengan menirunya. Semua ini haram dengan tanpa ada perselisihan.
Termasuk ghibah, apabila ada penulis buku yang menyebutkan nama seseorang pada bukunya dengan berkata, “Fulan telah berkata begini”, dia menginginkan dengan penukilan ini untuk merendahkan dan menghinakannya. Maka ini haram.
Namun apabila dia ingin menjelaskan kesalahannya agar tidak diikuti atau menjelaskan kelemahannya dalam suatu bidang ilmu agar tidak ada yang tertipu dengannya maka diterima dalihnya ini. Dan ini bukan ghibah, akan tetapi nasehat yang hukumnya wajib yang mana dia mendapatkan pahala karenanya apabila dia (benar-benar bertujuan) memberikan nasehat.
Dekimian pula apabila seorang penulis buku atau selainnya berkata, “suatu kaum atau suatu kelompok berkata begini, ini salah atau keliru atau kebodohan atau kelalaian…” dan semisalnya, ini bukan ghibah. Karena ghibah adalah menyebutkan seseorang tertentu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah yang haram, ucapanmu, “Sebagian orang atau sebagian fuqaha’ berkata begini atau sebagian orang yang mengaku berilmu, atau sebagian mufti, atau sebagian orang yang menyandarkan diri kepada kesolehan atau mengaku bersikap zuhud, atau sebagian orang yang lewat pada hari ini, atau sebagian orang yang kita lihat atau semisalnya apabila orang yang diajak bicara paham siapa orang yang dibicarakan karena dengan itu diperoleh pemahaman (siapa yang dibicarakan)”.
Termasuk kategori ghibah, ghibahnya dua ahli fiqih atau dua ahli ibadah yang mana mereka berkata samar dalam menggunjing (yang lainnya) namun bisa dipahami sebagaimana kalau berkata blak-blakan. Ditanyakan kepada salah satu dari keduanya, “Bagaimana keadaan Fulan?”. Dia menjawab, “Semoga Allah memperbaiki (urusan) kami, semoga Allah mengampuni kami, semoga Allah menjadikannya orang soleh, kita memohon kepada Allah keselamatan, semoga Allah memaafkan kita kerena kurangnya rasa malu, semoga Allah menerima taubat kita…dan semisalnya dari perkataan yang merendahkan derajatnya. Semua ini ghibah yang haram.
Demikian juga apabila dia berkata, “Fulan telah diuji dengan ujian yang ditimpakan kepada kita semua” atau “dia tidak memiliki jalan keluar (dari ujian ini) kita semua melakukan seperti apa yang dia lakukan”.
Inilah contoh-contoh ghibah, jadi patokan ghibah: kamu memahamkan kepada orang yang kamu ajak bicara akan kekurangan seseorang. (Bahjah An-Nadhirin Syarh Riyadh As-Shalihin: 3/25-27).
Sungguh Kekasih kita telah berkata, “Tahukah kalian, apa itu ghibah?”. Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasulullah bersabda, “Kamu menyebutkan saudaramu dengan apa yang tidak dia sukai”. Ada yang berkata, “Bagaimana pendapatmu –Wahai Rasulullah- apabila pada saudaraku tersebut benar ada yang saya katakan?”. Rasulullah menjawab, “Apabila pada saudaramu ada apa yang kamu sampaikan, berarti kamu telah mengghibahinya. Namun apabila apa yang kamu sampaikan tidak ada padanya berarti kamu telah berkata dusta atasnya”. (HR. Muslim).
Wahai hamba Allah, para ulama telah menyampaikan bahwa ghibah termasuk dosa besar, Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Dalil-dalil yang shahih lagi banyak telah menunjukkan bahwa ghibah termasuk dosa besar, akan tetapi berbeda-beda besar dan kecilnya berdasarkan perbedaan mafsadatnya. Dan orang yang diberi jawami’ul kalim –yaitu Rasulullah- telah mensejajarkannya dengan merampas harta dan membunuh jiwa, ketika beliau bersabda, “Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”. Merampas harta dan membunuh jiwa termasuk dosa besar dengan ijma’ muslimin, maka demikian juga dengan mencabik-cabik kehormatan orang”.
Rasulullah bersabda, “Termasuk riba yang paling besar merusak kehormatan seorang muslim dengan tanpa kebenaran”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, lihat As-Silsilah Ash-Shahihah: 1433.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memakan makanan (karena sebab menggunjing) seorang muslim, sesungguhnya Allah akan memberikannya makanan semisal itu di neraka. Barangsiapa mendapatkan pakaian (karena sebab menggunjing) seorang muslim, sesungguhnya Allah akan memberikan pakaian semisal itu di neraka. Barangsiapa mendapatkan kedudukan dengan sum’ah dan riya’ (karena sebab menggunjing) seseorang, sesungguhnya Allah akan mendudukkannya dengan kedudukan sum’ah dan riya’ pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, lihat Ash-Shahihah: 934.
Rasulullah telah mencela majlis-majlis para penggunjing dengan berkata, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, jangan pula mengikuti/mencari-cari aib-aib mereka. Sesungguhnya orang yang mengikuti aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mengikuti aibnya, barangsiapa yang Allah mengikuti aibnya, Allah akan membeberkannya meskipun di dalam rumahnya”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, kemudian di shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’).
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah telah bersabda, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melintasi suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku berkata, “Siapa mereka wahai Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka itu kaum yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, dan Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Al-Jami’). Di antara faedah yang dipetik dari hadits ini sebagaimana yang di sampaikan Syeikh Salim Al-Hilali yaitu haramnya menggunjingkan kekayaan atau jabatan manusia dan nasab mereka.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ada seseorang yang bangkit meninggalkan Rasulullah, para sahabat melihat pada orang tersebut lemah ketika berdiri, kemudian mereka berkata setelahnya, “Wahai Rasulullah, alangkah lemahnya Fulan”. Maka Rasulullah berkata, “Kalian telah memakan daging saudaramu, kalian telah menggunjingnya!”. Hadits ini sanadnya lemah namun memiliki syawahid yang menguatkannya.
Dalam sebuah hadits dari Aisyah berkata, Aku berkata kepada Nabi, “Cukuplah bagimu tentang Shafiah begini dan begini”. Sebagian perawi berkata, “Yaitu pendek”. Maka Rasulullah berkata, “Kamu telah berkata dengan suatu perkataan, apabila perkataan tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya akan bisa merubah air laut tersebut”. Aisyah juga berkata, “Aku menceritakan seseorang kepada Nabi, maka Nabi berkata, “Aku tidak suka untuk menceritakan seseorang dan saya mendapatkan ini dan ini”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”).
Imam Nawawi berkata, “Makna perkataan ghibah merubah air laut yaitu perkataan tersebut bercampur dengan air laut yang menyebabkan berubahnya rasa dan bau air laut tersebut karena sangat busuk dan kotornya perkataan tersebut. Dan ini termasuk larangan yang paling keras dari perbuatan ghibah. Dan Allah telah berfirman, “Dan tidaklah Muhammad itu berkata dengan hawa nafsunya, perkataannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (QS. An-Najm: 4).
Kemudian di sana ada sebuah hadits yang bisa menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang mau menerima kebenaran dari Rasulullah. Sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, Kami bersama Nabi pada waktu safar, kemudian berhembuslah angin yang berbau busuk. Maka Rasulullah berkata, “Tahukah kalian bau apa ini?. Sesungguhnya sekelompok kaum munafik menggunjing sekelompok orang dari kaum muslimin, oleh karena itu berhembuslah bau busuk ini”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Ada yang bertanya kepada ahli ilmu, “Apa hikmah tentang bau dan busuknya ghibah bisa tercium di jaman Nabi akan tetapi tidak tercium di jaman kita?”.
Maka dijawablah pertanyaan ini, “Sesungguhnya ghibah telah begitu banyak di jaman kita sehingga hidung-hidung manusia penuh dengan bau ghibah akan tetapi tidak tercium baunya, padahal baunya sangat busuk. Permisalannya seperti seseorang yang masuk ke rumah tukang samak, maka orang tersebut tidak betah bertahan di dalamnya karena baunya sangat menyengat. Namun para tukang samak tersebut bisa makan dan minum di dalam rumah tersebut dan tidak terpengaruh dengan bebauannya yang menyengat, karena hidung-hidung mereka telah terbiasa, demikianlah ghibah di jaman kita”. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 122).
Itulah beberapa hadits dan penjelasannya dari para ulama tentang ghibah. Kemudian di sini pantas juga kita sebutkan atsar dari kaum salaf tentang sikap mereka terhadap ghibah. Disebutkan bahwa seorang wanita tabi’iyah melihat seorang wanita keluar dari rumah Aisyah sedangkan ekor pakaian wanita tersebut masih di dalam rumah. Maka ada wanita lain yang berkata di hadapan Aisyah, “Alangkah panjangnya ekor pakaian orang ini”. Serta merta Aisyah menegurnya, “Kamu telah mengghibahinya, bangun dan minta maaflah kepadanya”. (lihat Al-Masawi’ karya Al-Kharaithi: 198).
Diriwayatkan bahwa Amr bin Al-‘Ash melintasi bangkai bighal yang telah melepuh, kemudian dia berhenti di dekatnya dan berkata, “Demi Allah, seandainya salah seorang dari kalian ada yang memakan bangkai ini sampai kenyang, lebih baik baginya dari pada dia menggunjing saudaranya”. (Masawi’ Al-Akhlaq karya Al-Kharaithi).
Abu Hurarairah pernah berkata, “Barangsiapa yang memakan daging saudaranya di dunia, akan dihidangkan kepadanya daging saudaranya tersebut di akhirat. Kemudian dikatakan kepadanya, “Makanlah daging bangkai saudaramu ini sebagaimana kamu telah memakannya ketika dia masih hidup”. Maka dia memakan bangkai tersebut sehingga dia mengerang, berteriak (karena tersiksa) dan bermuka masam. (Ash-Shamtu karya Ibnu Abi Dunya).
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Janganlah kalian melakukan ghibah, janganlah kalian mengoyak kehormatan manusia sehingga hancurlah agamamu!”. (At-Taubikh Wa At-Tanbih karya Abu Asy-Syaikh).
Dikatakan, “Apabila tampak ghibah maka akan terangkat persaudaraan karena Allah. Sesungguhnya permisalan kalian di jaman itu seperti suatu benda yang dilapisi dengan emas atau perak, dalamnya berupa kayu tapi luarnya bagus”. (Al-Hilyah karya Abu Na’im: 8/96).
Ali bin Husain mendengar orang yang mengunjing orang lain, maka dia berkata, “Janganlah kamu melakukan ghibah, sesungguhnya ghibah adalah lauk pauk anjing-anjing dari kalangan manusia!”.
Ka’b Al-Akhbar berkata, “Aku membaca buku orang-orang terdahulu, Sesungguhnya orang yang mati dan telah bertaubat dari ghibah, dia orang yang terakhir masuk surga. Dan orang yang mati yang senantiasa berbuat ghibah, dia orang yang pertama-tama masuk neraka”. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 124). Ini menunjukkan bahwa ghibah dihukumi haram pada syariat umat terdahulu. Demikian juga diriwayatkan bahwa Isa ‘Alaihissalam bersama hawariyyin melintasi bangkai seekor anjing. Maka para hawariyyin berkata, “Alangkah busuknya bau anjing ini”. Maka Isa berkata, “Alangkah putihnya gigi-gigi anjing ini”. Untuk menasehati dan melarang mereka dari ghibah.
Diriwayatkan dari Hasan Basri bahwa dia disampaikan kepadanya tentang orang yang telah mengghibahinya, maka beliau menghadiahkan kepada orang tersebut satu nampan dari kurma segar dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa anda telah menghadiahkan kepadaku pahala kebaikanmu, dan aku ingin membalasmu dengan kurma segar ini. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 123). Maka jika engkau tidak mampu untuk memberikan manfaat kepada manusia sebaiknya engkau menahan diri dari memberikan mudharat kepada mereka. Jika kamu tidak mampu berpuasa maka janganlah kamu memakan daging saudaramu……!.
Saudara-saudaraku, sesungguhnya ghibah kemudharatannya sangat besar yang menyebabkan kerugian dunia dan akhirat, di antara kemudharatannya:
1- Ghibah merupakan musibah bagi pelakunya, karena tidak diragukan bahwa termasuk bencana apabila seseorang berakhlak dengan akhlak tercela ini. Umar bin Khaththab berkata, “Janganlah kalian menyibukkan diri dengan menyebut manusia, itu adalah bencana. Akan tetapi wajib bagi kalian untuk mengingat Allah, sesungguhnya mengingat Allah adalah rahmah”.
2- Ghibah merusak agama. Hasan Basri berkata, “Demi Allah, ghibah lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada keragu-raguan”.
3- Ghibah menafikan keimanan sebagaimana hadits yang disampaikan Rasulullah, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, jangan pula mengikuti/mencari-cari aib-aib mereka. Sesungguhnya orang yang mengikuti aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mengikuti aibnya, barangsiapa yang Allah mengikuti aibtnya, Allah akan membeberkannya meskipun di dalam rumahnya”.
4- Ghibah menjadi sebab adzab kubur. Qatadah berkata, “Disebutkan kepada kami bahwa adzab kubur ada tiga macam: sepertiga pada ghibah, sepertiga pada air kencing (yang tidak disucikan ketika mengenai badan atau pakaian) dan sepertiga pada namimah”.
5- Ghibah menjadi sebab adzab pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah di atas, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melintasi suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku berkata, “Siapa mereka wahai Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka itu kaum yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka”.
6- Ghibah menjadi sebab hilangnya pahala kebaikan pada hari kiamat. Karena orang-orang yang telah kamu ghibahi, mereka adalah orang-orang yang kamu dzalimi. Mereka akan mendatangimu dan mengambil pahala kebaikanmu sebagai qishash atas kedzalimanmu terhadap mereka di dunia.
Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya membenarkan ghibah termasuk ghibah. Sufyan bin Husain berkata, “Aku duduk di samping Iyas bin Mu’awiyah kemudian melintaslah seseorang kemudian aku menyebut-nyebut tentang orang tersebut sehingga Iyas berkata, “Diamlah”. Kemudian Iyas berkata kepadaku, “Wahai Sufyan, apakah kamu pernah memerangi Romawi?”. Aku jawab, “Tidak”. Dia berkata, “Kamu pernah memerangi Mongol?”. Aku jawab, “Tidak”. Dia berkata, “Romawi selamat darimu dan Mongol selamat darimu akan tetapi saudaramu muslim tidak selamat darimu!”. Maka aku tidak pernah mengulangi perbuatanku setelah itu”.
Dan Maimun bin Siyah tidak pernah mengghibahi seorangpun dan dia tidak membiarkan seorangpun melakukan ghibah di sampingnya. Dia akan melarang orang yang melakukan ghibah, jika berhenti itulah tujuannya, jika tidak berhenti dia meninggalkannya.
Imam Nawawi menyebutkan dalam Riyadhus Shalihin bab: Haramnya mendengarkan ghibah, dan di antara dalil yang beliau sebutkan hadits Rasulullah, “Barangsiapa yang membela kehormatam saudaranya, Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Sedangkan dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya ketika dia tidak ada, benar bagi Allah untuk membebaskannya dari api neraka”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, lihat Shahih At-Targhib karya Al-Albani: 2847). Selayaknya bagi orang yang mendengar pergunjingan terhadap seorang muslim untuk menolak dan melarangnya karena perbuatannya ini bisa menghalanginya terjerumus ke dalam keharaman dan barangsiapa yang membela kehormatan seorang muslim, ini merupakan jalan keselamatan dari adzab di akhirat.
Setelah apa yang kita uraikan ini, Anda mau coba-coba?!. Atau anda mau memberikan hiburan (tayangan) dengan menggunjing saudaramu?!. Wal ‘iyadzu billah. Wallahu yahdi man yasya’u ila shirath mustaqim. Wa shallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumiddin……
Maraji’: Riyadhus Shalihin, Bahjah An-Nadhirin, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, Al-Ghibah wa An-Namimah, Mawaqif Imaniyah Linnisa’.
Beliau juga berkata, “Ghibah tidak terbatas pada ucapan, akan tetapi mencakup pula pada perbuatan seperti dengan gerakan, isyarat dan kinayah sebagaimana datang dari Aisyah bahwasanya dia berisyarat dengan tangannya tentang seorang wanita bahwasanya wanita tersebut bertubuh pendek, maka Rasulullah menegurnya dengan berkata, “Kamu telah mengghibahinya”. Dan membenarkan perbuatan ghibah (tanpa ada pengingkaran) termasuk ghibah”.
Sedangkan Imam Nawawi, beliau panjang lebar dalam menjelaskan definisi dan contoh-contoh ghibah, kemudian Syeikh Salim Al-Hilali melengkapinya dalam kitab Bahjah An-Nadhirin Syarh Riyadh As-Shalihin:
Adapun ghibah, yaitu kamu menyebut seseorang dengan apa yang ada padanya dari perkara yang dia benci, sama saja pada badannya atau agamanya atau dunianya atau jiwanya atau sifat fisiknya atau akhlaknya atau hartanya atau anaknya atau orang tuanya atau istri/suaminya atau pembantunya atau budaknya atau surbannya atau pakaiannya atau cara berjalannya atau gerakan anggata badannya atau raut wajahnya atau tidak punya rasa malunya atau kemusaman wajahnya atau keceriaan wajahnya atau selainnya yang berkaitan dengannya. Sama saja apakah kamu menyebutkannya dengan ucapanmu atau tulisanmu atau kodemu atau kamu mengisyaratkan tentangnya dengan matamu atau tanganmu atau kepalamu dan semisal itu.
Adapun pada badan, seperti ucapanmu. “Dia buta, pincang, rabun, botak, cebol, tinggi, berkulit hitam dan berkulit kuning”.
Adapun pada agama, seperti ucapanmu, “Dia fasik, pengkhianat, dzalim, meremehkan shalat, meremehkan najis, tidak berbakti kepada orang tuanya, tidak meletakkan zakat pada tempatnya, tidak menjauhkan diri dari ghibah”.
Adapun pada dunia seperti, “Tidak punya sopan santun, meremehkan manusia, tidak memandang kalau ada orang yang punya hak atasnya, banyak omongan, banyak makan atau tidur, tidur tidak pada waktunya, duduk tidak pada tempat duduknya”.
Adapun pada orang tuanya , seperti ucapanmu, “Bapaknya fasik, orang hindu, negro, tukang sol, penjual baju, pedagang ternak, tukang kayu, pandai besi, penenun kain”.
Adapun pada akhlaknya, seperti ucapanmu, “Dia jelek akhlaknya, sombong, periya’, suka terburu-buru, congkak, lemah, berhati lembek, suka grusa-grusu /ngawur, bermuka masam, orang yang tidak diurusi keluarganya dan semisalnya”.
Adapun pada pakaian, “Berlengan baju lebar, berekor baju panjang, berbaju kotor dan semisalnya”.
Selainnya bisa dikiaskan dengan apa yang telah kami sebutkan dan patokannya kamu menyebutkan saudaramu dengan apa yang dia benci, sama saja apakah kamu menyebutnya dengan ucapanmu atau tulisanmu atau kodemu atau kamu mengisyaratkan kepadanya dengan matamu atau tanganmu atau kepalamu.
Patokannya: Setiap hal yang kamu memahamkan kepada orang lain tentang kekurangan seorang muslim, maka itulah ghibah yang haram.
Termasuk pula memerankan gaya orang lain, seperti berjalan pincang, menundukkan kepala, atau selain itu dari gerakan badan dengan maksud memerankan gerakan badan orang yang ingin direndahkan dengan menirunya. Semua ini haram dengan tanpa ada perselisihan.
Termasuk ghibah, apabila ada penulis buku yang menyebutkan nama seseorang pada bukunya dengan berkata, “Fulan telah berkata begini”, dia menginginkan dengan penukilan ini untuk merendahkan dan menghinakannya. Maka ini haram.
Namun apabila dia ingin menjelaskan kesalahannya agar tidak diikuti atau menjelaskan kelemahannya dalam suatu bidang ilmu agar tidak ada yang tertipu dengannya maka diterima dalihnya ini. Dan ini bukan ghibah, akan tetapi nasehat yang hukumnya wajib yang mana dia mendapatkan pahala karenanya apabila dia (benar-benar bertujuan) memberikan nasehat.
Dekimian pula apabila seorang penulis buku atau selainnya berkata, “suatu kaum atau suatu kelompok berkata begini, ini salah atau keliru atau kebodohan atau kelalaian…” dan semisalnya, ini bukan ghibah. Karena ghibah adalah menyebutkan seseorang tertentu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah yang haram, ucapanmu, “Sebagian orang atau sebagian fuqaha’ berkata begini atau sebagian orang yang mengaku berilmu, atau sebagian mufti, atau sebagian orang yang menyandarkan diri kepada kesolehan atau mengaku bersikap zuhud, atau sebagian orang yang lewat pada hari ini, atau sebagian orang yang kita lihat atau semisalnya apabila orang yang diajak bicara paham siapa orang yang dibicarakan karena dengan itu diperoleh pemahaman (siapa yang dibicarakan)”.
Termasuk kategori ghibah, ghibahnya dua ahli fiqih atau dua ahli ibadah yang mana mereka berkata samar dalam menggunjing (yang lainnya) namun bisa dipahami sebagaimana kalau berkata blak-blakan. Ditanyakan kepada salah satu dari keduanya, “Bagaimana keadaan Fulan?”. Dia menjawab, “Semoga Allah memperbaiki (urusan) kami, semoga Allah mengampuni kami, semoga Allah menjadikannya orang soleh, kita memohon kepada Allah keselamatan, semoga Allah memaafkan kita kerena kurangnya rasa malu, semoga Allah menerima taubat kita…dan semisalnya dari perkataan yang merendahkan derajatnya. Semua ini ghibah yang haram.
Demikian juga apabila dia berkata, “Fulan telah diuji dengan ujian yang ditimpakan kepada kita semua” atau “dia tidak memiliki jalan keluar (dari ujian ini) kita semua melakukan seperti apa yang dia lakukan”.
Inilah contoh-contoh ghibah, jadi patokan ghibah: kamu memahamkan kepada orang yang kamu ajak bicara akan kekurangan seseorang. (Bahjah An-Nadhirin Syarh Riyadh As-Shalihin: 3/25-27).
Sungguh Kekasih kita telah berkata, “Tahukah kalian, apa itu ghibah?”. Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasulullah bersabda, “Kamu menyebutkan saudaramu dengan apa yang tidak dia sukai”. Ada yang berkata, “Bagaimana pendapatmu –Wahai Rasulullah- apabila pada saudaraku tersebut benar ada yang saya katakan?”. Rasulullah menjawab, “Apabila pada saudaramu ada apa yang kamu sampaikan, berarti kamu telah mengghibahinya. Namun apabila apa yang kamu sampaikan tidak ada padanya berarti kamu telah berkata dusta atasnya”. (HR. Muslim).
Wahai hamba Allah, para ulama telah menyampaikan bahwa ghibah termasuk dosa besar, Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Dalil-dalil yang shahih lagi banyak telah menunjukkan bahwa ghibah termasuk dosa besar, akan tetapi berbeda-beda besar dan kecilnya berdasarkan perbedaan mafsadatnya. Dan orang yang diberi jawami’ul kalim –yaitu Rasulullah- telah mensejajarkannya dengan merampas harta dan membunuh jiwa, ketika beliau bersabda, “Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”. Merampas harta dan membunuh jiwa termasuk dosa besar dengan ijma’ muslimin, maka demikian juga dengan mencabik-cabik kehormatan orang”.
Rasulullah bersabda, “Termasuk riba yang paling besar merusak kehormatan seorang muslim dengan tanpa kebenaran”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, lihat As-Silsilah Ash-Shahihah: 1433.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memakan makanan (karena sebab menggunjing) seorang muslim, sesungguhnya Allah akan memberikannya makanan semisal itu di neraka. Barangsiapa mendapatkan pakaian (karena sebab menggunjing) seorang muslim, sesungguhnya Allah akan memberikan pakaian semisal itu di neraka. Barangsiapa mendapatkan kedudukan dengan sum’ah dan riya’ (karena sebab menggunjing) seseorang, sesungguhnya Allah akan mendudukkannya dengan kedudukan sum’ah dan riya’ pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, lihat Ash-Shahihah: 934.
Rasulullah telah mencela majlis-majlis para penggunjing dengan berkata, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, jangan pula mengikuti/mencari-cari aib-aib mereka. Sesungguhnya orang yang mengikuti aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mengikuti aibnya, barangsiapa yang Allah mengikuti aibnya, Allah akan membeberkannya meskipun di dalam rumahnya”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, kemudian di shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’).
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah telah bersabda, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melintasi suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku berkata, “Siapa mereka wahai Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka itu kaum yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, dan Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Al-Jami’). Di antara faedah yang dipetik dari hadits ini sebagaimana yang di sampaikan Syeikh Salim Al-Hilali yaitu haramnya menggunjingkan kekayaan atau jabatan manusia dan nasab mereka.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ada seseorang yang bangkit meninggalkan Rasulullah, para sahabat melihat pada orang tersebut lemah ketika berdiri, kemudian mereka berkata setelahnya, “Wahai Rasulullah, alangkah lemahnya Fulan”. Maka Rasulullah berkata, “Kalian telah memakan daging saudaramu, kalian telah menggunjingnya!”. Hadits ini sanadnya lemah namun memiliki syawahid yang menguatkannya.
Dalam sebuah hadits dari Aisyah berkata, Aku berkata kepada Nabi, “Cukuplah bagimu tentang Shafiah begini dan begini”. Sebagian perawi berkata, “Yaitu pendek”. Maka Rasulullah berkata, “Kamu telah berkata dengan suatu perkataan, apabila perkataan tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya akan bisa merubah air laut tersebut”. Aisyah juga berkata, “Aku menceritakan seseorang kepada Nabi, maka Nabi berkata, “Aku tidak suka untuk menceritakan seseorang dan saya mendapatkan ini dan ini”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”).
Imam Nawawi berkata, “Makna perkataan ghibah merubah air laut yaitu perkataan tersebut bercampur dengan air laut yang menyebabkan berubahnya rasa dan bau air laut tersebut karena sangat busuk dan kotornya perkataan tersebut. Dan ini termasuk larangan yang paling keras dari perbuatan ghibah. Dan Allah telah berfirman, “Dan tidaklah Muhammad itu berkata dengan hawa nafsunya, perkataannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (QS. An-Najm: 4).
Kemudian di sana ada sebuah hadits yang bisa menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang mau menerima kebenaran dari Rasulullah. Sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, Kami bersama Nabi pada waktu safar, kemudian berhembuslah angin yang berbau busuk. Maka Rasulullah berkata, “Tahukah kalian bau apa ini?. Sesungguhnya sekelompok kaum munafik menggunjing sekelompok orang dari kaum muslimin, oleh karena itu berhembuslah bau busuk ini”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Ada yang bertanya kepada ahli ilmu, “Apa hikmah tentang bau dan busuknya ghibah bisa tercium di jaman Nabi akan tetapi tidak tercium di jaman kita?”.
Maka dijawablah pertanyaan ini, “Sesungguhnya ghibah telah begitu banyak di jaman kita sehingga hidung-hidung manusia penuh dengan bau ghibah akan tetapi tidak tercium baunya, padahal baunya sangat busuk. Permisalannya seperti seseorang yang masuk ke rumah tukang samak, maka orang tersebut tidak betah bertahan di dalamnya karena baunya sangat menyengat. Namun para tukang samak tersebut bisa makan dan minum di dalam rumah tersebut dan tidak terpengaruh dengan bebauannya yang menyengat, karena hidung-hidung mereka telah terbiasa, demikianlah ghibah di jaman kita”. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 122).
Itulah beberapa hadits dan penjelasannya dari para ulama tentang ghibah. Kemudian di sini pantas juga kita sebutkan atsar dari kaum salaf tentang sikap mereka terhadap ghibah. Disebutkan bahwa seorang wanita tabi’iyah melihat seorang wanita keluar dari rumah Aisyah sedangkan ekor pakaian wanita tersebut masih di dalam rumah. Maka ada wanita lain yang berkata di hadapan Aisyah, “Alangkah panjangnya ekor pakaian orang ini”. Serta merta Aisyah menegurnya, “Kamu telah mengghibahinya, bangun dan minta maaflah kepadanya”. (lihat Al-Masawi’ karya Al-Kharaithi: 198).
Diriwayatkan bahwa Amr bin Al-‘Ash melintasi bangkai bighal yang telah melepuh, kemudian dia berhenti di dekatnya dan berkata, “Demi Allah, seandainya salah seorang dari kalian ada yang memakan bangkai ini sampai kenyang, lebih baik baginya dari pada dia menggunjing saudaranya”. (Masawi’ Al-Akhlaq karya Al-Kharaithi).
Abu Hurarairah pernah berkata, “Barangsiapa yang memakan daging saudaranya di dunia, akan dihidangkan kepadanya daging saudaranya tersebut di akhirat. Kemudian dikatakan kepadanya, “Makanlah daging bangkai saudaramu ini sebagaimana kamu telah memakannya ketika dia masih hidup”. Maka dia memakan bangkai tersebut sehingga dia mengerang, berteriak (karena tersiksa) dan bermuka masam. (Ash-Shamtu karya Ibnu Abi Dunya).
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Janganlah kalian melakukan ghibah, janganlah kalian mengoyak kehormatan manusia sehingga hancurlah agamamu!”. (At-Taubikh Wa At-Tanbih karya Abu Asy-Syaikh).
Dikatakan, “Apabila tampak ghibah maka akan terangkat persaudaraan karena Allah. Sesungguhnya permisalan kalian di jaman itu seperti suatu benda yang dilapisi dengan emas atau perak, dalamnya berupa kayu tapi luarnya bagus”. (Al-Hilyah karya Abu Na’im: 8/96).
Ali bin Husain mendengar orang yang mengunjing orang lain, maka dia berkata, “Janganlah kamu melakukan ghibah, sesungguhnya ghibah adalah lauk pauk anjing-anjing dari kalangan manusia!”.
Ka’b Al-Akhbar berkata, “Aku membaca buku orang-orang terdahulu, Sesungguhnya orang yang mati dan telah bertaubat dari ghibah, dia orang yang terakhir masuk surga. Dan orang yang mati yang senantiasa berbuat ghibah, dia orang yang pertama-tama masuk neraka”. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 124). Ini menunjukkan bahwa ghibah dihukumi haram pada syariat umat terdahulu. Demikian juga diriwayatkan bahwa Isa ‘Alaihissalam bersama hawariyyin melintasi bangkai seekor anjing. Maka para hawariyyin berkata, “Alangkah busuknya bau anjing ini”. Maka Isa berkata, “Alangkah putihnya gigi-gigi anjing ini”. Untuk menasehati dan melarang mereka dari ghibah.
Diriwayatkan dari Hasan Basri bahwa dia disampaikan kepadanya tentang orang yang telah mengghibahinya, maka beliau menghadiahkan kepada orang tersebut satu nampan dari kurma segar dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa anda telah menghadiahkan kepadaku pahala kebaikanmu, dan aku ingin membalasmu dengan kurma segar ini. (Tanbih Al-Ghafilin hal: 123). Maka jika engkau tidak mampu untuk memberikan manfaat kepada manusia sebaiknya engkau menahan diri dari memberikan mudharat kepada mereka. Jika kamu tidak mampu berpuasa maka janganlah kamu memakan daging saudaramu……!.
Saudara-saudaraku, sesungguhnya ghibah kemudharatannya sangat besar yang menyebabkan kerugian dunia dan akhirat, di antara kemudharatannya:
1- Ghibah merupakan musibah bagi pelakunya, karena tidak diragukan bahwa termasuk bencana apabila seseorang berakhlak dengan akhlak tercela ini. Umar bin Khaththab berkata, “Janganlah kalian menyibukkan diri dengan menyebut manusia, itu adalah bencana. Akan tetapi wajib bagi kalian untuk mengingat Allah, sesungguhnya mengingat Allah adalah rahmah”.
2- Ghibah merusak agama. Hasan Basri berkata, “Demi Allah, ghibah lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada keragu-raguan”.
3- Ghibah menafikan keimanan sebagaimana hadits yang disampaikan Rasulullah, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin, jangan pula mengikuti/mencari-cari aib-aib mereka. Sesungguhnya orang yang mengikuti aib saudaranya sesama muslim, Allah akan mengikuti aibnya, barangsiapa yang Allah mengikuti aibtnya, Allah akan membeberkannya meskipun di dalam rumahnya”.
4- Ghibah menjadi sebab adzab kubur. Qatadah berkata, “Disebutkan kepada kami bahwa adzab kubur ada tiga macam: sepertiga pada ghibah, sepertiga pada air kencing (yang tidak disucikan ketika mengenai badan atau pakaian) dan sepertiga pada namimah”.
5- Ghibah menjadi sebab adzab pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah di atas, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melintasi suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku berkata, “Siapa mereka wahai Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka itu kaum yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka”.
6- Ghibah menjadi sebab hilangnya pahala kebaikan pada hari kiamat. Karena orang-orang yang telah kamu ghibahi, mereka adalah orang-orang yang kamu dzalimi. Mereka akan mendatangimu dan mengambil pahala kebaikanmu sebagai qishash atas kedzalimanmu terhadap mereka di dunia.
Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya membenarkan ghibah termasuk ghibah. Sufyan bin Husain berkata, “Aku duduk di samping Iyas bin Mu’awiyah kemudian melintaslah seseorang kemudian aku menyebut-nyebut tentang orang tersebut sehingga Iyas berkata, “Diamlah”. Kemudian Iyas berkata kepadaku, “Wahai Sufyan, apakah kamu pernah memerangi Romawi?”. Aku jawab, “Tidak”. Dia berkata, “Kamu pernah memerangi Mongol?”. Aku jawab, “Tidak”. Dia berkata, “Romawi selamat darimu dan Mongol selamat darimu akan tetapi saudaramu muslim tidak selamat darimu!”. Maka aku tidak pernah mengulangi perbuatanku setelah itu”.
Dan Maimun bin Siyah tidak pernah mengghibahi seorangpun dan dia tidak membiarkan seorangpun melakukan ghibah di sampingnya. Dia akan melarang orang yang melakukan ghibah, jika berhenti itulah tujuannya, jika tidak berhenti dia meninggalkannya.
Imam Nawawi menyebutkan dalam Riyadhus Shalihin bab: Haramnya mendengarkan ghibah, dan di antara dalil yang beliau sebutkan hadits Rasulullah, “Barangsiapa yang membela kehormatam saudaranya, Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Sedangkan dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya ketika dia tidak ada, benar bagi Allah untuk membebaskannya dari api neraka”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, lihat Shahih At-Targhib karya Al-Albani: 2847). Selayaknya bagi orang yang mendengar pergunjingan terhadap seorang muslim untuk menolak dan melarangnya karena perbuatannya ini bisa menghalanginya terjerumus ke dalam keharaman dan barangsiapa yang membela kehormatan seorang muslim, ini merupakan jalan keselamatan dari adzab di akhirat.
Setelah apa yang kita uraikan ini, Anda mau coba-coba?!. Atau anda mau memberikan hiburan (tayangan) dengan menggunjing saudaramu?!. Wal ‘iyadzu billah. Wallahu yahdi man yasya’u ila shirath mustaqim. Wa shallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumiddin……
Maraji’: Riyadhus Shalihin, Bahjah An-Nadhirin, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, Al-Ghibah wa An-Namimah, Mawaqif Imaniyah Linnisa’.