Tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat kaum muslimin dan mengikutinya. Perbuatan ini terlarang menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mengikuti aib termasuk menyakiti pemiliknya yang mana dia telah menyembunyikannya dan tidak mujaharah (terang-terangan) dengan aib yang ada padanya. Dan Al-Qur’an dan As-Sunnah telah melarang untuk melihat dan mencari tahu aib tersebut dengan maksud untuk menutupinya sebisa mungkin.
Allah berfirman:
وَلاَتَجَسَّسُوا
“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang”. (QS. Al-Hujarat: 12). Mujahid berkata ketika menafsirkan ayat ini, "Ambillah apa yang tampak bagi kalian dan tinggalkan apa yang Allah tutupi". (Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an: 22/304).
Mencari-cari keburukan pada umumnya dimutlakkan kepada perbuatan jelek, seperti jasus (mata-mata). Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut: janganlah sebagian kalian mencari-cari aib sebagian lainnya atau mencuri dengar pembicaraan suatu kaum padahal kaum tersebut tidak suka dicuri dengar pembicaraan mereka, atau dengan mencuri dengar di balik pintu atau dinding dan semisalnya, dan janganlah kalian menyingkap apa yang mereka tutup-tutupi.
Imam adz-Dzahabi berkata setelah menyebutkan ayat tajassus dalam surat al-Hujarat, "Ibn al-Jauzi berkata, "Ahli tafsir berkata: "Tajassus adalah mencari aib dan aurat kaum muslimin. Maknanya: Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari aib saudaranya untuk mengetahuinya, apabila Allah telah menutupinya. Dan telah dikatakan kepada Ibnu Mas'ud, "Ini al-Walid bin Uqbah, jenggotnya meneteskan khamer". Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya kita dilarang mencari-cari kejelekan, apabila tampak sesuatu kita menghukumnya"". (al-Kabair hal: 159)
Ayat di atas berisi larangan umum untuk mencari-cari keburukan orang lain, mencakup berbagai macam jenis tajassus, apakah untuk sekedar mengetahui keadaan orang lain, atau untuk menyingkap aibnya atau memata-matai orang lain yang dilakukan oleh pihak-pihak berwenang, karena larangan ini mencakup semua orang baik penguasa maupun rakyat biasa. Baik tajassus tersebut dilakukan secara langsung yaitu seseorang berangkat mencari-cari keburukan orang lain dengan harapan mendapati kesalahan atau aib pada orang lain tersebut atau dengan peralatan elektronik seperti alat perekam, telepon dan semisalnya. Segala hal yang bisa menyingkap aib dan kesalahan seseorang, semua itu termasuk tajassus dan ini haram sebagaimana perkataan para ulama. Karena tajassus menyakiti orang yang dicari-cari kejelekannya, sehingga ini membawa kepada permusuhan.
Rasulullah bersabda:
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع اللذه عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته.
"Wahai seluruh orang yang beriman dengan lisannya dan keimanan tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan janganlah kalian mengikuti aurat mereka. Barangsiapa yang mengikuti auratnya, Allah akan mengikuti auratnya. Barangsiapa yang Allah mengikuti auratnya, Allah membeberkan aibnya meskipun di dalam rumahnya". (HR. Abu Dawud no.: 4880 dan Syeikh al-Albani berkata: Hasan Shahih).
Rasulullah juga bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ ، وَلاَ تَحَسَّسُوا ، وَلاَ تَجَسَّسُوا ، وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Hati-hatilah kalian dengan persangkaan, sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta, janganlah mencuri dengar (dari pembicaraan orang lain yang tidak ingin untuk dicuri dengar), janganlah mencari-cari/mengikuti aib orang lain, janganlah saling mendengki, janganlah saling bertolak punggung, janganlah saling bermusuhan, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara". (HR. Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 6701).
Dari Muawiyah berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم
"Sesungguhnya engkau jika mengikuti aurat manusia, engkau akan merusak mereka atau hampir saja engkau akan merusak mereka". Abu ad-Darda' berkata, "Kalimat yang Muawiyah mendengarnya dari Rasulullah yang Allah memberikan manfaat kepada Muawiyah dengan kalimat tersebut". (HR. Abu Dawud no.: 4890 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani).
Memata-matai yang membawa kepada tersebarnya aib adalah haram dan dosa besar sebagaimana makna ayat di atas (Lihat Tafsir al-Alusi:19/282), dan hendaknya setiap muslim berpegang dengan apa yang tampak (dhahir) dari saudaranya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat serta hadits-hadits yang menunjukkan hendaknya setiap muslim mengambil dhahir saudaranya dan tidak mencari dan mengusut aurat/aib saudaranya baik secara pribadi atau kelompok.
Mencari-cari aib manusia bukan termasuk akhlak mulia dan suka meneliti rahasia-rahasia manusia bukan ciri seorang muslim sehingga seorang muslim yang taat dia menahan diri dari perbuatan semacam ini karena ini termasuk perkara yang hina.
Termasuk anjuran islam untuk menjaga aib dan menutupinya, Rasulullah bersabda:
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat". (HR. Bukhari no.: 2442 dan Muslim no.: 2580).
Juga sabda Rasulullah:
من ستر عورة مؤمن فكأنما استحيا مَوْؤُدَةً من قبرها
"Barangsiapa yang menutupi aurat seorang mukmin, seolah-olah dia menghidupkan mau'udah (seorang anak perempuan yang dikubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya". (HR. Ahmad no.: 17859, Nasai dalam Sunan Kubra no.: 7282 dan Baihaqi dalam Sunan Kubra no.: 18065).
Dilarang mencari-cari aib seseorang meskipun dari pihak berwenang selama tidak tampak syubhat atau ada berita dari orang terpercaya atau di sana ada keharaman yang tidak di ketahui pelakunya seperti pembunuhan atau pemerkosaan. Pada kondisi semacam ini diperkenankan mencari-cari aib untuk mengetahui pelaku perusak kehormatan seorang muslim.
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwasanya dia memasuki kaum yang sedang minum khamer di dalam rumah terbuat dari kayu, kemudian berkata, "Aku telah melarang kalian minum khamer tapi kalian masih minum, aku melarang kalian untuk menyalakan api di rumah yang terbuat dari kayu tapi kalian masih menyalakannya!". Mereka menjawab, "Wahai Amirul mukminin, Allah telah melarangmu untuk mencari-cari aib orang lain dan engkau mencari-cari aib orang lain. Allah melarangmu untuk masuk ke dalam rumah tanpa ijin dan engkau masuk ke dalam rumah tanpa ijin". Umar berkata, "Kedua (kesalahanku) untuk kedua (kesalahan kalian)". Kemudian Umar meninggalkan mereka. (Al-Ahkam As-Sulthaniah: 2/9)
Dari Abdurraman bin Auf bahwasanya pada suatu malam dia berjaga malam dengan Umar bin Khaththab di kota Madinah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka melihat lentera di sebuah rumah. Mereka bergegas menuju rumah tersebut dan ketika sudah dekat, pintu rumah tersebut terbuka sedikit (di dalamnya) ada kaum yang bersuara keras dan gaduh. Umar memegang tangan Abdurrahman dan berkata, "Apakah kamu tahu, rumah siapa ini?". Aku menjawab, "Tidak tahu". Umar berkata, "Ini rumah Rabi'ah bin Umayyah bin Khalf, mereka sekarang sedang minum khamer. Bagaimana pendapatmu?". Abdurrahman berkata, "Aku berpendapat bahwa kita telah melakukan apa yang Allah larang. Allah berkata, "Dan janganlah mencari-cari keburukan orang", kita telah mencari-cari keburukan orang. Maka Umar pergi dan meninggalkan mereka". (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubra no.: 18080).
Dari Tsaur al-Kindi bahwasanya Umar bin al-Khaththab berkeliling kota Madinah di waktu malam. Dia mendengar suara lelaki di dalam rumah bernyanyi. Maka Umar memanjat dinding rumah dan dia mendapati bersama lelaki tersebut seorang wanita dan lelaki tersebut membawa khamer. Umar berkata, "wahai musuh Allah, apakah engkau menyangka bahwa Allah menutupi kemaksiatanmu?". Lelaki tersebut menjawab, "Wahai Amirul mukminin, jangan terburu-buru menghukumiku. Jika aku bermaksiat kepada Allah dalam satu kesalahan, sungguh engkau telah bermaksiat kepada Allah dalam tiga hal. Allah berfirman, "Janganlah mencari-cari keburukan orang". Engkau telah mencari-cari keburukan orang. Allah berfirman, "Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya ". (QS. Al-Baqarah: 189). Engkau telah memanjat dinding dari belakang rumah tanpa ijin. Allah telah berfirman, "Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya". (QS. An-Nur: 27). Engkau telah masuk rumahku tanpa mengucapkan salam". Umar berkata, "Apakah kamu memiliki kebaikan jika aku memaafkanmu?". Dia menjawab, "Ya, demi Allah wahai Amirul mikminin jika engkau memaafkanku, aku tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini untuk selamanya". Maka Umar memaafkannya lalu keluar dan meninggalkannya. (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam Makarim al-Akhlaq no.: 513).
Dari bekas budak Uqbah bin 'Amir berkata, aku berkata kepada Uqbah bin 'Amir: "Aku memiliki tetangga yang minum khamer". Uqbah berkata, "Tutupilah aib mereka". Bekas budak Uqbah berkata, "Aku tidak akan menutupi aib mereka, aku akan pergi memanggil polisi". Uqbah berkata, "Celaka kamu, jangan terburu-buru terhadap mereka, aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barangsiapa melihat aurat kemudian menutupinya, dia seperti orang yang menghidupkan mau'udah (seanak perempuan yang dikubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya". (HR. Ahmad no.: 17910).
Sedangkan dari Dukhain sekretaris Uqbah bin 'Amir berkata, aku berkata kepada Uqbah, "Sesungguhnya kami memiliki tetangga yang minum khamer dan akau akan memanggil polisi agar menciduk mereka". Uqbah berkata, "Jangan kau lakukan itu, akan tetapi nasehati dan takut-takutilah mereka". Dukhain melakukan nasehat Uqbah namun mereka tidak jera. Kemudian Dukhain mendatangi Uqbah lagi dan berkata, "Aku telah melarang mereka akan tetapi mereka tidak berhenti sehingga aku memanggil polisi". Uqbah berkata, "Celaka kamu, jangan kau lakukan itu!. Sungguh aku mendengar Rasulullah berkata, "Barangsiapa yang menutupi aurat seorang mukmin, seolah-olah menghidupkan mau'udah (seorang anak perempuan yang di kubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya". (HR. Ahmad no.: 17859 dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no.: 18065, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no.: 517).
Al-Munawi berkata menjelaskan perkataan Rasulullah "dia seperti orang yang menghidupkan mau'udah (seanak perempuan yang dikubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya": "Sisi persamaannya bahwa orang yang menutupi aib orang lain telah menolak tersebarnya aib tersebut di kalangan manusia dari orang yang ditutupi aibnya, yang mana aib tersebut bagaikan kematian. Maka seorang-olah dia telah menghidupkannya sebagaimana dia menolak kematian dari seorang anak perempuan yang di kubur hidup-hidup dengan mengeluarkannya dari dalam kubur. (Lihat at-Taisir bi Syarh al-Jami' ash-Shaghir: 2/808).
Jadi tidak diperbolehkan mencari-cari keburukan manusia dan melihat aurat mereka atau mendengarkan apa yang mereka rahasiakan, sama saja apakah dari individu-individu dalam masyarakat yang bersifat kekanak-kanakan atau dari pihak berwenang tanpa ada sebab, atau dari sekelompok orang yang bekerja pada suatu badan. Allah telah memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari aurat yang dhahir dan melarang dari mencari-cari keburukan orang dan semua larangan tersebut ditujukan untuk semua kalangan mencakup penguasa dan rakyat.
Termasuk tajassus yang terlarang, mencari-cari keburukan orang yang berkaitan dengan kefasikan yang dilakukan pada waktu lampau, seperti minum khamer pada waktu lampau kemudian engkau mengungkit-ungkitnya setelah berlalunya waktu tersebut. Ini termasuk menyebarkan kemungkaran yang tidak ada manfaatnya dan tidak membawa kebaikan untuk islam, akan tetapi itu adalah aib dan kekurangan maka selayaknya untuk di tahan dan dilupakan tidak disebar dan diumumkan. Diharamkan melakukan tajassus dalam hal semacam ini apabila pelakunya tidak melakukan perbuatan semacam itu lagi. (Lihat Ghida' al-Albab: 1/202).
Memandang akan kehormatan tempat tinggal dan kehormatan aurat kaum muslimin, maka barangsiapa yang memandang aurat seorang muslim dari celah pintu atau lubang dinding atau semisalnya, boleh bagi pemilik rumah untuk melemparnya dengan batu kerikil atau besi. Akan tetapi para fuqaha' berselisih dalam metode pengusirannya dan jaminannya terhadap mata orang yang mengintip dengan perincian sebabagai berikut:
Pendapat pertama: Orang yang melihat ke dalam rumah seseorang melalui lubang atau celah pintu atau semisalnya, sesungguhnya pemilik rumah boleh mengusirnya. Jika tidak pergi dengan sesuatu yang ringan, boleh menghalaunya dengan benda berat. Seandainya pemilik rumah melemparnya dengan batu kerikil atau menusuknya dengan tongkat sehingga matanya terluka atau mati, maka luka atau darahnya sia-sia. Ini pendapatnya Syafi'iyyah (lihat al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab: 19/257, al-Hawi al-Kabir: 13/976), Hanafiah (lihat Fatawa al-Hindiyah: 6/89), Hanabilah (lihat asy-Syarh al-Kabir: 10/321, al-Mughni: 10/350, Hasyiah ar-Raudh al-Murbi': 7/388-389, Kasysyaf al-Qina': 6/157, dan al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal: 4/247), dan sebagian Malikiyah (Lihat Manh al-Jalil: 9/366).
Pendapat kedua: Orang yang melihat ke dalam rumah seseorang melalui lubang atau celah pintu atau semisalnya, kemudian pemilik rumah melemparnya dengan kerikil atau menusuknya dengan besi sehingga terluka matanya atau mati, maka pemilik rumah menanggung segala perbuatannya terhadap orang yang terluka. Ini pendapat Malikiyah (lihat Manh al-Jalil: 9/366, dan sebagian Hanafiah (lihat Radd al-Muhtar: 28/71-72).
Dalil-dalil mereka:
Dalil pendapat pertama:
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Seandainya seseorang melihat kepadamu tanpa ijin, kemudian kamu melemparnya dengan batu kerikil sehingga kamu melukai matanya, maka kamu tidak berdosa". (HR. Bukhari dalam Shahihnya no.: 6902).
Mereka juga berdalil dengan hadits:
مَنِ اطَّلَعَ فِى دَارِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَفَقَأُوا عَيْنَهُ فَقَدْ هَدَرَتْ عَيْنُهُ
"Barangsiapa melihat ke dalam rumah suatu kaum tanpa ijin mereka, kemudian mereka melukai matanya, maka matanya (terluka) sia-sia". (HR. Abu Dawud no.: 5174).
Sedangkan dalam riwayat an-Nasai, "Barangsiapa melihat ke dalam rumah suatu kaum tanpa ijin mereka kemudian mereka melukai matanya, maka tidak ada diyah dan tidak ada qishash". (HR. an-Nasai dalam Sunannya no.: 4860 dan al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib no.: 4129. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
Mereka juga berdalil dengan hadits Anas:
أَنَّ رَجُلاً اطَّلَعَ فِى بَعْضِ حُجَرِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَامَ إِلَيْهِ بِمِشْقَصٍ أَوْ بِمَشَاقِصَ وَجَعَلَ يَخْتِلُهُ لِيَطْعُنَهُ
"Sungguh seorang lelaki melihat ke dalam kamar Nabi, maka Nabi berdiri mengambil anak panahnya atau beberapa anak panahnya dan mengintainya untuk menikamnya". (HR. Bukhari no.: 6900, lihat pula hadits no.: 6242).
Sisi pendalilan:
Di dalam dalil-dalil tersebut diperkenankan melempar orang yang mencari-cari aib dengan alasan untuk menolak gangguannya dan seandainya orang tersebut tidak pergi dilempar dengan benda ringan, maka boleh melemparnya dengan yang lebih kuat. Dan seandainya orang tersebut mati atau terluka maka darah atau lukanya sia-sia.
Sungguh Rasulullah telah berkeinginan untuk menikam orang yang melihat ke dalam kamarnya melalui pintu kamar tanpa sepengetahuan orang tersebut, dan Rasulullah tidaklah melakukan perbuatan yang tidak boleh untuk dikerjakan atau membawa kepada perkara yang tidak boleh. (lihat Fath al-Bari: 12/245).
Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa'd as-Sa'idi bahwasanya seseorang melihat ke dalam kamar dari pintu Rasulullah dan Rasulullah memegang midra (sisir besi) untuk menggosok (menyisir) kepalanya. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau berkata: "Seandainya aku tahu kamu melihat kepadaku aku akan menusuk matamu dengan ini". Beliau juga berkata, "Sesungguhnya ijin itu dijadikan untuk membolehkan melihat". (HR. Bukhari no.: 6901)
Hadits tersebut adalah nash yang menunjukkan tidak mengapa melukai dengan besi atau tongkat kepada orang yang melongok ke dalam kamar atau lubang rumah dengan sengaja dan tanpa ada syubhat. Dhahir hadits tersebut menunjukkan boleh menolak orang yang melihat ke dalam rumah dengan besi atau dilempar dengan kerikil atau dipukul dengan kayu dan pemilik rumah tidak menanggung luka orang tersebut, sama saja apakah yang terluka matanya atau bagian tubuh lainnya. Dan tidak ada kias bila ada nash.
Dan menurut madzhab Hanabilah tidak wajib diberi peringatan terlebih dahulu. Dan ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani dengan berkata, "Ini yang benar sebagaimana dalam hadits 'Rasulullah mengintainya untuk menikamnya'". (lihat Fath al-Bari: 12/245).
Dalil pendapat kedua:
Sebagian Hanfiah berdalil dengan hadits
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى
رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِى وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَة
"Tidak halal dari seorang muslim yang bersaksi tidak ada ilah kecuali Allah dan aku utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga hal: orang yang pernah menikah lalu berzina, orang yang membunuh orang lain (lalu diqishash) dan orang yang keluar dari agama dan memisahkan diri dengan jamaah kaum muslimin". (HR. at-Tirmidzi no.: 1463 dan Syeikh al-Albani berkata "Shahih").
Sisi pendalilan:
Hadits ini mengharuskan tidak menggugurkan dirinya (orang yang mengintip melalui celah pintu) dari 'ishmah (terjaganya darah dan hartanya), sebagaimana kalau dia melihat dari pintu yang terbuka atau masuk ke dalam rumahnya dan melihat isi rumahnya.
Mereka juga berdalil dengan atsar:
في العين نصف الدية
"Pada mata yang rusak setengah diyah". (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya no: 17409 dan no.: 17419).
Hadits tersebut bersifat umum, sehingga sekedar melihat saja tidak diperbolehkan untuk berbuat jahat terhadapnya. Sebagaimana kalau orang tersebut melihat dari pintu yang terbuka, sebagaimana kalau dia masuk ke dalam rumah dan melihat isi rumah dan mengganggu istrinya selain pada farjinya, tidak boleh untuk dicongkel matanya.
Mereka juga berkata, seandainya seseorang melihat aurat orang lain tanpa ijin, dia tidak diperbolehkan untuk melukai matanya. Maka melihat dirinya di dalam rumahnya lebih pantas untuk tidak diperbolehkan untuk dilukai matanya dan tidak gugur penanggungannya terhadap orang yang dia lukai matanya. Demikian juga apabila dia dilihat di dalam rumahnya dan orang yang melihat tersebut mencari-cari aibnya dengan sengaja, orang ini lebih pantas untuk tidak diperbolehkan dilukai matanya.
Mereka mengarahkan hadits Abu Hurairah kepada maksud peringatan keras, menakut-nakuti dan larangan untuk melihat aurat dan rahasia orang lain. Dan Rasulullah melempar orang tersebut untuk memperingatkannya bahwa beliau mengetahui perbuatannya atau untuk mengusirnya bukan bermaksud untuk melukai matanya. Adapun bila matanya terluka tanpa kesengajaan maka tidak mengapa (tidak berdosa) dan inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah di dalam peniadaan dosa dalam hadits beliau tersebut. Adapun jaminan tidak disebutkan oleh Rasulullah, oleh karena itu tidak boleh mengarahkan lemparan ke mata, maka dia harus menanggung luka orang tersebut jika dia sengaja melempar matanya. Wajib baginya untuk mendahulukan peringatan dan mengusirnya dengan cara yang paling mudah dan tidak langsung pada usaha melukai mata, sama saja apakah orang yang melihat tersebut sengaja ingin melihat aurat atau tidak.
Dari sini kita mengetahui akan sangat haramnya menyingkap rahasia dan melihat kepada aurat orang lain. Dari Abu Dzar berkata, Rasulullah bersabda:
أيما رجل كشف سترا فأدخل بصره قبل أن يؤذن له فقد أتى حدا لا يحل له أن يأتيه ولو أن رجلا فقأ عينه لهدرت ولو أن رجلا مر على باب لا ستر له فرأى عورة أهله فلا خطيئة عليه إنما الخطيئة على أهل المنزل
"Siapapun orang yang menyingkap kain penutup kemudian melihat ke dalam sebelum diijinkan, sungguh telah mendatangi hadd yang tidak halal baginya untuk melakukannya. Seandainya seseorang melukai matanya, sungguh matanya sia-sia. Seandainya seseorang melintasi pintu yang tidak ada penutupnya kemudian melihat aurat pemilik rumah, maka dia tidak bersalah. Sesungguhnya yang salah pemilik rumah". (HR. Ahmad no.: 22193 dan al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib no.: 4130 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
لا تأتوا البيوت من أبوابها ولكن ائتوها من جوانبها فاستأذنوا فإن أذن لكم فادخلوا وإلا
فارجعوا
"Janganlah kalian mendatangi rumah dari depan pintu, akan tetapi datangilah rumah dari samping pintu. Kemudian mintalah ijin, jika kalian diijinkan masuklah. Jika tidak kembalilah". (HR. al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib no.: 4135 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
Jadi Islam mewajibkan untuk ijin terlebih dahulu untuk masuk rumah.
Rasulullah bersabda:
لا يحل لامرئ مسلم أن ينظر إلى جوف بيت حتى يستأذن فإن فعل فقد دخل ولا يؤم قوما فيخص نفسه بدعوة دونهم حتى ينصرف ولا يصلي وهو حاقن حتى يتخفف
"Tidak halal bagi seseorang untuk melihat ke dalam sebuah rumah sampai meminta ijin (terlebih dahulu). Jika dia minta ijin (lalu diijinkan) berarti dia boleh masuk. Dan janganlah dia mengimami suatu kaum kemudian mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri tanpa menyertakan mereka sampai dia pergi (meninggalkan mereka). Dan janganlah dia shalat dalam keadaan menahan buang hajat sampai dia ringan (mengerjakan shalat)". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1093 dan Syeikh al-Albani berkata, "Shahih selain kalimat (yang berkaitan dengan) imamah".).
Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan:
أن أعرابيا أتى بيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فألقم عينه خصاص الباب فأخذ
سهما أو عودا محددا فتوخى الأعرابي ليفقأ عين الأعرابي فذهب فقال أما إنك لو ثبت لفقأت عينك
Bahwasanya seorang arab baduwi mendatangi rumah Rasulullah, kemudian menempelkan matanya ke lubang di pintu. Maka Rasulullah mengambil anak panah atau tongkat yang tajam kemudian mendatangi orang tersebut untuk menusuk matanya, maka orang tersebut pergi. Lalu Rasulullah berkata, "Kalau kamu masih di situ aku akan menusuk matamu". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1091 dan Syeikh al-Albani berkata, "Shahih").
Dalam riwayat yang lain dari Anas berkata:
كان النبي صلى الله عليه و سلم قائما يصلي فاطلع رجل في بيته فأخذ سهما من كنانته فسدد نحو عينيه
"Rasulullah sedang berdiri shalat kemudian ada seseorang yang melihat ke dalam rumahnya, maka Rasulullah mengambil anak panah dari tempatnya dan mengarahkannya ke arah kedua mata orang tersebut". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1069 dan Syeikh al-Albani berkata: Shahih).
Rasulullah telah memberikan contoh kepada kaum muslimin tata cara masuk dan minta ijin ke dalam rumah. Dari Abdullah bin Bisrin seorang sahabat Nabi berkata:
أن النبي صلى الله عليه و سلم إذا أتى بابا يريد أن يستأذن لم يستقبله جاء يمينا وشمالا فإن أذن له وإلا انصرف
"Sesungguhnya Nabi jika mendatangi pintu untuk minta ijin masuk, beliau tidak menghadap di depan pintu akan tetapi datang dari sebelah kanan atau sebelah kiri pintu. Jika beliau diijinkan (beliau masuk), jika tidak (diijinkan) beliau pergi". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1078 dan Syeikh al-Albani berkata: Hasan shahih).
Tidak diperkenankan untuk berdiri di depan pintu ketika minta ijin masuk ke suatu rumah, akan tetapi menyamping dari pintu tersebut agar tidak melihat apa yang tidak boleh dia lihat. Oleh karena itu Umar berkata, "Barangsiapa yang matanya melihat ruangan dalam rumah sebelum diijinkan, sungguh dia telah berbuat fasik". (HR. Bukhari dalam al-adab al-Mufrad no.: 1092, namun Syeikh al-Albani melemahkan atsar dari Umar ini).
Dan dari dalil-dalil yang diutarakan menunjukkan pendapat pertama lebih benar, wallahu a'lam.
Adapun orang yang mencuri dengar yang sembunyi di balik pintu, di samping jendela atau di balik dinding untuk mendengarkan kabar (pembicaraan), di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Ini dimasukkan ke dalam katagori melihat aurat orang lain dikiaskan kepada diperolehnya kemudharatan pada setiap orang yang melihat aurat orang lain atau mendengarkannya.
Pendapat kedua: Ini tidak dimasukkan ke dalam katagori melihat aurat orang lain karena melihat aurat orang lain, padanya ada kemudharatan yang sangat besar bila dibandingkan dengan sekedar mendengarkan saja. Dan ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar, beliau berkata, "Ini yang benar, karena syarat kias adalah kesamaan (antara cabang dan asal) atau lebih utamanya cabang (dibandingkan dengan asal) sedangkan di sini kebalikannya". (lihat Fath al-Bari: 12/245).
Mencari-cari keburukan orang hukumnya haram, sama saja dengan melihat atau diam untuk mendengarkan, sama saja dari individu-individu atau dari kelompok ataupun dari penguasa. Sebagaimana telah datang larangannya secara tegas dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam pembahasan ini.
Dari sini kita mengetahui bahwa tidak diperkenankan untuk mencari-cari aib orang lain kecuali ada syubhat yang menunjukkan kepada hal yang meragukan atau kejahatan yang tidak diketahui pelakunya, maka diperkenankan mencari dan memata-matai tersangka untuk mengetahui pelaku kejahatan. Ini pekerjaan intelejen secara umum untuk mengetahui orang-orang yang mengganggu keamanan agar supaya bisa dihalangi kejahatan mereka.
Sebagaimana diperbolehkan bagi wali seorang wanita untuk bertanya tentang seseorang yang mengkhithbah anak perempuannya untuk mengetahui agama, akhlak dan kedudukan sosialnya di masyarakat.
Adapun mencari aib tanpa sebab, ini haram dan akan menimbulkan banyak kerusakan di masyarakat. Al-'Aqqad berkata, "Tidak dijamin langgengnya hubungan antar teman bila hubungan mereka terbangun di atas saling mencari aib dan saling menipu. Dan tidak akan terjaga kasih sayang selama tidak terjaganya hurmah (kehormatan), di antaranya sesuatu yang dirahasiakan".
Al-Ghazali berkata, "Tidak selayaknya mencuri pendengaran dari rumah orang lain untuk mendengarkan suara dawai. Tidak boleh mencari-cari bebauan untuk mendapatkan bau khamer. Tidak boleh meraba apa yang di dalam bajunya untuk mengetahui bentuk seruling. Tidak boleh bertanya-tanya kepada tetangga orang tersebut agar mereka menyampaikan kepada dirinya tentang apa yang terjadi di rumah orang tersebut". (Ihya' Ulum ad-Din: 3/347).
Dan dalam kondisi amar ma'ruf nahi munkar, sebagian Malikiah berkata, "Dipersyaratkan orang yang melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar mengetahui keduanya dan disyaratkan tampaknya kemungkaran tanpa ada tajassus atau mencuri dengar dan tidak pula dengan mencari-cari bebauan serta tidak mencari apa yang disembunyikan di tangan atau di baju atau di toko, karena itu haram". (al-Khirasyi ala Sayyidi Khalil: 3/110, dinukil dari at-Tajassus wa Ahkamuhu fi asy-Syariah al-Islamiyah hal:149).
Ibnu Muflih menyebutkan perkataan Ibnu al-Jauzi,"Tidak selayaknya baginya untuk mencuri dengar dari rumah orang lain untuk mendengarkan suara dawai, tidak boleh mencari-cari bebauan untuk mendapati bau khamer, tidak boleh meraba-raba sesuatu yang ditutupi untuk mengetahui bentuk seruling dan tidak boleh mencari berita dari para tetangganya agar mereka menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi bila ada dua orang adil yang memberitakan kepadanya langsung (tanpa ditanya) bahwa Fulan minum khamer maka dia boleh masuk dan mengingkarinya". (al-Aadab asy-Syar'iyah: 1/353).
Sedangkan al-Mawardi mengatakan, "Barangsiapa mendengar suara kemungkaran dari sebuah rumah, para penghuninya mengeraskan suara mereka maka hendaknya kemungkaran tersebut diingkari dari luar rumah dan tidak boleh masuk dengan paksa karena kemungkaran tersebut nyata (terdengar) dan tidak boleh baginya untuk menyingkap apa yang ada di dalam rumah tersebut selain suara mungkar tersebut". (al-Ahkam al-Sulthaniyah: 2/9).
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلُمٍ لَمْ يَرَهُ ، كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ ، وَلَنْ يَفْعَلَ ، وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ ، صُبَّ فِى أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً ، عُذِّبِ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ .
"Barangsiapa dusta telah bermimpi padahal dia tidak bermimpi, dia diperintahkan untuk
menyambung dua helai rambut dan dia tidak akan bisa melakukannya. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan suatu kaum, dituangkan ke dalam telinganya timah panas pada hari kiamat. Barangsiapa menggambar suatu gambar dia akan disiksa dan diperintahkan untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut dan dia tidak akan bisa". (HR. Bukhari dalam Shahihnya no.: 7042).
Yang dilarang untuk mendengarkan pembicaraan suatu kaum adalah apabila kaum tersebut tidak suka untuk didengarkan pembicaraan mereka, jadi tidak masuk di dalam larangan hadits tesebut apabila kaum tersebut suka untuk di dengarkan. Dan apabila suatu kaum tidak tahu ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka maka ini juga terlarang, dan balasannya akan dituangkan ke telinga orang yang mendengarkan pembicaraan tersebut timah panas sebagai balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka.
Termasuk mendengarkan pembicaraan yang terlarang adalah apabila ada seseorang yang masuk ke dalam rumahnya lalu menutup pintu rumahnya kemudian berbicara dengan orang, indikasi keadaan orang ini menunjukkan bahwa dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarkan pembicaraannya. Apabila ada orang yang mendengarkan pembicaraannya, ini masuk dalam ancaman hadits ini sebagaimana kalau ada yang mengintipnya dari celah pintu dan telah dating ancamannya, seandainya mereka melukai matanya, maka matanya (terluka) sia-sia. (lihat Fath al-Bari: 12/428 dan 429).
Dari Said al-Maqburi berkata, aku melintasi Umar sedang berbicara dengan seseorang, lalu aku mendekati keduanya. Maka Umar memukul dadaku dan berkata, "Jika kamu mendapati dua orang sedang berbicara jangan berdiri mendekati keduanya sampai dan jangan duduk bersama keduanya sampai kamu minta ijin". Aku berkata, "Semoga Allah memperbaikimu wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya aku mengharapkan bisa mendengar kebaikan dari kalian berdua". (al-Adab al-Mufrad no.: 1166 dan dishahihkan oleh Syeikh al-Albani).
Para ulama menganggap mendengarkan pembicaraan suatu kaum yang mana mereka tidak suka pembicaraan mereka di dengar termasuk tajassus dan itu haram. (Tafsir al-Alusi: 19/283).
Amr bin Dinar berkata, "Seorang lelaki dari penduduk kota Madinah memiliki saudara perempuan yang sedang sakit. Lelaki tersebut menjenguknya namun kemudian saudara perempuannya tersebut meninggal dunia, diapun menguburnya. Dia sendiri yang turun ke dalam kuburan saudara perempuannya (dalam pemakaman tersebut) dan terjatuhlah dari saku bajunya kantong uang yang berisi uang emas (di dalam kuburan tersebut). (Setelah selesai pemakaman) Diapun meminta bantuan kepada sebagian keluarganya untuk menggali kuburan saudara perempuannya. (Setelah digali) dia mengambil kantong uangnya dan berkata, "Sungguh aku akan menyingkap kuburan saudara perempuanku agar aku tahu bagaimana kondisinya". Ketika dia menyingkapnya, ternyata kuburannya menyala api. Diapun menemui ibunya dan berkata, "Sampaikan kepadaku amalan saudara perempuanku!". Sang ibu berkata, "Saudara perempuanmu telah meninggal, kenapa kamu menanyakan amalannya?". Dia selalu menanyakannya sampai ibunya berkata, "Di antara amalannya, dia sering mengakhirkan shalat dari waktunya. Dan apabila para tetangga telah tertidur, dia bangun mendatangi rumah-rumah mereka dan menempelkan telinga di pintu-pintu mereka untuk mencuri dengar kemudian dia menyebarkan rahasia mereka". Lelaki tersebut berkata, "Karena ini dia celaka!". (Tafsir al-Qurthubi: 16/282).
Kesimpulan:
1- Tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat kaum muslimin dan mengikutinya baik langsung ataupun dengan alat bantu, dan itu hukumnya haram.
2- Termasuk perkara yang dilarang, berburuk sangka kepada orang lain tanpa dasar karena seseorang yang berburuk sangka akan mencari kebenaran dari persangkaan tersebut dengan melakukan tajassus dan setelah melakukan tajassus dia akan mengghibahi saudaranya.
3- Larangan mencari-cari aib orang lain mencakup penguasa dan rakyat biasa.
4- Menutupi aurat sesama muslim termasuk perkara yang disyariatkan dan memiliki fadhilah besar sebagaimana sabda Rasulullah.
5- Haramnya melihat isi rumah orang lain tanpa ijin dengan mengintip atau melihat dari celah pintu.
6- Disyariatkannya ijin sebelum seseorang masuk ke dalam rumah orang lain.
7- Haramnya mendengarkan pembicaraan orang lain yang tidak ingin didengarkan pembicaraan mereka.
8- Boleh melakukan tajassus untuk menghentikan pembunuhan atau perzinaan sebelum terjadi atau mencari pelaku pembunuhan atau pemerkosaan.
Wallahu Ta'ala a'lam.
Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan untuk orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan……
Asal tulisan ini diambil dari at-Tajassus wa Ahkamuhu fi asy-Syariah al-Islamiyah pada sub pembahasan at-Tajassus al-Muaddi ila al-Wuquf ala al-'Aurat karya Muhammad Rakan ad-Dughmi.
Maraji':
1- al-Qur’an al-Karim.
2- al-Aadab asy-Syar'iyah karya Abu Abdillah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi (Wafat: 763 H).
3- al-Adab al-Mufrad karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (Wafat: 256 H).
4- al-Ahkam As-Sulthaniah karya Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi (Wafat: 450).
5- Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalani (Wafat: 852 H).
6- al-Fatawa al-Hindiyah fi Madzhab al-Imam al-A'dham Abi Hanifah an-Nu'man karya asy-Syaikh Nidham dan sekumpulan ulama India.
7- Ghidza' al-Albab Syarh Mandhumah al-Aadab karya Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini al-Hanbali (Wafat: 1188 H).
8- Hasyiah ar-Raudh al-Murbi' karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al-'Ashimi an-Najdi al-Hanbali (Wafat: 1392 H).
9- al-Hawi al-Kabir karya Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi (Wafat: 450).
10- Ihya' Ulum ad-Din karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (Wafat: 505 H).
11- Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an karya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili ah-Thabari (Wafat: 310 H).
12- al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi (Wafat: 671 H).
13- al-Jami' ash-Shahih atau Sunan at-Tirmidzi karya Muhammad bin Isa bin Saurah Abi Isa at-Tirmidzi (Wafat: 279).
14- al-Kabair karya Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi (Wafat: 748).
15- al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal karya Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi (Wafat: 620).
16- Kasysyaf al-Qina' 'an Matan al-Iqna' karya Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahuti (Wafat: 1051 H).
17- al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab karya Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi (Wafat: 676 H).
18- Makarim al-Akhlaq karya Abu Bakar Muhammad bin Ja'far bin Sahl bin Syakir as-Samiri al-Kharaithi (Wafat: 327 H).
19- Manh al-Jalil karya Muhammad 'Alisy (Wafat: 1298 H).
20- al-Mughni karya Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi (Wafat: 620).
21- Mushannaf Abdurrazzaq karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (Wafat: 211 H).
22- Musnad al-Imam Ahmad karya al-Imam Ahmad bin Hanbal (Wafat: 241 H).
23- Radd al-Muhtar 'ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tawir al-Abshar karya Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz atau dikenal Ibnul Abidin (Wafat: 1252 H).
24- Shahih al-Adab al-Mufrad karya Muhammad Nashiruddin al-Albani.
25- Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari (Wafat: 256 H).
26- Shahih Ibni Hibban karya Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi (Wafat: 354 H).
27- Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi (Wafat: 261 H).
28- Shahih Sunan Abi Dawud karya Muhammad Nashiruddin al-Albani (Wafat: 1420 H).
29- Shahih Sunan at-Tirmidzi karya Muhammad Nashiruddin al-Albani (Wafat: 1420 H).
30- Shahih at-Targhib wa at-Tarhib karya Muhammad Nashiruddin al-Albani (Wafat: 1420 H).
31- Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats as-Sijistani (Wafat: 275 H).
32- as-Sunan al-Kubra karya Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi (Wafat: 458 H).
33- as-Sunan al-Kubra karya Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman an-Nasai (Wafat: 303 H).
34- Sunan an-Nasai karya Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman an-Nasai (Wafat: 303 H).
35- asy-Syarh al-Kabir karya Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi (Wafat: 682 H).
36- Syarh Riyadh ash-Shalihin karya Syeikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (Wafat: 1421 H).
37- Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Adhim wa as-Sab'I al-Matsani karya Abu al-Fadhl Mahmud al-Alusi (Wafat: 127 H).
38- at-Tajassus wa Ahkamuhu fi asy-Syariah al-Islamiyah karya Muhammad Rakan ad-Dughmi.
39- at-Taisir bi Syarh al-Jami' ash-Shaghir karya al-Hafidh Zain ad-Din Muhammad Abdurrauf al-Munawi (Wafat: 1031 H).
40- at-Targhib wa at-Tarhib karya Abu Muhammad Abdul 'Adhim bin Abdul Qowi al-Mundziri (Wafat: 656 H).
Penulis: Rohmatullah Ngimaduddin, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar