Kamis, 29 April 2010

Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu atau Ahad?




oleh: Rohmatullah Ngimaduddin, Lc.

Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah dengan berkata:
حَدَّثَنِى سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ وَهَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالاَ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ  مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- بِيَدِى فَقَالَ « خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ وَخَلَقَ فِيهَا الْجِبَالَ يَوْمَ الأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَخَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فِى آخِرِ الْخَلْقِ وَفِى آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ ».
Mengatakan kepadaku Suraij bin Yūnus dan Hârun bin Abdullah, kedua berkata, telah mengatakan kepadaku Hajjâj bin Muhammad dengan berkata, Ibnu Juraij telah berkata, telah mengkabarkan kepadaku Ismâil bin Ummayah dari Ayyūb bin Khalid dari Abdullah bin Râfi' bekas budak Ummi Salamah dari Abu Hurairah yang berkata, 'Rasulullah memegang tanganku dan berkata, "Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu. Kemudian Allah menciptakan gunung-gunung di bumi pada hari ahad dan Allah menciptakan pepohonan pada hari senin. Kemudian Allah menciptakan hal-hal yang di benci pada hari selasa. Dan Allah menciptakan cahaya pada hari rabu. Dan Allah menyebarkan binatang melata di bumi pada hari kamis. Dan Allah menciptakan Adam setelah ashar pada hari jum'at, makhluk yang paling akhir Allah ciptakan di akhir waktu pada hari Jum'at antara waktu ashar sampai malam". (HR. Muslim no.: 7231).

Takhrij hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim no.: 7231, Ahmad no.: 8563, Ibnu Ma'în dalam Tarikhnya yang diriwayatkan oleh ad-Duri no.: 210, Ibnu Mundah dalam at-Tauhîd no.: 54, Abu Ya'lâ dalam Musnad no.: 6132, al-Baihaqî dalam as-Sunan al-Kubrâ no.: 18159 dan al-Asmâ' wa ash-Shifât no.: 36, 812 dan 813, Ibnu Hibbân dalam Shahihnya no.: 6161, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no.: 1731, ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Awsath no.: 3232, an-Nasâi dalam as-Sunan al-Kubrâ no.: 11393, Abusy Syeikh dalam al-'Adhamah no.: 58751, ath-Thabarî dalam Tafsirnya: 21/433 dan Târikhnya: 1/35.

Hadits ini shahih karena para perowinya di dalam riwayat Muslim semuanya perowi yang tsiqah kecuali Ayyūb bin Khâlid. Ibnu Hajar mengatakan padanya layyin (lembek). Sedangkan Ibnu Hibbân memasukkannya dalam para perowi tsiqah. Imam Muslim telah mengeluarkan hadits ini di dalam Shahihnya dan Syeikh al-Albâni menshahihkan hadits ini dalam as-Silsilah ash-Shahîhah no.: 1833.

Faedah-faedah hadits:
1-      Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari Sabtu.
2-      Allah menciptakan gunung-gunung pada hari ahad.
3-      Allah menciptakan pepohonan pada hari senin.
4-      Allah menciptakan hal-hal yang dibenci pada hari selasa.
5-      Allah menciptakan cahaya pada hari rabu.
6-      Allah menciptakan binatang pada hari kamis.
7-      Allah menciptakan Adam pada hari jum'at.
8-      Hadits ini menyinggung penciptaan bumi selama empat hari yaitu dengan penciptaan: tanah, gunung-gunung, pepohonan dan hal-hal yang dibenci.
9-      Hadits ini menyinggung penciptaan langit selama dua hari yaitu dengan penciptaan cahaya dan binatang. Untuk faedah ini bisa dilihat perkataan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi ketika menjawab pengingkaran terhadap hadits ini karena dianggap bertentangan dengan al-Qur'an yang akan datang penyebutannya.

Namun hadits ini mendapatkan kritikan dari beberapa ulama di antaranya: Imam Bukhari, Ali al-Madini dan al-Baihaqi serta para ulama yang datang setelah mereka yang mendukung perkataan mereka. Sebelum kita menyebutkan pembelaan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Muallimi demikian juga Syeikh al-Albani terhadap hadits Abu Hurairah ini dan bantahan terhadap kandungan hadits ini yang disangka bertentangan dengan al-Qur'an, akan kami sebutkan terlebih dahulu beberapa ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi:

1-      اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَالَكُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَشَفِيعٍ أَفَلاَ تَتَذَكَّرُونَ {4}
"Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?". (QS. As-Sajadah: 4).

2-   قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ اْلأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ {9} وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِىَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَآ أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَآءً لِلسَّآئِلِينَ{10} ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَآ أَتَيْنَا طَآئِعِينَ {11} فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَآءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَآءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ {12}
"Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?, (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam." Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya". Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati." Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui". (QS. Fushshilat: 9-12).

3- إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {54}
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam". (QS. al-A'raf: 54).

4- وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَامَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ {38}
"Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan". (QS. Qaf: 38).

5- هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ وَاللهُ بِمَاتَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {4}
"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Hadid: 4).

6- وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَآءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَلَئِن قُلْتَ إِنَّكُم مَّبْعُوثُونَ مِن بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولُنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَآلَسِحْرٌ مُّبِينٌ {7}
"Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata." (QS. Hud: 7).

Ayat-ayat di atas mengandung beberapa faedah:
1-      Allah menciptakan langit dan bumi selama enam hari.
2-      Allah menciptakan bumi dalam waktu empat hari.
3-      Allah menciptakan langit dalam waktu dua hari.
4-      Setelah Allah menciptakan langit dan bumi, Allah sama sekali tidak letih kemudian Allah bersemayam di atas 'Arsy yaitu pada hari ketujuh.
5-      'Arsy Allah berada di atas air.

Dan di sini kami juga akan menyinggung tentang nama-nama hari karena ada hubungannya dengan pembahasan ini. Allah menyebutkan nama-nama hari di dalam al-Qur'an hanya dua nama yaitu Sabtu dan Jum'at. Allah berfirman:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فيِ السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ {65}
"Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina." (QS. al-Baqarah: 65).  Dan dalam ayat-ayat yang lain tentang penyebutan hari Sabtu seperti dalam surat an-Nisa' ayat 47 dan 154, al-A'raf ayat 163 dan an-Nahl ayat 124. Sedangkan Allah berfirman tentang hari Jum'at:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {9}
"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". (QS.al-Jumu'ah: 9). Adapun nama-nama hari yang lainnya diambil dari ahli kitab, Rasulullah pun tidak menamainya. Beliau hanya mengikuti apa yang telah dikenal oleh manusia.

Kapan Allah menciptakan bumi?
Para ulama berselisih tentang kapan penciptaan bumi, apakah hari sabtu atau hari ahad. Yang berpendapat bahwa Allah menciptakan bumi pada hari sabtu mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah ini dan atsar dari Muhammad bin Ishaq: "Ahli Taurat berkata, "Allah memulai menciptakan makhluk pada hari Ahad" sedangkan ahli Injil berkata "Allah memulai menciptakan makhluk pada hari Senin", dan kita kaum muslimin mengatakan apa yang sampai kepada kita dari Rasulullah, "Allah memulai menciptakan makhluk pada hari Sabtu". (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tarikhnya: 1/35). Dan berpendapat dengan ini sekelompok fuqaha' dari madzhab Syafi'iyyah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah.

Sedangkan dalil yang dipakai tentang penciptaan bumi pada hari ahad di antaranya atsar-atsar yang datang dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Salam, Ka'b al-Ahbar, ad-Dhahhak dan Mujahid. Bahkan Ibnu Jarir sampai mengatakan bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Ahad adalah ijma' salaf dari kalangan ahli ilmu sebagaimana di dalam Târikhnya: 1/35.

Dan di antara atsar-atsar tersebut sebagai berikut:
Dari Ka'b berkata, "Allah memulai penciptaan langit pada hari Ahad. Maka (penciptaan itu) hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jum'at. Dan Allah menjadikan setiap harinya seribu tahun". (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya no.: 37125). Sedangkan dalam riwayat ath-Thabari, "Allah menciptakan langit dan bumi pada hari Ahad dan Senin". (Târikh ath-Thabari: 1/35).

Abdullah bin Salam berkata, "Sesungguhnya Allah memulai penciptaan, maka Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan langit pada hari Selasa dan Rabu, dan Allah menciptakan bahan makanan sedangkan di bumi tidak ada sesuatupun pada hari Kamis. Dan pada hari Jum'at, Allah selesai dari semua itu pada waktu shalat ashar dan waktu tersebut antara ashar sampai terbenamnya matahari". (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no.: 17484 dan ath-Thabari dalam Târikh: 1/34).

Dari Mujahid berkata, "Awal penciptaan 'Arsy, air dan udara. Dan bumi di ciptakan dari air. Dan awal penciptaan pada hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan pengumpulan makhluk pada hari Jum'at. Yahudi menjadikan hari Sabtu sebagai hari raya. Sehari dari enam hari tersebut seperti seribu tahun menurut hitungan kalian". (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.: 37044).

Ibnu Jarir berkata, "Hannad bin as-Suri mengatakan kepadaku, dia berkata, Abu Bakar bin 'Iyyasy mengatakan kepadaku dari Abu Sa'id al-Baqqal dari 'Ikrimah dari Ibnu Abbas. Hannad berkata, "Aku membaca seluruh hadits di hadapan Abu Bakar, bahwa Yahudi mendatangi Rasulullah dan bertanya kepadanya tentang penciptaan langit dan bumi. Rasulullah berkata, "Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan gunung-gunung pada hari Selasa dan apa yang ada padanya dari manfaat. Dan pada hari Rabu Allah menciptakan pepohonan, air, kota-kota, kemakmuran dan  kerusakan. Ini empat hari". Kemudian berkata, ""Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya" (QS. Fushshilat: 9-10), bagi orang yang bertanya". Kemudian berkata, "Dan Allah menciptakan langit pada hari Kamis dan pada hari Jum'at menciptakan bintang-bintang, matahari, bulan dan para malaikat sampai tersisa tiga jam dari hari itu. Pada jam pertama dari tiga jam tersebut Allah menciptakan kematian orang yang mati. Jam kedua, Allah melemparkan kerusakan pada setiap hal yang manusia mengambil manfaat darinya. Dan pada jam ketiga Allah menciptakan Adam dan menempatkannya di dalam surga. Kemudian Allah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam dan Allah mengeluarkan Iblis dari surga di akhir waktu". Yahudi berkata, "Kemudian bagaimana wahai Muhammad?". Rasulullah berkata, "Kemudian Allah bersemayam di atas 'Arsy". Mereka berkata, "Kamu benar jika menyempurnakannya". Mereka berkata, "Kemudian Allah istirahat". Maka Nabi sangat marah, kemudian turun ayat "Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan. Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan". (QS. Qaf: 38-39). (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsirnya: 21/432-433 dan Tarikhnya: 1/35, Abusy Syeikh dalam al-'Adhamah no.: 88784, an-Nuhhâs dalam an-Nâsikh wa al-Mansūkh hal.: 680, al-Hâkim dalam al-Mustadrak no.: 3997 dan al-Baihaqî dalam al-Asmâ' wa ash-Shifât no.: 765).

Namun sanad hadits dari Ibnu Abbas ini lemah karena Abu Sa'd al-Baqqâl yaitu Sa'îd al-Marzabân seorang perowi yang lemah dan mudallis sebagaimana perkataan Ibnu Hajar sedangkan Abu Zur'ah mengatakan "Layyinul hadits" dan Bukhari mengatakan "Munkarul hadits". Dan Syeikh al-Albani mengatakan akan derajat hadits ini dengan "Munkar". (as-Silsilah adh-Dha'ifah no.: 5973).

Adapun yang diriwayatkan Ibnu Jarir, "Musa bin Harun telah mengatakan kepadaku, dia berkata, Amr bin hammad berkata kepadaku, dia berkata, Asbath mengatakan kepadaku dari as-Suddi tentang kabar yang dia menyebutkannya dari Abu Malik dan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas -dan dari Murrah dari Ibnu Mas'ūd dan dari sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi, "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit" (QS. al-Baqarah: 29). Dia berkata, "Sesungguhnya Allah 'Arsynya di atas air dan Allah belum menciptakan sesuatupun selain apa yang Dia ciptakan setelah air. Ketika Allah ingin menciptakan makhluk, Allah mengeluarkan asap dari air. Maka asap tersebut naik di atas air sehingga tinggi di atas air, maka Allah menamakannya Samâ' (tinggi). Kemudian air tersebut mengering dan Allah menjadikan darinya satu bumi. Kemudian Allah membelahnya dan menjadikannya tujuh bumi dalam waktu dua hari pada hari Ahad dan Senin……". (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsirnya: 1/435, Ibnu Abi Hâtim dalam Tafsirnya no.: 306, al-Baihaqî dalam al-Asmâ' wa ash-Shifât no.: 807).

Ibnu Jarîr ath-Thabari mengomentari sendiri sanad yang dia sebutkan ini di dalam Tafsirnya, "Apabila itu benar, dan aku tidak mengetahuinya benar karena aku meragukan sanadnya". (Tafsir ath-Thabari: 1/354). Dan Ahmad Muhammad Syâkir berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Jarîr ini, "Dan Ibnu Jarîr tidak menyebutkan sebab keraguannya terhadap sanadnya. Dan meskipun dia meragukan sanadnya, dia banyak meriwayatkan sanad tersebut, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadikannya sebagai hujjah". (Tafsir ath-Thabari: 1/156).

Di sini kita akan membahas hadits Abu Hurairah di atas yang diingkari oleh para ulama hadits sebagaimana telah kita sebutkan di atas. Benarkah hadits ini ber'illah (ada celaannya)?. Benarkah hadits ini bertentangan dengan al-Qur'an?.

Mari kita simak perkataan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi yang berkata: Sebagian ahli hadits mengingkari kabar ini, dan perincian sebab pengingkaran mereka karena beberapa sebab:

Pertama: Hadits tersebut tidak menyebutkan penciptaan langit dan hadits tersebut menjadikan penciptaan bumi selama enam hari.

Kedua: Hadits tersebut menyebutkan penciptaan selama tujuh hari padahal al-Qur'an menjelaskan bahwa penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari. Empat hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk penciptaan langit.

Ketiga: Hadits tersebut menyelisihi atsar-atsar yang mengatakan: "Sesungguhnya awal dari enam hari tersebut pada hari Ahad dan itu yang ditunjukkan oleh nama-nama hari: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis.

Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mencari 'illah (penyakit/cacat) hadits tersebut. Ibnu al-Madini menyebutkan 'illah hadits tersebut bahwa Ibrahim bin Abi Yahya telah meriwayatkan hadits tersebut dari Ayyub. Ibnu al-Madini berkata, "Aku memandang bahwa Ismail bin Umayyah tidak mengambil hadits ini kecuali dari Ibrahim bin Abi Yahya". [lihat al-Asmâ' wa ash-Shifât hal: 276, (no.: 813)]. Yaitu Ibrahim yang dituduh pendusta, maka hadits tersebut tidak tetap dari Ayyub dan tidak pula dari perowi di atasnya. Ini bisa dibantah, bahwa Ismail bin Umayyah seorang yang tsiqah menurut mereka dan bukan mudallis. Oleh karena itu wallahu a'lam, Bukhari tidak menerima perkataan Syeikhnya Ibnu al-Madini dan Bukhari menyebutkan 'illah hadits ini dengan 'illah yang lain. Bukhari menyebutkan ujung hadits ini dalam biografi Ayyub dalam ([Târikh al-Kabîr: 1/413]) kemudian berkata, "Sebagian perowi berkata, dari Abu Hurairah dari Ka'b dan ini lebih benar". (Perkataan Bukhari tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: 4/115 dan al-Bidâyah: 1/18). Perkataan Bukhari ini membawa kepada firasat bahwa Ayyub salah. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/198-199).

Di antara ulama yang mengikuti Imam Bukhari adalah Syeikhul islam Ibnu Taimiyah yang berkata ketika mengomentari hadits Abu Hurairah ini, "Ini hadits ber'illah yang dicela oleh para imam hadits seperti Bukhari dan selainnya. Bukhari berkata, "Yang benar hadits tersebut mawquf pada Ka'b". Dan al-Baihaqi telah menyebutkan 'illahnya pula". (Majmu' al-Fatawa: 17/135-236).

Sedangkan Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya al-Manâr al-Munif, pasal 19-153 hal.: 84, "Dan menyerupai ini apa yang terjadi kesalahan padanya dari hadits Abu Hurairah, "Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu", hadits ini di dalam Shahih Muslim akan tetapi terjadi kesalahan dalam memarfu'kan hadits ini. Sesungguhnya hadits tersebut adalah perkataan Ka'b al-Ahbâr. Demikianlah yang disampaikan oleh Imam ahli hadits Muhammad bin Ismail al-Bukhari di dalam kitabnya at-Târikh al-Kabir dan selainnya dari para ulama, juga mengatakan demikian. Dan hadits ini sebagaimana yang mereka sampaikan, karena Allah telah mengkabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi beserta apa yang ada pada keduanya selama enam hari, sedangkan konsekuensi hadits ini menunjukkan penciptaan berlangsung tujuh hari. Wallahu Ta'ala a'lam. (al-Manâr  al-Munif hal.: 84-86).

Demikian pula Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan hadits ini dalam Tafsirnya, "Muslim bin al-Hajjâj telah meriwayatkan hadits ini di dalam Shahîhnya demikian juga an-Nasâi dengan sisi periwayatan yang berbeda dari Hajjâj yaitu Ibnu Muhammad al-A'war dari Ibnu Juraij. Dalam hadits tersebut (ada penyebutan penciptaan) mencakup tujuh hari. Sedangkan Allah telah mengatakan selama enam hari. Oleh karena itu Bukhari dan selainnya dari para huffadz mengomentari hadits ini dan menjadikannya termasuk riwayat Abu Hurairah dari Ka'b al-Ahbâr dan bukan marfu'. Wallahu a'lam". (Tafsir Ibnu Katsir: 3/426).

Mengenai perkataan Ibnu al-Madini yang mengatakan bahwa Ismail bin Umayyah tidak mengambil hadits ini kecuali dari Ibrahim bin Abi Yahya, Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memberikan jawaban: "Tuduhan ini tanpa dalil, hanya sekedar pendapat. Dan semacam itu tidak menyebabkan riwayat Ismail bin Ummayyah ditolak. Dia seorang yang "tsiqah tsabt" sebagaimana yang dikatakan al-Hafidz di dalam at-Taqrib, terlebih lagi riwayatnya ada tâbi'nya. Abu Ya'la telah meriwayatkan di dalam Musnadnya [1/288] dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ayyub bin Khalid dari Abdullah bin Rafi'. Akan tetapi mungkin ada sesuatu yang saqath (tertinggal) dari sanadnya tersebut". (Shahih al-Jami': 4/449, dinukil dari as-Silsilah ash-Shahihah al-mujalladat al-kamilah 1-9: 4/332).

Dan kelanjutan perkataan Syeikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi, sebagai berikut: Firasat (Bukhari) ini (yang menyatakan bahwa Abu Hurairah mengambil hadits ini dari Ka'b) terbangun di atas tiga hal:
Pertama: Pengingkaran hadits ini sebagaimana yang telah lalu.
Kedua: Ayyub bukan perowi yang kuat, dia sedikit meriwayatkan hadits dan Muslim tidak mengeluarkan haditsnya kecuali hadits ini sehingga dia tidak termasuk perowi yang meriwayatkan dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Al-Azdî menyebutkan biografinya dan dia tidak menyebutkan seorangpun dari para imam yang mentsiqahkan dia kecuali Ibnu Hibbân yang telah menyebutnya termasuk perowi tsiqah. Sedangkan persyaratan Ibnu Hibbân dalam memberikan tautsiq dikenal sangat pemaaf (tidak ketat).
Ketiga: Riwayat yang Bukhari terpaksa menyampaikannya dengan perkataan "Sebagian perowi berkata". Alangkah baiknya kalau dia menyebutkan sanad dan matannya, mungkin saja riwayat itu sendiri lemah namun kuat menurutnya karena dua sebab terdahulu. Yang menunjukkan akan lemahnya riwayat tersebut bahwa yang dihafal dari riwayat Ka'b, Abdullah bin Salam dan Wahb bin Munabbih dan dari perowi yang mengambil dari mereka bahwa awal penciptaan pada hari ahad dan ini adalah pendapat ahli kitab yang disebutkan dalam buku-buku mereka dan yang dihafal dari perkataan mereka dan itulah yang dimaksudkan dari perkataan mereka tentang hari Sabtu. [Lihat al-Asmâ' wa ash-Shifat: 272 dan 275, dan awal-awal Tarikh Ibnu Jarir].

Dalam ad-Durr al-Mantsur [3/91], Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan dari Ka'b berkata, "Allah memulai penciptaan langit dan bumi pada hari ahad, senin, selasa, rabu, kamis dan jum'at dan Allah menjadikan setiap harinya seribu tahun". Dan Ibnu Jarir menyebutkan sanadnya di awal-awal tarikhnya [1:22 –al-Husainiyyah-] dan meringkasnya, "Allah memulai penciptaan langit dan bumi pada hari ahad dan senin". Ini menolak apa yang ada dalam hadits di atas dari perkataan Ka'b. Sedangkan Ayyub perowi yang tidak mengapa (di ambil riwayatnya) dan perbuatan Ibnu al-Madini menunjukkan kuatnya Ayyub menurutnya. Dan Muslim telah mengeluarkan haditsnya sebagaimana yang telah kamu ketahui, meskipun batasan dia selayaknya tidak digunakan sebagai hujjah di dalam kitab shahih. Inti keraguan terhadap haditsnya tersebut karena pengingkaran. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/198-199).

Dan Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga memiliki komentar terhadap perkataan Bukhari tersebut dengan berkata: "(Perkataan Bukhari) ini seperti (perkataan) orang sebelumnya –yaitu Ibnu al-Madini, pent-. Lalu siapa sebagian perowi ini?. Apa kedudukannya dalam keakurasian dan hafalannya sampai dirajihkan di atas riwayat Abdullah bin Râfi'?. Yang mana an-Nasâi dan Ibnu Hibbân telah mentsiqahkannya, Muslim berhujjah dengannya, sekelompok orang juga meriwayatkan darinya dan cukuplah (sebagai sandaran) akan keshahihan hadits ini bahwa Ibnu Ma'în telah meriwayatkannya dan tidak menyebutkan sedikitpun dari 'illah!". (Shahih al-Jami': 4/449 yang dinukil dari as-Silsilah ash-Shahihah al-mujalladat al-kamilah 1-9: 4/332).

Dan jawaban terhadap pengingkaran tersebut sebagaimana yang di sebutkan oleh Syeikh al-Mu'allimi sebagai berikut:
Jawaban terhadap pengingkaran pertama: Sesungguhnya hadits tersebut meskipun tidak mengatakan tentang penciptaan langit tapi telah mengisyaratkan pada penciptaan langit pada hari kelima (diciptakan) cahaya dan pada hari keenam (diciptakan) binatang melata dan kehidupan binatang membutuhkan panas sedangkan cahaya dan panas sumbernya dari bagian-bagian langit. Dan yang ada dalam hadits tersebut bahwa penciptaan bumi sendiri selama empat hari sebagaimana dalam al-Qur'an dan al-Qur'an ketika menyebutkan penciptaan bumi selama empat hari tidak menyebutkan apa yang menunjukkan kepada apa yang diciptakan pada empat hari tersebut termasuk cahaya dan binatang. Dan ketika menyebutkan penciptaan langit dalam waktu dua hari, tidak menyebutkan apa yang menunjukkan bahwa pada waktu dua hari tersebut tidak terjadi sesuatupun di bumi. Secara akal setelah sempurnanya penciptaan bumi, maka bumi mulai berkembang dengan apa yang telah Allah siapkan padanya. Dan Allah tidak menyibukkan-Nya satu urusan terhadap urusan yang lain. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/200).

Sedangkan Syeikh al-Albani memiliki jawaban lain untuk menyatukan antara hadits Abu Hurairah ini dengan al-Qur'an, beliau berkata: "Dan hadits ini tidak menyelisihi al-Qur'an dari satu sisipun berbeda dengan apa yang disangka oleh sebagian orang. Sesungguhnya hadits ini menjelaskan proses penciptaan di bumi saja dan itu terjadi dalam waktu tujuh hari sedangkan al-Qur'an telahnya menyatakan bahwa penciptaan langit dan bumi salama enam hari sedangkan penciptaan bumi salama dua hari tidak bertentangan dengan itu. Karena mengandung kemungkinan bahwa enam hari tersebut bukan tujuh hari yang disebutkan dalam hadits ini. Dan hadits ini berbicara tentang fase dari fase-fase perkembangan penciptaan di muka bumi sampai pantas untuk tempat tinggal. Dan menguatkan hal ini bahwa al-Qur'an menyebutkan bahwa sebagian hari di sisi Allah seperti seribu tahun dan sebagiannya seukuran lima puluh ribu tahun. Maka apa penghalang  bila enam hari tersebut dari sisi ini dan tujuh hari tersebut dari hari-hari kita ini, sebagaimana kesharihan hadits ini?. Sehingga tidak ada kontradiksi antara hadits ini dengan al-Qur'an". (Misykâtul Mashâbîh hadits no.: 5734, lihat pula ta'liq Syeikh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw hadits no.: 71).

Kelanjutan jawaban Syeikh al-Mu'allimi sebagai berikut:
Jawaban terhadap pengingkaran kedua: Tidak ada dalam hadits ini keterangan bahwa pada hari ketujuh ada penciptaan selain Adam. Dan tidak ada di dalam al-Qur'an apa yang menunjukkan bahwa penciptaan Adam pada salah satu hari di antara hari-hari yang enam tersebut, bahkan itu sesuatu yang jelas kebatilannya. Di dalam ayat-ayat di awal-awal surat al-Baqarah dan di beberapa atsar tentang penciptaan Adam bisa di ambil kesimpulan bahwa sebelum Adam di ciptakan di sana ada makhluk penghuni bumi sebelum Adam, mereka hidup di bumi dalam waktu yang lama. Ini mendukung perkataan bahwa Adam diciptakan belakangan dalam waktu yang cukup lama setelah penciptaan langit dan bumi. Maka merenungi ayat-ayat dan hadits di atas penjelasan ini, akan jelas bagimu isya Allah bahwa tuduhan hadits ini menyelisihi dhahir al-Qur'an telah terbantah dan segala puji bagi Allah.

Jawaban pengingkaran ketiga: Atsar-atsar yang menyatakan bahwa awal penciptaan makhluk pada hari ahad, ada yang marfu' akan tetapi jauh  lebih lemah dibandingkan dengan hadits ini. Adapun yang tidak marfu', kebanyakan dari perkataan Abdullah bin Salam, Ka'b, Wahb dan orang yang mengambil dari israilliyyat. Dan penamaan hari-hari sebelum islam mengikuti ahli kitab, ketika islam datang nama-nama tersebut telah terkenal dan tersebar maka secara dharuri dipandang tidak perlu merubahnya karena menetapkan nama-nama yang telah dikenal dan tersebar tidak dianggap mengakui moment-momentnya yang diambil darinya atau terbangun atasnya, karena telah menjadi tidak menunjukkan pada moment-moment tersebut akan tetapi hanya menunjukkan pada nama saja. Dan karena permasalahannya tidak berkaitan dengan hal yang wajib diyakini atau berkaitan dengannya hukum syar'i, sehingga tidak perlu diambil yang benar dengan merubah apa yang telah terkenal dan tersebar dari penamaan hari.

as-Suhaili dalam kitab [ar-Raudh al-Anif: 1/271] menyebutkan permasalahan ini dan mendukung perkataan Ibnu Ishak dan selainnya yang setuju dengan hadits ini sampai berkata, "Dan yang aneh dari ath-Thabari dengan keluasan ilmunya, bagaimana dia menyelisihi konsekuensi hadits ini dan membantah dengan panjang lebar terhadap Ibnu Ishaq dan selainnya dan condong kepada perkataan Yahudi bahwa ahad adalah hari pertama". Dan perkataannya yang lain memberikan beberapa faedah di antaranya bahwa penamaan tersebut secara khususnya lima hari tidak datang penamaannya di dalam al-Qur'an sedikitpun. Dan datang di dalam al-Qur'an dua nama yaitu Jum'at dan Sabtu sehingga al-Qur'an tidak ada kaitannya dengan nama-nama yang diada-adakan tersebut.
Di antara faedah yang lain dari perkataan as-Suhaili, menurut ketentuan hadits bahwa Jum'at adalah hari ketujuh dan tujuh adalah ganjil sesuai dengan keutamaan hari Jum'at sebagaimana hadits "Sesungguhnya Allah witir (esa) dan menyukai witir (ganjil)". (Muttafaq 'alaihi). Dan  digabungkan dengan ini hari senin, sesungguhnya hari senin menurut hadits ini hari ketiga dan itu sesuai dengan keutamaannya. Di dalam hadits shahih "Pada hari senin aku dilahirkan dan pada hari itu aku mendapatkan wahyu". (Diriwayatkan oleh Muslim no.: 2807). Adapun hari kamis, telah datang keutamaan puasa pada hari itu dan hal itu dijelaskan dengan (hal sebagai berikut): tatkala tidak memungkinkan puasa pada hari yang utama yaitu hari jum'at karena hari jum'at adalah hari raya dalam setiap minggunya, maka diganti dengan hari yang sebelumnya. Dan di dalam hal ini ada hal yang menguatkan akan keserupaan hari jum'at dengan hari raya. Di dalam kitab ash-Shahihain dalam hadits tentang hari jum'at, "Kita umat yang belakangan namun paling duluan". (Muttafaq 'alaihi). Kesesuaiannya, hendaknya hari milik orang belakangan adalah hari yang paling terakhir.

Ini, dan apa yang ada di al-Bidayah karya Ibnu Katsir [1/71], "an-Nasâi (as-Sunan al-Kubrâ no.: 11392) telah meriwayatkan di dalam tafsir dari Ibrahim bin Ya'qub al-Jauzajâni dari Muhammad bin ash-Shabbâh dari Abi Ubaidah al-Haddâd dari al-Akhdhar al-'Ajlân dari Ibnu Juraij dari Atha' dari Abu Hurairah, "Sesungguhnya Rasulullah memegang tanganku dan berkata, "Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam waktu enam hari. Kemudian Allah bersemanyam di atas 'Arsy pada hari ketujuh dan Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu". (HR. an-Nasâi dalam as-Sunan al-Kubra no.: 11392). An-Nasâi menyebutkan hadits dengan sempurna semisal itu. Dan telah diperselisihkan tentang Ibnu Juraij".

Aku (Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi) katakan: Tentang keshahihan riwayat ini dari Ibnu Juraij dari Atha' bin Abi Rabbâh ada penelitian, aku tidak akan memperpanjang penjelasannya. Barangsiapa yang ingin mentahqiq silahkan melihat [Tahdzib at-Tahdzib: 7/213, Fath al-Bâri: 8/511 dan muqaddimahnya hal.: 373] dan biografi Akhdhar dan Utsman bin Atha' di kitab al-Mizân dan selainnya. Wallahu al-Muwaffiq. (al-Anwâr al-Kâsyifah: 1/200-202).

Namun Syeikh al-Albani mengatakan hadits an-Nasâi ini "Jayyidul isnâd" sebagaimana dalam Mukhtashar al-'Uluw.

Dari apa yang kami sampaikan dari perkataan para ulama, bisa diambil kesimpulan:
1-      Allah menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari.
2-      Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu berdasarkan hadits Abu Hurairah yang shahih tersebut.
3-      Atsar-atsar yang menyatakan Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin dari kabar israiliyyat.
4-      Allah menciptakan Adam pada hari Jum'at dan Jum'at adalah hari ketujuh. Ini tidak bertentangan dengan al-Qur'an, karena al-Qur'an ketika menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi selama enam hari tidak menyebutkan Adam termasuk yang Dia ciptakan dalam waktu enam hari tersebut.
5-      Keutamaan bilangan ganjil karena Allah mencintainya dan di antara hari-hari ganjil yang datang keutamaannya: hari Sabtu (hari pertama) Allah menciptakan bumi, hari Senin (hari ketiga) Rasulullah mensunahkan puasa pada hari itu dan hari Jum'at (hari ketujuh) adalah hari raya kaum muslimin dalam setiap minggunya.
6-      Allah memberikan hidayah kepada umat islam untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari istimewa (hari raya) dalam setiap minggunya, sebagaimana dalam hadits, "Allah menyesatkan orang sebelum kita dari hari Jum'at. Bagi Yahudi hari Sabtu dan bagi Nashrani hari Ahad. Kemudian Allah mendatangkan kita dan memberi hidayah kepada kita kepada hari Jum'at. Maka Allah menjadikan (hari yang utama) Jum'at, Sabtu dan Ahad. Demikian juga  mereka mengikuti kita pada hari kiamat, kita umat belakangan dari penduduk dunia dan umat yang pertama-tama dihisab pada hari kiamat sebelum seluruh makhluk". (HR. Muslim no.: 2019).

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, Wallâhu  Ta'ala a'lam. Wa shallâhu 'alâ Nabiyyinâ Muhammad wa 'alâ âlihi wa shahbihi ajma'în. Walhamdulillâh Rabbil 'âlamîn……

Maraji':
1-      al-Qur'ân al-Karim
2-      al-Anwâr al-Kâsyifah Limâ fi Kitâb Adhwâi 'ala as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujâzafah karya Abdurrahman bin Yahyâ al-Mu'allimi (Wafat: 1376 H).
3-      al-Asmâ' wa ash-Shifât karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqî (Wafat: 458 H).
4-      al-'Azhamah karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja'far bin Hayyân dikenal Abusy Syeikh al-Ashbahâni (Wafat: 369 H).
5-      al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Abu al-Fidâ' Ismâil bin Umar bin Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi (Wafat: 774 H).
6-      Jâmi' al-Bayân fi Ta'wil al-Qur'ân karya Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmili ath-Thabari (Wafat: 310 H).
7-      Majmu' al-Fatâwâ karya Taqiyyudin Abul 'Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harrâni (Wafat: 728 H).
8-      al-Manâr  al-Munif fi Ash-Shahih wa azd-Dha'if  karya Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar al-Hanbali ad-Dimasyqi dikenal Ibnul Qayyim (Wafat: 751 H).
9-      Misykâtul Mashâbîh karya Muhammad bin Abdullah al-Khathîb at-Tibrîzi dengan tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albâni (Wafat: 1420 H).
10-  al-Mu'jam al-Awsath karya Abu al-Qasim Sulaimân bin Ahmad ath-Thabranî (Wafat: 360 H).
11-  Mukhtashar al-'Uluw karya Muhammad Nashiruddin al-Albâni (Wafat: 1420 H).
12-  Mushannaf Ibni Abi Syaibah karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-'Absi al-Kufi (Wafat: 235 H).
13-  Musnad Abi Ya'lâ karya Abu Ya'lâ Ahmad bin Ali bin al-Mutsannâ al-Mūshili (Wafat: 307 H).
14-  Musnad al-Imâm Ahmad karya al-Imâm Ahmad bin Hanbal (Wafat: 241 H).
15-  al-Mustadrak 'ala ash-Shahîhain karya Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hâkim an-Naisaburi (Wafat: 405 H).
16-  an-Nâsikh wa al-Mansūkh karya Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Ismâil al-Murâdî an-Nuhhâs (Wafat: 338 H).
17-  Shahih al-Bukhâri karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Ju'fî al-Bukhâri (Wafat: 256 H).
18-  Shahih Ibni Hibbân karya Muhammad bin Hibbân bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi al-Busti (Wafat: 354 H).
19-  Shahih Ibni Khuzaimah karya Abu Bakar Muhammad bin Ishâq bin Khuzaimah an-Naisaburi (Wafat: 311 H).
20-  Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyairi (Wafat: 261 H).
21-  As-Silsilah al-Ahâdits adh-Dha'îfah wa al-Maudhū'ah wa Atsaruhâ as-Sayyi' fi al-Ummah karya Muhammad Nashiruddin bin al-Hâj Nūh al-Albâni (Wafat: 1420 H).
22-  as-Silsilah ash-Shahîhah karya Muhammad Nashiruddin al-Albâni (Wafat: 1420 H).
23-   as-Sunan al-Kubrâ karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqî (Wafat: 458 H).
24-  as-Sunan al-Kubrâ karya Ahmad bin Syu'aib Abu Abdurrahman an-Nasâi (Wafat: 303 H).
25-  Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad bin Idris ar-Râzi bin Ibnu Abi Hâtim (Wafat: 327 H).
26-  Tafsir al-Qur'ân al-'Azhim karya Abu al-Fidâ' Ismâil bin Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi (Wafat: 774 H).
27-  Tahdzib at-Tahdzib karya Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalâni (Wafat: 852 H).
28-  Taqrib at-Tahdzib karya Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalâni (Wafat: 852 H).
29-  Tarikh Ibnu Ma'în yang diriwayatkan oleh ad-Duri karya Yahyâ bin Ma'în bin 'Aun al-Murri al-Ghathafâni al-Baghdâdi (Wafat: 233 H).
30-  Târikh al-Kabîr karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin Ibrâhim bin al-Mughîrah al-Ju'fi al-Bukhâri (Wafat: 256 H).
31-  Târikh al-Umam wa al-Muluk atau Târikh ath-Thabarî karya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghâlib al-Âmili ath-Thabari (Wafat: 310 H).
32-  at-Tauhîd karya al-Imâm Abu Abdillah Muhammad bin Ishâq bin Muhammad bin Yahyâ bin Mundah (Wafat: 395 H).
33-  Ats-Tsiqât karya Muhammad bin Hibbân bin Ahmad Abu Hâtim at-Tamimi al-Busti (Wafat: 354 H).

Rabu, 28 April 2010

TAJASSUS

Tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat kaum muslimin dan mengikutinya. Perbuatan ini terlarang menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mengikuti aib termasuk menyakiti pemiliknya yang mana dia telah menyembunyikannya dan tidak mujaharah (terang-terangan) dengan aib yang ada padanya. Dan Al-Qur’an dan As-Sunnah telah melarang untuk melihat dan mencari tahu aib tersebut dengan maksud untuk menutupinya sebisa mungkin. Allah berfirman: وَلاَتَجَسَّسُوا “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang”. (QS. Al-Hujarat: 12). Mujahid berkata ketika menafsirkan ayat ini, "Ambillah apa yang tampak bagi kalian dan tinggalkan apa yang Allah tutupi". (Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an: 22/304).

Mencari-cari keburukan pada umumnya dimutlakkan kepada perbuatan jelek, seperti jasus (mata-mata). Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut: janganlah sebagian kalian mencari-cari aib sebagian lainnya atau mencuri dengar pembicaraan suatu kaum padahal kaum tersebut tidak suka dicuri dengar pembicaraan mereka, atau dengan mencuri dengar di balik pintu atau dinding dan semisalnya, dan janganlah kalian menyingkap apa yang mereka tutup-tutupi. Imam adz-Dzahabi berkata setelah menyebutkan ayat tajassus dalam surat al-Hujarat, "Ibn al-Jauzi berkata, "Ahli tafsir berkata: "Tajassus adalah mencari aib dan aurat kaum muslimin. Maknanya: Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari aib saudaranya untuk mengetahuinya, apabila Allah telah menutupinya. Dan telah dikatakan kepada Ibnu Mas'ud, "Ini al-Walid bin Uqbah, jenggotnya meneteskan khamer". Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya kita dilarang mencari-cari kejelekan, apabila tampak sesuatu kita menghukumnya"". (al-Kabair hal: 159) Ayat di atas berisi larangan umum untuk mencari-cari keburukan orang lain, mencakup berbagai macam jenis tajassus, apakah untuk sekedar mengetahui keadaan orang lain, atau untuk menyingkap aibnya atau memata-matai orang lain yang dilakukan oleh pihak-pihak berwenang, karena larangan ini mencakup semua orang baik penguasa maupun rakyat biasa. Baik tajassus tersebut dilakukan secara langsung yaitu seseorang berangkat mencari-cari keburukan orang lain dengan harapan mendapati kesalahan atau aib pada orang lain tersebut atau dengan peralatan elektronik seperti alat perekam, telepon dan semisalnya. Segala hal yang bisa menyingkap aib dan kesalahan seseorang, semua itu termasuk tajassus dan ini haram sebagaimana perkataan para ulama. Karena tajassus menyakiti orang yang dicari-cari kejelekannya, sehingga ini membawa kepada permusuhan. Rasulullah bersabda: 
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع اللذه عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته. 
"Wahai seluruh orang yang beriman dengan lisannya dan keimanan tersebut belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan janganlah kalian mengikuti aurat mereka. Barangsiapa yang mengikuti auratnya, Allah akan mengikuti auratnya. Barangsiapa yang Allah mengikuti auratnya, Allah membeberkan aibnya meskipun di dalam rumahnya". (HR. Abu Dawud no.: 4880 dan Syeikh al-Albani berkata: Hasan Shahih).
Rasulullah juga bersabda: 
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ ، وَلاَ تَحَسَّسُوا ، وَلاَ تَجَسَّسُوا ، وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا 
Hati-hatilah kalian dengan persangkaan, sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta, janganlah mencuri dengar (dari pembicaraan orang lain yang tidak ingin untuk dicuri dengar), janganlah mencari-cari/mengikuti aib orang lain, janganlah saling mendengki, janganlah saling bertolak punggung, janganlah saling bermusuhan, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara". (HR. Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 6701).
Dari Muawiyah berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: 
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم 
"Sesungguhnya engkau jika mengikuti aurat manusia, engkau akan merusak mereka atau hampir saja engkau akan merusak mereka". Abu ad-Darda' berkata, "Kalimat yang Muawiyah mendengarnya dari Rasulullah yang Allah memberikan manfaat kepada Muawiyah dengan kalimat tersebut". (HR. Abu Dawud no.: 4890 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani).

Memata-matai yang membawa kepada tersebarnya aib adalah haram dan dosa besar sebagaimana makna ayat di atas (Lihat Tafsir al-Alusi:19/282), dan hendaknya setiap muslim berpegang dengan apa yang tampak (dhahir) dari saudaranya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat serta hadits-hadits yang menunjukkan hendaknya setiap muslim mengambil dhahir saudaranya dan tidak mencari dan mengusut aurat/aib saudaranya baik secara pribadi atau kelompok. Mencari-cari aib manusia bukan termasuk akhlak mulia dan suka meneliti rahasia-rahasia manusia bukan ciri seorang muslim sehingga seorang muslim yang taat dia menahan diri dari perbuatan semacam ini karena ini termasuk perkara yang hina.
Termasuk anjuran islam untuk menjaga aib dan menutupinya,  Rasulullah bersabda: 
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 
"Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat". (HR. Bukhari no.: 2442 dan Muslim no.: 2580). Juga sabda Rasulullah: 
من ستر عورة مؤمن فكأنما استحيا مَوْؤُدَةً من قبرها 
"Barangsiapa yang menutupi aurat seorang mukmin, seolah-olah dia menghidupkan mau'udah (seorang anak perempuan yang dikubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya". (HR. Ahmad no.: 17859, Nasai dalam Sunan Kubra no.: 7282 dan Baihaqi dalam Sunan Kubra no.: 18065). 

Dilarang mencari-cari aib seseorang meskipun dari pihak berwenang selama tidak tampak syubhat atau ada berita dari orang terpercaya atau di sana ada keharaman yang tidak di ketahui pelakunya seperti pembunuhan atau pemerkosaan. Pada kondisi semacam ini diperkenankan mencari-cari aib untuk mengetahui pelaku perusak kehormatan seorang muslim. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwasanya dia memasuki kaum yang sedang minum khamer di dalam rumah terbuat dari kayu, kemudian berkata, "Aku telah melarang kalian minum khamer tapi kalian masih minum, aku melarang kalian untuk menyalakan api di rumah yang terbuat dari kayu tapi kalian masih menyalakannya!". Mereka menjawab, "Wahai Amirul mukminin, Allah telah melarangmu untuk mencari-cari aib orang lain dan engkau mencari-cari aib orang lain. Allah melarangmu untuk masuk ke dalam rumah tanpa ijin dan engkau masuk ke dalam rumah tanpa ijin". Umar berkata, "Kedua (kesalahanku) untuk kedua (kesalahan kalian)". Kemudian Umar meninggalkan mereka. (Al-Ahkam As-Sulthaniah: 2/9) Dari Abdurraman bin Auf bahwasanya pada suatu malam dia berjaga malam dengan Umar bin Khaththab di kota Madinah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka melihat lentera di sebuah rumah. Mereka bergegas menuju rumah tersebut dan ketika sudah dekat, pintu rumah tersebut terbuka sedikit (di dalamnya) ada kaum yang bersuara keras dan gaduh. Umar memegang tangan Abdurrahman dan berkata, "Apakah kamu tahu, rumah siapa ini?". Aku menjawab, "Tidak tahu". Umar berkata, "Ini rumah Rabi'ah bin Umayyah bin Khalf, mereka sekarang sedang minum khamer. Bagaimana pendapatmu?". Abdurrahman berkata, "Aku berpendapat bahwa kita telah melakukan apa yang Allah larang. Allah berkata, "Dan janganlah mencari-cari keburukan orang", kita telah mencari-cari keburukan orang. Maka Umar pergi dan meninggalkan mereka". (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubra no.: 18080).

Dari Tsaur al-Kindi bahwasanya Umar bin al-Khaththab berkeliling kota Madinah di waktu malam. Dia mendengar suara lelaki di dalam rumah bernyanyi. Maka Umar memanjat dinding rumah dan dia mendapati bersama lelaki tersebut seorang wanita dan lelaki tersebut membawa khamer. Umar berkata, "wahai musuh Allah, apakah engkau menyangka bahwa Allah menutupi kemaksiatanmu?". Lelaki tersebut menjawab, "Wahai Amirul mukminin, jangan terburu-buru menghukumiku. Jika aku bermaksiat kepada Allah dalam satu kesalahan, sungguh engkau telah bermaksiat kepada Allah dalam tiga hal. Allah berfirman, "Janganlah mencari-cari keburukan orang". Engkau telah mencari-cari keburukan orang. Allah berfirman, "Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya ". (QS. Al-Baqarah: 189). Engkau telah memanjat dinding dari belakang rumah tanpa ijin. Allah telah berfirman, "Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya". (QS. An-Nur: 27). Engkau telah masuk rumahku tanpa mengucapkan salam". Umar berkata, "Apakah kamu memiliki kebaikan jika aku memaafkanmu?". Dia menjawab, "Ya, demi Allah wahai Amirul mikminin jika engkau memaafkanku, aku tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini untuk selamanya". Maka Umar memaafkannya lalu keluar dan meninggalkannya. (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam Makarim al-Akhlaq no.: 513).

Dari bekas budak Uqbah bin 'Amir berkata, aku berkata kepada Uqbah bin 'Amir: "Aku memiliki tetangga yang minum khamer". Uqbah berkata, "Tutupilah aib mereka". Bekas budak Uqbah berkata, "Aku tidak akan menutupi aib mereka, aku akan pergi memanggil polisi". Uqbah berkata, "Celaka kamu, jangan terburu-buru terhadap mereka, aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barangsiapa melihat aurat kemudian menutupinya, dia seperti orang yang menghidupkan mau'udah (seanak perempuan yang dikubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya". (HR. Ahmad no.: 17910). Sedangkan dari Dukhain sekretaris Uqbah bin 'Amir berkata, aku berkata kepada Uqbah, "Sesungguhnya kami memiliki tetangga yang minum khamer dan akau akan memanggil polisi agar menciduk mereka". Uqbah berkata, "Jangan kau lakukan itu, akan tetapi nasehati dan takut-takutilah mereka". Dukhain melakukan nasehat Uqbah namun mereka tidak jera. Kemudian Dukhain mendatangi Uqbah lagi dan berkata, "Aku telah melarang mereka akan tetapi mereka tidak berhenti sehingga aku memanggil polisi". Uqbah berkata, "Celaka kamu, jangan kau lakukan itu!. Sungguh aku mendengar Rasulullah berkata, "Barangsiapa yang menutupi aurat seorang mukmin, seolah-olah menghidupkan mau'udah (seorang anak perempuan yang di kubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya". (HR. Ahmad no.: 17859 dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no.: 18065, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no.: 517).

Al-Munawi berkata menjelaskan perkataan Rasulullah "dia seperti orang yang menghidupkan mau'udah (seanak perempuan yang dikubur hidup-hidup) dari dalam kuburnya": "Sisi persamaannya bahwa orang yang menutupi aib orang lain telah menolak tersebarnya aib tersebut di kalangan manusia dari orang yang ditutupi aibnya, yang mana aib tersebut bagaikan kematian. Maka seorang-olah dia telah menghidupkannya sebagaimana dia menolak kematian dari seorang anak perempuan yang di kubur hidup-hidup dengan mengeluarkannya dari dalam kubur. (Lihat at-Taisir bi Syarh al-Jami' ash-Shaghir: 2/808). Jadi tidak diperbolehkan mencari-cari keburukan manusia dan melihat aurat mereka atau mendengarkan apa yang mereka rahasiakan, sama saja apakah dari individu-individu dalam masyarakat yang bersifat kekanak-kanakan atau dari pihak berwenang tanpa ada sebab, atau dari sekelompok orang yang bekerja pada suatu badan. Allah telah memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari aurat yang dhahir dan melarang dari mencari-cari keburukan orang dan semua larangan tersebut ditujukan untuk semua kalangan mencakup penguasa dan rakyat.

Termasuk tajassus yang terlarang, mencari-cari keburukan orang yang berkaitan dengan kefasikan yang dilakukan pada waktu lampau, seperti minum khamer pada waktu lampau kemudian engkau mengungkit-ungkitnya setelah berlalunya waktu tersebut. Ini termasuk menyebarkan kemungkaran yang tidak ada manfaatnya dan tidak membawa kebaikan untuk islam, akan tetapi itu adalah aib dan kekurangan maka selayaknya untuk di tahan dan dilupakan tidak disebar dan diumumkan. Diharamkan melakukan tajassus dalam hal semacam ini apabila pelakunya tidak melakukan perbuatan semacam itu lagi. (Lihat Ghida' al-Albab: 1/202).

Memandang akan kehormatan tempat tinggal dan kehormatan aurat kaum muslimin, maka barangsiapa yang memandang aurat seorang muslim dari celah pintu atau lubang dinding atau semisalnya, boleh bagi pemilik rumah untuk melemparnya dengan batu kerikil atau besi. Akan tetapi para fuqaha' berselisih dalam metode pengusirannya dan jaminannya terhadap mata orang yang mengintip dengan perincian sebabagai berikut: 

Pendapat pertama: Orang yang melihat ke dalam rumah seseorang melalui lubang atau celah pintu atau semisalnya, sesungguhnya pemilik rumah boleh mengusirnya. Jika tidak pergi dengan sesuatu yang ringan, boleh menghalaunya dengan benda berat. Seandainya pemilik rumah melemparnya dengan batu kerikil atau menusuknya dengan tongkat sehingga matanya terluka atau mati, maka luka atau darahnya sia-sia. Ini pendapatnya Syafi'iyyah (lihat al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab: 19/257, al-Hawi al-Kabir: 13/976), Hanafiah (lihat Fatawa al-Hindiyah: 6/89), Hanabilah (lihat asy-Syarh al-Kabir: 10/321, al-Mughni: 10/350, Hasyiah ar-Raudh al-Murbi': 7/388-389, Kasysyaf al-Qina': 6/157, dan al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal: 4/247), dan sebagian Malikiyah (Lihat Manh al-Jalil: 9/366).

Pendapat kedua: Orang yang melihat ke dalam rumah seseorang melalui lubang atau celah pintu atau semisalnya, kemudian pemilik rumah melemparnya dengan kerikil atau menusuknya dengan besi sehingga terluka matanya atau mati, maka pemilik rumah menanggung segala perbuatannya terhadap orang yang terluka. Ini pendapat Malikiyah (lihat Manh al-Jalil: 9/366, dan sebagian Hanafiah (lihat Radd al-Muhtar: 28/71-72).

Dalil-dalil mereka:

Dalil pendapat pertama: Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Seandainya seseorang melihat kepadamu tanpa ijin, kemudian kamu melemparnya dengan batu kerikil sehingga kamu melukai matanya, maka kamu tidak berdosa". (HR. Bukhari dalam Shahihnya no.: 6902). Mereka juga berdalil dengan hadits:
مَنِ اطَّلَعَ فِى دَارِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَفَقَأُوا عَيْنَهُ فَقَدْ هَدَرَتْ عَيْنُهُ 
"Barangsiapa melihat ke dalam rumah suatu kaum tanpa ijin mereka, kemudian mereka melukai matanya, maka matanya (terluka) sia-sia". (HR. Abu Dawud no.: 5174).
Sedangkan dalam riwayat an-Nasai, "Barangsiapa melihat ke dalam rumah suatu kaum tanpa ijin mereka kemudian mereka melukai matanya, maka tidak ada diyah dan tidak ada qishash". (HR. an-Nasai dalam Sunannya no.: 4860 dan al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib no.: 4129. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
Mereka juga berdalil dengan hadits Anas: 
أَنَّ رَجُلاً اطَّلَعَ فِى بَعْضِ حُجَرِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَامَ إِلَيْهِ بِمِشْقَصٍ أَوْ بِمَشَاقِصَ وَجَعَلَ يَخْتِلُهُ لِيَطْعُنَهُ 
"Sungguh seorang lelaki melihat ke dalam kamar Nabi, maka Nabi berdiri mengambil anak panahnya atau beberapa anak panahnya dan mengintainya untuk menikamnya". (HR. Bukhari no.: 6900, lihat pula hadits no.: 6242). 
Sisi pendalilan: Di dalam dalil-dalil tersebut diperkenankan melempar orang yang mencari-cari aib dengan alasan untuk menolak gangguannya dan seandainya orang tersebut tidak pergi dilempar dengan benda ringan, maka boleh melemparnya dengan yang lebih kuat. Dan seandainya orang tersebut mati atau terluka maka darah atau lukanya sia-sia. Sungguh Rasulullah telah berkeinginan untuk menikam orang yang melihat ke dalam kamarnya melalui pintu kamar tanpa sepengetahuan orang tersebut, dan Rasulullah tidaklah melakukan perbuatan yang tidak boleh untuk dikerjakan atau membawa kepada perkara yang tidak boleh. (lihat Fath al-Bari: 12/245).

Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa'd as-Sa'idi bahwasanya seseorang melihat ke dalam kamar dari pintu Rasulullah dan Rasulullah memegang midra (sisir besi) untuk menggosok (menyisir) kepalanya. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau berkata: "Seandainya aku tahu kamu melihat kepadaku aku akan menusuk matamu dengan ini". Beliau juga berkata, "Sesungguhnya ijin itu dijadikan untuk membolehkan melihat". (HR. Bukhari no.: 6901) Hadits tersebut adalah nash yang menunjukkan tidak mengapa melukai dengan besi atau tongkat kepada orang yang melongok ke dalam kamar atau lubang rumah dengan sengaja dan tanpa ada syubhat. Dhahir hadits tersebut menunjukkan boleh menolak orang yang melihat ke dalam rumah dengan besi atau dilempar dengan kerikil atau dipukul dengan kayu dan pemilik rumah tidak menanggung luka orang tersebut, sama saja apakah yang terluka matanya atau bagian tubuh lainnya. Dan tidak ada kias bila ada nash.

Dan menurut madzhab Hanabilah tidak wajib diberi peringatan terlebih dahulu. Dan ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani dengan berkata, "Ini yang benar sebagaimana dalam hadits 'Rasulullah mengintainya untuk menikamnya'". (lihat Fath al-Bari: 12/245).

Dalil pendapat kedua: Sebagian Hanfiah berdalil dengan hadits 
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى 
رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِى وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَة
"Tidak halal dari seorang muslim yang bersaksi tidak ada ilah kecuali Allah dan aku utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga hal: orang yang pernah menikah lalu berzina, orang yang membunuh orang lain (lalu diqishash) dan orang yang keluar dari agama dan memisahkan diri dengan jamaah kaum muslimin". (HR. at-Tirmidzi no.: 1463 dan Syeikh al-Albani berkata "Shahih"). Sisi pendalilan: Hadits ini mengharuskan tidak menggugurkan dirinya (orang yang mengintip melalui celah pintu) dari 'ishmah (terjaganya darah dan hartanya), sebagaimana kalau dia melihat dari pintu yang terbuka atau masuk ke dalam rumahnya dan melihat isi rumahnya. Mereka juga berdalil dengan atsar: 
في العين نصف الدية 
"Pada mata yang rusak setengah diyah". (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya no: 17409 dan no.: 17419). Hadits tersebut bersifat umum, sehingga sekedar melihat saja tidak diperbolehkan untuk berbuat jahat terhadapnya. Sebagaimana kalau orang tersebut melihat dari pintu yang terbuka, sebagaimana kalau dia masuk ke dalam rumah dan melihat isi rumah dan mengganggu istrinya selain pada farjinya, tidak boleh untuk dicongkel matanya.
Mereka juga berkata, seandainya seseorang melihat aurat orang lain tanpa ijin, dia tidak diperbolehkan untuk melukai matanya. Maka melihat dirinya di dalam rumahnya lebih pantas untuk tidak diperbolehkan untuk dilukai matanya dan tidak gugur penanggungannya terhadap orang yang dia lukai matanya. Demikian juga apabila dia dilihat di dalam rumahnya dan orang yang melihat tersebut mencari-cari aibnya dengan sengaja, orang ini lebih pantas untuk tidak diperbolehkan dilukai matanya. Mereka mengarahkan hadits Abu Hurairah kepada maksud peringatan keras, menakut-nakuti dan larangan untuk melihat aurat dan rahasia orang lain. Dan Rasulullah melempar orang tersebut untuk memperingatkannya bahwa beliau mengetahui perbuatannya atau untuk mengusirnya bukan bermaksud untuk melukai matanya. Adapun bila matanya terluka tanpa kesengajaan maka tidak mengapa (tidak berdosa) dan inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah di dalam peniadaan dosa dalam hadits beliau tersebut. Adapun jaminan tidak disebutkan oleh Rasulullah, oleh karena itu tidak boleh mengarahkan lemparan ke mata, maka dia harus menanggung luka orang tersebut jika dia sengaja melempar matanya. Wajib baginya untuk mendahulukan peringatan dan mengusirnya dengan cara yang paling mudah dan tidak langsung pada usaha melukai mata, sama saja apakah orang yang melihat tersebut sengaja ingin melihat aurat atau tidak.

Dari sini kita mengetahui akan sangat haramnya menyingkap rahasia dan melihat kepada aurat orang lain. Dari Abu Dzar berkata, Rasulullah bersabda: 
أيما رجل كشف سترا فأدخل بصره قبل أن يؤذن له فقد أتى حدا لا يحل له أن يأتيه ولو أن رجلا فقأ عينه لهدرت ولو أن رجلا مر على باب لا ستر له فرأى عورة أهله فلا خطيئة عليه إنما الخطيئة على أهل المنزل 
"Siapapun orang yang menyingkap kain penutup kemudian melihat ke dalam sebelum diijinkan, sungguh telah mendatangi hadd yang tidak halal baginya untuk melakukannya. Seandainya seseorang melukai matanya, sungguh matanya sia-sia. Seandainya seseorang melintasi pintu yang tidak ada penutupnya kemudian melihat aurat pemilik rumah, maka dia tidak bersalah. Sesungguhnya yang salah pemilik rumah". (HR. Ahmad no.: 22193 dan al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib no.: 4130 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: 
لا تأتوا البيوت من أبوابها ولكن ائتوها من جوانبها فاستأذنوا فإن أذن لكم فادخلوا وإلا 
فارجعوا
"Janganlah kalian mendatangi rumah dari depan pintu, akan tetapi datangilah rumah dari samping pintu. Kemudian mintalah ijin, jika kalian diijinkan masuklah. Jika tidak kembalilah". (HR. al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib no.: 4135 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib). Jadi Islam mewajibkan untuk ijin terlebih dahulu untuk masuk rumah.

Rasulullah bersabda:
لا يحل لامرئ مسلم أن ينظر إلى جوف بيت حتى يستأذن فإن فعل فقد دخل ولا يؤم قوما فيخص نفسه بدعوة دونهم حتى ينصرف ولا يصلي وهو حاقن حتى يتخفف 
"Tidak halal bagi seseorang untuk melihat ke dalam sebuah rumah sampai meminta ijin (terlebih dahulu). Jika dia minta ijin (lalu diijinkan) berarti dia boleh masuk. Dan janganlah dia mengimami suatu kaum kemudian mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri tanpa menyertakan mereka sampai dia pergi (meninggalkan mereka). Dan janganlah dia shalat dalam keadaan menahan buang hajat sampai dia ringan (mengerjakan shalat)". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1093 dan Syeikh al-Albani berkata, "Shahih selain kalimat (yang berkaitan dengan) imamah".).

Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan:
أن أعرابيا أتى بيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فألقم عينه خصاص الباب فأخذ
سهما أو عودا محددا فتوخى الأعرابي ليفقأ عين الأعرابي فذهب فقال أما إنك لو ثبت لفقأت عينك 
Bahwasanya seorang arab baduwi mendatangi rumah Rasulullah, kemudian menempelkan matanya ke lubang di pintu. Maka Rasulullah mengambil anak panah atau tongkat yang tajam kemudian mendatangi orang tersebut untuk menusuk matanya, maka orang tersebut pergi. Lalu Rasulullah berkata, "Kalau kamu masih di situ aku akan menusuk matamu". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1091 dan Syeikh al-Albani berkata, "Shahih"). 
Dalam riwayat yang lain dari Anas berkata:
كان النبي صلى الله عليه و سلم قائما يصلي فاطلع رجل في بيته فأخذ سهما من كنانته فسدد نحو عينيه 
"Rasulullah sedang berdiri shalat kemudian ada seseorang yang melihat ke dalam rumahnya, maka Rasulullah mengambil anak panah dari tempatnya dan mengarahkannya ke arah kedua mata orang tersebut". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1069 dan Syeikh al-Albani berkata: Shahih). 

Rasulullah telah memberikan contoh kepada kaum muslimin tata cara masuk dan minta ijin ke dalam rumah. Dari Abdullah bin Bisrin seorang sahabat Nabi berkata:
أن النبي صلى الله عليه و سلم إذا أتى بابا يريد أن يستأذن لم يستقبله جاء يمينا وشمالا فإن أذن له وإلا انصرف 
"Sesungguhnya Nabi jika mendatangi pintu untuk minta ijin masuk, beliau tidak menghadap di depan pintu akan tetapi datang dari sebelah kanan atau sebelah kiri pintu. Jika beliau diijinkan (beliau masuk), jika tidak (diijinkan) beliau pergi". (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.: 1078 dan Syeikh al-Albani berkata: Hasan shahih).

Tidak diperkenankan untuk berdiri di depan pintu ketika minta ijin masuk ke suatu rumah, akan tetapi menyamping dari pintu tersebut agar tidak melihat apa yang tidak boleh dia lihat. Oleh karena itu Umar berkata, "Barangsiapa yang matanya melihat ruangan dalam rumah sebelum diijinkan, sungguh dia telah berbuat fasik". (HR. Bukhari dalam al-adab al-Mufrad no.: 1092, namun Syeikh al-Albani melemahkan atsar dari Umar ini).

Dan dari dalil-dalil yang diutarakan menunjukkan pendapat pertama lebih benar, wallahu a'lam. Adapun orang yang mencuri dengar yang sembunyi di balik pintu, di samping jendela atau di balik dinding untuk mendengarkan kabar (pembicaraan), di sini ada dua pendapat: Pendapat pertama: Ini dimasukkan ke dalam katagori melihat aurat orang lain dikiaskan kepada diperolehnya kemudharatan pada setiap orang yang melihat aurat orang lain atau mendengarkannya. Pendapat kedua: Ini tidak dimasukkan ke dalam katagori melihat aurat orang lain karena melihat aurat orang lain, padanya ada kemudharatan yang sangat besar bila dibandingkan dengan sekedar mendengarkan saja. Dan ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar, beliau berkata, "Ini yang benar, karena syarat kias adalah kesamaan (antara cabang dan asal) atau lebih utamanya cabang (dibandingkan dengan asal) sedangkan di sini kebalikannya". (lihat Fath al-Bari: 12/245).

Mencari-cari keburukan orang hukumnya haram, sama saja dengan melihat atau diam untuk mendengarkan, sama saja dari individu-individu atau dari kelompok ataupun dari penguasa. Sebagaimana telah datang larangannya secara tegas dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam pembahasan ini.

Dari sini kita mengetahui bahwa tidak diperkenankan untuk mencari-cari aib orang lain kecuali ada syubhat yang menunjukkan kepada hal yang meragukan atau kejahatan yang tidak diketahui pelakunya, maka diperkenankan mencari dan memata-matai tersangka untuk mengetahui pelaku kejahatan. Ini pekerjaan intelejen secara umum untuk mengetahui orang-orang yang mengganggu keamanan agar supaya bisa dihalangi kejahatan mereka. Sebagaimana diperbolehkan bagi wali seorang wanita untuk bertanya tentang seseorang yang mengkhithbah anak perempuannya untuk mengetahui agama, akhlak dan kedudukan sosialnya di masyarakat.

Adapun mencari aib tanpa sebab, ini haram dan akan menimbulkan banyak kerusakan di masyarakat. Al-'Aqqad berkata, "Tidak dijamin langgengnya hubungan antar teman bila hubungan mereka terbangun di atas saling mencari aib dan saling menipu. Dan tidak akan terjaga kasih sayang selama tidak terjaganya hurmah (kehormatan), di antaranya sesuatu yang dirahasiakan". Al-Ghazali berkata, "Tidak selayaknya mencuri pendengaran dari rumah orang lain untuk mendengarkan suara dawai. Tidak boleh mencari-cari bebauan untuk mendapatkan bau khamer. Tidak boleh meraba apa yang di dalam bajunya untuk mengetahui bentuk seruling. Tidak boleh bertanya-tanya kepada tetangga orang tersebut agar mereka menyampaikan kepada dirinya tentang apa yang terjadi di rumah orang tersebut". (Ihya' Ulum ad-Din: 3/347).

Dan dalam kondisi amar ma'ruf nahi munkar, sebagian Malikiah berkata, "Dipersyaratkan orang yang melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar mengetahui keduanya dan disyaratkan tampaknya kemungkaran tanpa ada tajassus atau mencuri dengar dan tidak pula dengan mencari-cari bebauan serta tidak mencari apa yang disembunyikan di tangan atau di baju atau di toko, karena itu haram". (al-Khirasyi ala Sayyidi Khalil: 3/110, dinukil dari at-Tajassus wa Ahkamuhu fi asy-Syariah al-Islamiyah hal:149).

Ibnu Muflih menyebutkan perkataan Ibnu al-Jauzi,"Tidak selayaknya baginya untuk mencuri dengar dari rumah orang lain untuk mendengarkan suara dawai, tidak boleh mencari-cari bebauan untuk mendapati bau khamer, tidak boleh meraba-raba sesuatu yang ditutupi untuk mengetahui bentuk seruling dan tidak boleh mencari berita dari para tetangganya agar mereka menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi bila ada dua orang adil yang memberitakan kepadanya langsung (tanpa ditanya) bahwa Fulan minum khamer maka dia boleh masuk dan mengingkarinya". (al-Aadab asy-Syar'iyah: 1/353).

Sedangkan al-Mawardi mengatakan, "Barangsiapa mendengar suara kemungkaran dari sebuah rumah, para penghuninya mengeraskan suara mereka maka hendaknya kemungkaran tersebut diingkari dari luar rumah dan tidak boleh masuk dengan paksa karena kemungkaran tersebut nyata (terdengar) dan tidak boleh baginya untuk menyingkap apa yang ada di dalam rumah tersebut selain suara mungkar tersebut". (al-Ahkam al-Sulthaniyah: 2/9).

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلُمٍ لَمْ يَرَهُ ، كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ ، وَلَنْ يَفْعَلَ ، وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ ، صُبَّ فِى أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً ، عُذِّبِ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ . 
"Barangsiapa dusta telah bermimpi padahal dia tidak bermimpi, dia diperintahkan untuk menyambung dua helai rambut dan dia tidak akan bisa melakukannya. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan suatu kaum, dituangkan ke dalam telinganya timah panas pada hari kiamat. Barangsiapa menggambar suatu gambar dia akan disiksa dan diperintahkan untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut dan dia tidak akan bisa". (HR. Bukhari dalam Shahihnya no.: 7042). Yang dilarang untuk mendengarkan pembicaraan suatu kaum adalah apabila kaum tersebut tidak suka untuk didengarkan pembicaraan mereka, jadi tidak masuk di dalam larangan hadits tesebut apabila kaum tersebut suka untuk di dengarkan. Dan apabila suatu kaum tidak tahu ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka maka ini juga terlarang, dan balasannya akan dituangkan ke telinga orang yang mendengarkan pembicaraan tersebut timah panas sebagai balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka.

Termasuk mendengarkan pembicaraan yang terlarang adalah apabila ada seseorang yang masuk ke dalam rumahnya lalu menutup pintu rumahnya kemudian berbicara dengan orang, indikasi keadaan orang ini menunjukkan bahwa dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarkan pembicaraannya. Apabila ada orang yang mendengarkan pembicaraannya, ini masuk dalam ancaman hadits ini sebagaimana kalau ada yang mengintipnya dari celah pintu dan telah dating ancamannya, seandainya mereka melukai matanya, maka matanya (terluka) sia-sia. (lihat Fath al-Bari: 12/428 dan 429).

Dari Said al-Maqburi berkata, aku melintasi Umar sedang berbicara dengan seseorang, lalu aku mendekati keduanya. Maka Umar memukul dadaku dan berkata, "Jika kamu mendapati dua orang sedang berbicara jangan berdiri mendekati keduanya sampai dan jangan duduk bersama keduanya sampai kamu minta ijin". Aku berkata, "Semoga Allah memperbaikimu wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya aku mengharapkan bisa mendengar kebaikan dari kalian berdua". (al-Adab al-Mufrad no.: 1166 dan dishahihkan oleh Syeikh al-Albani). Para ulama menganggap mendengarkan pembicaraan suatu kaum yang mana mereka tidak suka pembicaraan mereka di dengar termasuk tajassus dan itu haram. (Tafsir al-Alusi: 19/283).

Amr bin Dinar berkata, "Seorang lelaki dari penduduk kota Madinah memiliki saudara perempuan yang sedang sakit. Lelaki tersebut menjenguknya namun kemudian saudara perempuannya tersebut meninggal dunia, diapun menguburnya. Dia sendiri yang turun ke dalam kuburan saudara perempuannya (dalam pemakaman tersebut) dan terjatuhlah dari saku bajunya kantong uang yang berisi uang emas (di dalam kuburan tersebut). (Setelah selesai pemakaman) Diapun meminta bantuan kepada sebagian keluarganya untuk menggali kuburan saudara perempuannya. (Setelah digali) dia mengambil kantong uangnya dan berkata, "Sungguh aku akan menyingkap kuburan saudara perempuanku agar aku tahu bagaimana kondisinya". Ketika dia menyingkapnya, ternyata kuburannya menyala api. Diapun menemui ibunya dan berkata, "Sampaikan kepadaku amalan saudara perempuanku!". Sang ibu berkata, "Saudara perempuanmu telah meninggal, kenapa kamu menanyakan amalannya?". Dia selalu menanyakannya sampai ibunya berkata, "Di antara amalannya, dia sering mengakhirkan shalat dari waktunya. Dan apabila para tetangga telah tertidur, dia bangun mendatangi rumah-rumah mereka dan menempelkan telinga di pintu-pintu mereka untuk mencuri dengar kemudian dia menyebarkan rahasia mereka". Lelaki tersebut berkata, "Karena ini dia celaka!". (Tafsir al-Qurthubi: 16/282).

Kesimpulan:

 1- Tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat kaum muslimin dan mengikutinya baik langsung ataupun dengan alat bantu, dan itu hukumnya haram.

2- Termasuk perkara yang dilarang, berburuk sangka kepada orang lain tanpa dasar karena seseorang yang berburuk sangka akan mencari kebenaran dari persangkaan tersebut dengan melakukan tajassus dan setelah melakukan tajassus dia akan mengghibahi saudaranya.

3- Larangan mencari-cari aib orang lain mencakup penguasa dan rakyat biasa.

4- Menutupi aurat sesama muslim termasuk perkara yang disyariatkan dan memiliki fadhilah besar sebagaimana sabda Rasulullah.

5- Haramnya melihat isi rumah orang lain tanpa ijin dengan mengintip atau melihat dari celah pintu.

6- Disyariatkannya ijin sebelum seseorang masuk ke dalam rumah orang lain.

7- Haramnya mendengarkan pembicaraan orang lain yang tidak ingin didengarkan pembicaraan mereka.

8- Boleh melakukan tajassus untuk menghentikan pembunuhan atau perzinaan sebelum terjadi atau mencari pelaku pembunuhan atau pemerkosaan.

Wallahu Ta'ala a'lam. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan untuk orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan…… 

Asal tulisan ini diambil dari at-Tajassus wa Ahkamuhu fi asy-Syariah al-Islamiyah pada sub pembahasan at-Tajassus al-Muaddi ila al-Wuquf ala al-'Aurat karya Muhammad Rakan ad-Dughmi. 

Maraji':  

1- al-Qur’an al-Karim.
2- al-Aadab asy-Syar'iyah karya Abu Abdillah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi (Wafat: 763 H).
3- al-Adab al-Mufrad karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (Wafat: 256 H). 
4- al-Ahkam As-Sulthaniah karya Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi (Wafat: 450). 
5- Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalani (Wafat: 852 H). 
6- al-Fatawa al-Hindiyah fi Madzhab al-Imam al-A'dham Abi Hanifah an-Nu'man karya asy-Syaikh Nidham dan sekumpulan ulama India. 
7- Ghidza' al-Albab Syarh Mandhumah al-Aadab karya Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini al-Hanbali (Wafat: 1188 H). 
8- Hasyiah ar-Raudh al-Murbi' karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al-'Ashimi an-Najdi al-Hanbali (Wafat: 1392 H). 
9- al-Hawi al-Kabir karya Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi (Wafat: 450). 
10- Ihya' Ulum ad-Din karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (Wafat: 505 H). 
11- Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an karya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili ah-Thabari (Wafat: 310 H). 
12- al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi (Wafat: 671 H). 
13- al-Jami' ash-Shahih atau Sunan at-Tirmidzi karya Muhammad bin Isa bin Saurah Abi Isa at-Tirmidzi (Wafat: 279). 
14- al-Kabair karya Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi (Wafat: 748). 
15- al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal karya Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi (Wafat: 620). 
16- Kasysyaf al-Qina' 'an Matan al-Iqna' karya Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahuti (Wafat: 1051 H). 
17- al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab karya Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi (Wafat: 676 H). 
18- Makarim al-Akhlaq karya Abu Bakar Muhammad bin Ja'far bin Sahl bin Syakir as-Samiri al-Kharaithi (Wafat: 327 H). 
19- Manh al-Jalil karya Muhammad 'Alisy (Wafat: 1298 H). 
20- al-Mughni karya Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi (Wafat: 620). 
21- Mushannaf Abdurrazzaq karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (Wafat: 211 H). 
22- Musnad al-Imam Ahmad karya al-Imam Ahmad bin Hanbal (Wafat: 241 H). 
23- Radd al-Muhtar 'ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tawir al-Abshar karya Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz atau dikenal Ibnul Abidin (Wafat: 1252 H). 
24- Shahih al-Adab al-Mufrad karya Muhammad Nashiruddin al-Albani. 
25- Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari (Wafat: 256 H). 
26- Shahih Ibni Hibban karya Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi (Wafat: 354 H). 
27- Shahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi (Wafat: 261 H). 
28- Shahih Sunan Abi Dawud karya Muhammad Nashiruddin al-Albani (Wafat: 1420 H). 
29- Shahih Sunan at-Tirmidzi karya Muhammad Nashiruddin al-Albani (Wafat: 1420 H). 
30- Shahih at-Targhib wa at-Tarhib karya Muhammad Nashiruddin al-Albani (Wafat: 1420 H). 
31- Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats as-Sijistani (Wafat: 275 H). 
32- as-Sunan al-Kubra karya Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi (Wafat: 458 H). 33- as-Sunan al-Kubra karya Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman an-Nasai (Wafat: 303 H). 
34- Sunan an-Nasai karya Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman an-Nasai (Wafat: 303 H). 
35- asy-Syarh al-Kabir karya Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi (Wafat: 682 H). 
36- Syarh Riyadh ash-Shalihin karya Syeikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (Wafat: 1421 H). 
37- Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Adhim wa as-Sab'I al-Matsani karya Abu al-Fadhl Mahmud al-Alusi (Wafat: 127 H). 
38- at-Tajassus wa Ahkamuhu fi asy-Syariah al-Islamiyah karya Muhammad Rakan ad-Dughmi. 
39- at-Taisir bi Syarh al-Jami' ash-Shaghir karya al-Hafidh Zain ad-Din Muhammad Abdurrauf al-Munawi (Wafat: 1031 H). 
40- at-Targhib wa at-Tarhib karya Abu Muhammad Abdul 'Adhim bin Abdul Qowi al-Mundziri (Wafat: 656 H). 

Penulis: Rohmatullah Ngimaduddin, Lc.